3x2 meter

Hari ini cukup dipusingkan dengan datangnya Ibu pemilik kosan yang lebih terlihat seperti oma-oma Chinese yang banyak bicara dengan segala pernyataan-pernyataan sombongnya. Siang tadi dengan keadaan belum makan apa-apa sama sekali, selepas mengurus beberapa jualan untuk dikirim hari itu juga saya bergegas kembali ke kosan menemuinya.

Sambil dengan berpura-pura senyum dibalik masker, saya menyapanya. Berbasa-basi untuk memperbolehkan saya menempati kosan di bawah yang memiliki kamar luasnya 2,5 x dari kamar saya. Negosiasi ini sebenarnya sudah berjalan dari bulan Januari, namun entah dengan alasan apa dia belum juga mau memberikannya kepada saya, sementara ada 3 orang lainnya juga yang mau mengambil kamar itu. Berulang kali saya berusaha menawar harga karena ternyata di luar dugaan, yaitu 1,45 juta dan belum termasuk listrik. Padahal dugaan awal harganya paling hanya 1,2 juta mengingat letak kosan ini bukan di pinggir jalan besar dan kamar mandinya sama dengan yang lama tidak pakai pintu, hanya tirai saja. Ia tidak juga menyerah dan bertahan dengan harga tersebut karena penghuni sebelumnya adalah suami istri yang diberi harga 1,4 juta. Saya tidak bisa menawar lagi.

Isi kepala saya dengan cepat berhitung berapa pengeluaran tambahan yang harus saya keluarkan untuk membayar biaya kosan yang sampai 28% dari total pendapatan saya per bulan. Seperti dibelah dua rasanya, ada ego dan realita yang harus saya baur menjadi satu supaya mendapatkan kesimpulan. Setakut itu saya untuk mengeluarkan uang, karena sejak pertama kali bisa mencari uang sendiri saya tidak pernah berani atau gegabah untuk menyenangkan diri sendiri dengan mengeluarkan uang yang banyak demi membeli barang-barang atau menikmati kemewahan lainnya. Sekali saja waktu itu yaitu liburan ke Kuala Lumpur dimana butuh berpikir puluhan kali sampai akhirnya jadi membuat passport dan berangkat. Kalau bukan demi mengobati patah hati, mungkin saya juga tidak jadi pergi ke luar negri seperti itu.

Setelah pusing berhitung dan ada ketakutan disana bahwa saya berharap sekali adanya pengertian dari rumah untuk tidak berharap banyak dulu kalau semisal dalam 3 bulan atau bahkan sampai akhir tahun wabah ini belum selesai, saya tidak bisa membantu banyak dulu. Saya menelepon Ibu. Berbicara banyak namun intonasi Ibu menunjukkan bahwa saya terlalu berani dan sia-sia kalau pindah di area yang sama dengan biaya lebih dari 2x lipat hanya untuk kosan yang dipakai untuk istirahat saja. Masalahnya sudah 1 bulan berjalan WFH ini dan saya cukup gila bertahan di ruangan sempit seperti ini. Sudah jelas saya tidak mendapatkan ketenangan apapun dari Ibu, hanya berakhir dengan "Terserah kakak, kan kakak yang punya uang dan bisa ngaturnya" katanya lirih sembari menutup telepon.

Makin pusing saya, mungkin faktor belum makan juga. Sambil melihat sudut kamar yang tak seberapa ini, setiap sudutnya menyiksa saya dengan kenangan yang terjadi di kamar ini. Semuanya, tawa, kemalasan, amarah, kesedihan, penyesalan, dan permohonan-permohonan semu yang pernah terjadi di tempat ini. Pun kasur yang jadi saksi bisu, saya beraktivitas seperti bekerja, depresi, makan, menangis, memohon, sakit, menyakiti, berusaha sembuh dan menjadi gila secara bersamaan di kasur ini. Mungkin apabila Ia bisa berbicara, pasti ingin sekali rasanya memaki saya manusia lemah ini yang terus saja merepotkannya dengan urusan duniawi yang menurutnya sia-sia seperti dirinya sendiri ada masanya.

Saya mencoba menelepon seorang teman, alih-alih mencari penegasan keputusan untuk pindah benar atau tidak. Segala kekawatiran saya tumpahkan begitu saja, pun reaksi Ibu saya yang mengecewakan saya yang sedang panik ini. Sampai akhirnya dia bilang, "Lu salah sya, lu berekspektasi orangtua lu bisa berubah ya ga akan bisa. Lu sadari aja apa yang depan mata ini, kalau ini bisa jadi titik untuk semua berubah jadi lebih baik, kenapa harus ragu untuk pindah? Nanti bisa kita cari pemasukan lebih keras lagi, rejeki ada aja kalau dicari, udah tenang aja". Saya cuma terdiam, seringkali saya berada di posisi tidak percaya pada diri sendiri untuk memutuskan bahwa saya layak mendapatkan sesuatu yang lebih baik padahal itu semua buah dari usaha dan kesabaran yang saya jalani, mungkin saya jadi terkesan pelit pada diri sendiri dan tidak jarang berujung dengan penyesalan karena tidak lebih cepat memutuskan dan terlambat mendapatkannya. Maka sering kali, saya butuh validasi dari sahabat untuk membantu saya menyimpulkan bahwa saya layak menikmati sebuah kemewahan.

Hahh...
Sejujurnya, saya merindukan senyum dan suara sederhana itu yang meyakinkan saya tiap saya mau membeli sesuatu yang menurut saya mahal...
"Ga apa sya, dibeli aja. Nanti kamu bisa hemat lagi, kamu butuh itu.. uang bisa dicari"
Lalu dengan percaya diri saya berjalan ke kasir dengan senyum yang lebar. Mungkin Tuhan akan hadir dengan bentuk yang lain, seperti sahabat saya tadi.

Lalu saya tertawa sendiri, membayangkan mengapa saya menjadi sekikir itu untuk memikirkan kualitas hidup saya yang mungkin memang sudah waktunya untuk ditingkatkan, seperti yang dilakukan orang-orang, mendapatkan kenyamanan untuk kualitas hidup yang lebih baik lagi. Saya terlalu tertinggal untuk memikirkan urusan semacam, padahal saya pun tidak tahu menabung banyak uang untuk apa. Pun juga tipe manusia yang tidak lihai memakai uangnya untuk berinvestasi jangka panjang seperti menabung emas, saham, atau pun menyicil rumah seperti kebanyakan milenial lakukan sekarang. Saya hanya tahu menimbun uang, dan cuma punya satu tujuan: misal ada apa-apa dengan kesehatan Ayah dan Ibu membutuhkan tindakan cepat, saya punya uang yang cukup. Bodoh memang, saya masih belajar soal mengolah keuangan.

Jadilah akhirnya saya segera telepon Ibu pemilik kosan untuk konfirmasi bahwa saya akan jadi pindah, meminta segera dibereskan urusan kamar mandi yang butuh perbaikan. Lega rasanya, saya bisa membayangkan kamar itu akan saya tata seperti apa. Semoga ini bisa menjadi awal bahwa kualitas hidup saya akan jauh lebih baik lagi dari sebelumnya. Rasanya diri sendiri bilang;
"Nah gitu dong, biar ga sedih terus kamu tuh! Nanti kita usaha lagi ya, ga apa biar lebih produktif!" ingin memeluk diri sendiri rasanya, dan bilang maaf kalau baru seberani sekarang.


Selamat Tasya, selamat menjadi lagi.



Jakarta,
23.04.2020





No comments:

Post a Comment