3x2 meter

Hari ini cukup dipusingkan dengan datangnya Ibu pemilik kosan yang lebih terlihat seperti oma-oma Chinese yang banyak bicara dengan segala pernyataan-pernyataan sombongnya. Siang tadi dengan keadaan belum makan apa-apa sama sekali, selepas mengurus beberapa jualan untuk dikirim hari itu juga saya bergegas kembali ke kosan menemuinya.

Sambil dengan berpura-pura senyum dibalik masker, saya menyapanya. Berbasa-basi untuk memperbolehkan saya menempati kosan di bawah yang memiliki kamar luasnya 2,5 x dari kamar saya. Negosiasi ini sebenarnya sudah berjalan dari bulan Januari, namun entah dengan alasan apa dia belum juga mau memberikannya kepada saya, sementara ada 3 orang lainnya juga yang mau mengambil kamar itu. Berulang kali saya berusaha menawar harga karena ternyata di luar dugaan, yaitu 1,45 juta dan belum termasuk listrik. Padahal dugaan awal harganya paling hanya 1,2 juta mengingat letak kosan ini bukan di pinggir jalan besar dan kamar mandinya sama dengan yang lama tidak pakai pintu, hanya tirai saja. Ia tidak juga menyerah dan bertahan dengan harga tersebut karena penghuni sebelumnya adalah suami istri yang diberi harga 1,4 juta. Saya tidak bisa menawar lagi.

Isi kepala saya dengan cepat berhitung berapa pengeluaran tambahan yang harus saya keluarkan untuk membayar biaya kosan yang sampai 28% dari total pendapatan saya per bulan. Seperti dibelah dua rasanya, ada ego dan realita yang harus saya baur menjadi satu supaya mendapatkan kesimpulan. Setakut itu saya untuk mengeluarkan uang, karena sejak pertama kali bisa mencari uang sendiri saya tidak pernah berani atau gegabah untuk menyenangkan diri sendiri dengan mengeluarkan uang yang banyak demi membeli barang-barang atau menikmati kemewahan lainnya. Sekali saja waktu itu yaitu liburan ke Kuala Lumpur dimana butuh berpikir puluhan kali sampai akhirnya jadi membuat passport dan berangkat. Kalau bukan demi mengobati patah hati, mungkin saya juga tidak jadi pergi ke luar negri seperti itu.

Setelah pusing berhitung dan ada ketakutan disana bahwa saya berharap sekali adanya pengertian dari rumah untuk tidak berharap banyak dulu kalau semisal dalam 3 bulan atau bahkan sampai akhir tahun wabah ini belum selesai, saya tidak bisa membantu banyak dulu. Saya menelepon Ibu. Berbicara banyak namun intonasi Ibu menunjukkan bahwa saya terlalu berani dan sia-sia kalau pindah di area yang sama dengan biaya lebih dari 2x lipat hanya untuk kosan yang dipakai untuk istirahat saja. Masalahnya sudah 1 bulan berjalan WFH ini dan saya cukup gila bertahan di ruangan sempit seperti ini. Sudah jelas saya tidak mendapatkan ketenangan apapun dari Ibu, hanya berakhir dengan "Terserah kakak, kan kakak yang punya uang dan bisa ngaturnya" katanya lirih sembari menutup telepon.

Makin pusing saya, mungkin faktor belum makan juga. Sambil melihat sudut kamar yang tak seberapa ini, setiap sudutnya menyiksa saya dengan kenangan yang terjadi di kamar ini. Semuanya, tawa, kemalasan, amarah, kesedihan, penyesalan, dan permohonan-permohonan semu yang pernah terjadi di tempat ini. Pun kasur yang jadi saksi bisu, saya beraktivitas seperti bekerja, depresi, makan, menangis, memohon, sakit, menyakiti, berusaha sembuh dan menjadi gila secara bersamaan di kasur ini. Mungkin apabila Ia bisa berbicara, pasti ingin sekali rasanya memaki saya manusia lemah ini yang terus saja merepotkannya dengan urusan duniawi yang menurutnya sia-sia seperti dirinya sendiri ada masanya.

Saya mencoba menelepon seorang teman, alih-alih mencari penegasan keputusan untuk pindah benar atau tidak. Segala kekawatiran saya tumpahkan begitu saja, pun reaksi Ibu saya yang mengecewakan saya yang sedang panik ini. Sampai akhirnya dia bilang, "Lu salah sya, lu berekspektasi orangtua lu bisa berubah ya ga akan bisa. Lu sadari aja apa yang depan mata ini, kalau ini bisa jadi titik untuk semua berubah jadi lebih baik, kenapa harus ragu untuk pindah? Nanti bisa kita cari pemasukan lebih keras lagi, rejeki ada aja kalau dicari, udah tenang aja". Saya cuma terdiam, seringkali saya berada di posisi tidak percaya pada diri sendiri untuk memutuskan bahwa saya layak mendapatkan sesuatu yang lebih baik padahal itu semua buah dari usaha dan kesabaran yang saya jalani, mungkin saya jadi terkesan pelit pada diri sendiri dan tidak jarang berujung dengan penyesalan karena tidak lebih cepat memutuskan dan terlambat mendapatkannya. Maka sering kali, saya butuh validasi dari sahabat untuk membantu saya menyimpulkan bahwa saya layak menikmati sebuah kemewahan.

Hahh...
Sejujurnya, saya merindukan senyum dan suara sederhana itu yang meyakinkan saya tiap saya mau membeli sesuatu yang menurut saya mahal...
"Ga apa sya, dibeli aja. Nanti kamu bisa hemat lagi, kamu butuh itu.. uang bisa dicari"
Lalu dengan percaya diri saya berjalan ke kasir dengan senyum yang lebar. Mungkin Tuhan akan hadir dengan bentuk yang lain, seperti sahabat saya tadi.

Lalu saya tertawa sendiri, membayangkan mengapa saya menjadi sekikir itu untuk memikirkan kualitas hidup saya yang mungkin memang sudah waktunya untuk ditingkatkan, seperti yang dilakukan orang-orang, mendapatkan kenyamanan untuk kualitas hidup yang lebih baik lagi. Saya terlalu tertinggal untuk memikirkan urusan semacam, padahal saya pun tidak tahu menabung banyak uang untuk apa. Pun juga tipe manusia yang tidak lihai memakai uangnya untuk berinvestasi jangka panjang seperti menabung emas, saham, atau pun menyicil rumah seperti kebanyakan milenial lakukan sekarang. Saya hanya tahu menimbun uang, dan cuma punya satu tujuan: misal ada apa-apa dengan kesehatan Ayah dan Ibu membutuhkan tindakan cepat, saya punya uang yang cukup. Bodoh memang, saya masih belajar soal mengolah keuangan.

Jadilah akhirnya saya segera telepon Ibu pemilik kosan untuk konfirmasi bahwa saya akan jadi pindah, meminta segera dibereskan urusan kamar mandi yang butuh perbaikan. Lega rasanya, saya bisa membayangkan kamar itu akan saya tata seperti apa. Semoga ini bisa menjadi awal bahwa kualitas hidup saya akan jauh lebih baik lagi dari sebelumnya. Rasanya diri sendiri bilang;
"Nah gitu dong, biar ga sedih terus kamu tuh! Nanti kita usaha lagi ya, ga apa biar lebih produktif!" ingin memeluk diri sendiri rasanya, dan bilang maaf kalau baru seberani sekarang.


Selamat Tasya, selamat menjadi lagi.



Jakarta,
23.04.2020





Belajar Menulis

Sore tadi saya teringat 4 tahun lalu saat malam itu sehabis acara salah satu kampus di Bandung, jauh-jauh dari Jatinangor hanya untuk menyaksikan Naif karna pernah jatuh cinta menyaksikan David sang vokalis dengan nada pilunya menyanyikan Benci untuk Mencinta sambil bertelanjang dada. Pasti bukan cuma karena adegan panas itu saja tentunya, pada dasarnya saya memang suka berburu konser gratis selama berkuliah di Bandung. Memang benar kata orang, Bandung bisa menyajikan hiburan tanpa kamu harus bersusah payah mengeluarkan uang. Pantaslah orang bilang ingin sekali hidup bekerja di daerah yang suasananya seperti Bandung, UMRnya Jakarta, dan harga makanannya Jogja. Sayangnya, mustahil.

Konser itu gratis tentunya, saya cukup modal Rp 5.000 untuk naik Bus Damri dari Jatinangor karena waktu itu berangkat siang menjelang sore hari, saya berangkat bersama beberapa teman yang memang suka sekali menonton konser gratis. Sesampainya di sana, kami sempat berkeliling kampus megah itu untuk melihat-lihat tenant makanan atau pameran-pameran dari fakultas yang menyelenggarakan acara tersebut dan memang bintang tamu pasti selalu muncul di puncak acara. Setelah berjam-jam berkeliling, makan, dan tertawa bersama akhirnya kami mengambil posisi berdiri dekat panggung karena seperti tidak ikhlas rasanya sudah jauh-jauh dari Jatinangor tidak menyaksikan konser itu dari dekat. Acara malam itu diawali dengan penampilan-penampilan band indie lain, performance dari anak-anak fakultas yang menyelenggarakan, games, dll. Sampai akhirnya panitia terlihat panik mengulur waktu acara, seperti ada yang disembunyikan.

Benar saja, sampai akhirnya ada MC yang dengan berat hati mengatakan bahwa Naif tidak datang malam itu. Alasan yang mereka sampaikan adalah Naif mengalami kendala teknis di jalan menuju ke tempat konser itu, dengan berat hati beberapa penonton ada yang mundur karena merasa sia-sia dan marah sekali, ada juga yang tetap bertahan berharap panitia dan MC hanya bercanda saja. Saya dan teman-teman sempat bertahan 15 menit. Pada saat yang sama di hari itu saya terus berkomunikasi dengan seseorang yang saya kenal dari salah satu aplikasi anon (ya memang lucu pernah coba-coba aplikasi semacam), saya hanya memberi kabar bahwa saya datang ke kampusnya hari itu untuk nonton konser. Ia sempat memberikan saya informasi sebelumnya mengenai Naif yang tidak akan datang pada sore hari karena pihak rektorat melarang acara itu diselenggarakan di malam, sebabnya pengunjung acara itu sudah melebihi kapasitas, namun saya masih menganggapnya bercanda.

Saya sambil tertawa kecut berbalik badan dan ternyata benar saja, setelah menunggu beberapa menit akhirnya teman saya menyerah dan mengajak untuk pulang, mereka akhirnya memutuskan untuk mengejar jadwal travel terakhir untuk pulang. Saya memutuskan untuk menginap dulu saja di kosan teman, satu per satu teman saya pamit naik angkutan umum menuju tempat travel sedangkan saya mematung sambil bingung memikirkan bagaimana caranya saya pulang ke kosan teman di ciumbuleuit atas. Saya melapor ke kenalan saya itu bahwa benar yang Ia katakan, kedatangan saya menjadi sia-sia saja, yang ditunggu justru tak kunjung datang. Saya memutuskan untuk pulang, walaupun tak tahu caranya bagaimana, sampai pada akhirnya Ia menawarkan untuk mengantarkan pulang karna angkutan umum ke Ciumbuleuit atas sudah tidak ada.

"Aku bisa antar, tapi tunggu dulu aja di situ jangan kemana-mana. Aku ambil motor dulu di kosan teman, dekat kok di dekat kampus".

"Oke, aku tunggu depan gerbang kampusmu ya" tanggapku cepat.

Lalu, tak lama kemudian ada kenalan lain yang menanyakan kabarku bagaimana sepulang dari acara itu, karena takut ada kerusuhan pasca tidak jadinya Naif datang. Jelas saja karena diberitahu informasi begitu, rasanya mau cepat pulang saja. Dia menawarkan untuk mengantar pulang juga, karena aku kurang sabar menunggu dan tidak enak merepotkan Dia yang sedang meminjam motor temannya, akhirnya aku menolak ajakannya dengan mengatakan bahwa temanku ada yang kebetulan nonton konser juga dan bersedia memberikan tumpangan dan memilih Dia yang segera meluncur ke persimpangan rumah sakit itu. Sudah kurang sabar, berbohong pula. Maaf  ):

Kejadian itu mengingatkanku pada sosok yang kutolak itu, entah seperti apa dia sekarang. Dia adalah orang asing yang pernah kubaca tulisannya, baru kenal tapi dia mudah saja memberikan karya-karyanya yang tidak pernah dipublish dimana pun dan hendak menjadikannya sebuah buku. Akhirnya, keinginannya itu tercapai. Aku membeli karyanya itu, betul saja dia bisa melahirkan tulisan-tulisan yang membuatku berkeinginan untuk menulis lagi pada saat itu, pun seperti sore tadi saat aku tiba-tiba berpikir untuk mulai menulis lagi dan mengingat kejadian tersebut. Padahal, sampai hari ini kami tidak pernah jadi bertemu.

Seharian ini saya hanya menertawakan kejadian itu, semuanya terekam ulang betapa egoisnya saya malam itu. Banyak kata seandainya dalam kepala saya, andai malam itu tak kutolak ajakannya, andai malam itu aku memutuskan untuk berani pulang dengan caraku sendiri, andai aku tak mengandalkan siapun di malam itu, andai ponselku mati dan tidak bisa berkomunikasi kepada keduanya, andai andai andai....

Semua lamunan itu kuobati dengan melihat tumblr-nya kembali, cerita kehidupannya yang lebih banyak turun daripada naiknya membuatku bersyukur telah menjadi lebih baik setelah menghadapi berbagai macam pelik, aku sempat bertanya tentang kejadian malam itu sebagai anonymous dan Ia menjawabnya:
"Coba dipikir-pikir lagi. Lebih ingin cinta tiga tahun atau cinta satu malam? Sesungguhnya dia telah menyelamatkanmu. lol"
Membaca balasannya jelas saja aku tertawa lebar, mengartikan semua ini membuatku terlihat konyol sekali, betapa perasaan menyesal menertawakan saya dengan segala keikhlasannya. Bukan bagaimana kelanjutan saya dan dia, tetapi lebih kepada betapa naifnya saya malam itu bukan berdiri pada kaki saya sendiri. Saya yang seharusnya mungkin belum bisa menerima siapa-siapa pada saat itu, pun saya juga yang seharusnya masih dengan kesendirian untuk bertahun-tahun kemudian. Terlalu cepat rasanya, merawat hati orang lain ketimbang memelihara hati diri sendiri, rasa-rasanya ini masih akan menjadi tugas yang sangat besar.

Namun, saya menjadi lebih kuat setelah membaca tulisan-tulisannya secara tidak langsung saya yang belum pernah bertemu sama sekali dengannya, bisa merasakan bahwa segalanya sia-sia. Kenyataannya masih ada hari esok lagi yang harus diurusi dan tidak bisa hanya berdiam diri pada satu tempat lalu berharap keajaiban datang. Tidak, hidup tidak seajaib itu.


Terimakasih, nu. Saya mau belajar menulis lagi.


Salam lara, mari nikmati sisa-sisa kesedihan ini jangan sampai menciptakan sedih yang lain kemudian terlalu banyak, menumpuk, dan menjadi menyebalkan.





Jakarta,

22.04.2020

A Reminder:

This is what I want you to understand...

Just because someone told you that they loved you and didn't mean, it doesn't mean that love doesn't exist.

Just because you believed them and it wasn't true, doesn't mean that you shouldn't believe in love.

Love didn't hurt you, someone who doesn't know how to love hurts you.
Don't confuse the two.

Just because they didn't mean, it doesn't mean that there isn't someone out there who does mean it.

Who will want to love you
Who will want to say it and mean it and believe it

Don't write of love just because someone didn't know how to love you properly

and...

I know it's hard right now and it may not make sense
but there is someone out there who will say it and mean it.

#QuarantineDay32


I HATE YOU CORONA!!!!


Jakarta,
19.04.2020

Sign of GASLIGHTING

Gaslighting is a form of psychological manipulation in which a person or a group covertly sows seeds of doubt in a targeted individual, making them question their own memory, perception, or judgment, often evoking in them cognitive dissonance and other changes such as low self-esteem.

Are you the victim of gaslighting?


Watch out for these signs;
  1. You constantly question yourself
  2. You wonder if you're too sensitive
  3. You're easily being more anxious and less confident than before
  4. You struggle to make decisions
  5. You can't stop apologizing
  6. You think you do everything wrong
  7. You think you're not good enough
  8. Always feel you make bad choices
  9. You think you deserve to be alone
  10. You are unhappy for no reason
  11. You create excuses for them
  12. You've lost confidence
  13. Avoid giving information to friends or family members to ask for a confrontation with a partner
  14. Feel alienated from friends and family
then, how to recover from gaslighting? Stay calm, you are not alone. It's okay not to be okay, sometimes the answer is only from yourself. You are the ultimate rescuer for yourself. Here's the answer:

Accept the fact like the way it is, everything is not your fault. There is always no good news from the past. Accept it as a part of your GREAT JOURNEY!

Call It What It Is
Many people find the label “gaslighting” very useful because it names an experience they felt but couldn’t quite describe. After all, gaslighting is effective because you aren’t aware of what’s really happening since you’ve been made to doubt your perception of reality. Saying “that’s gaslighting behavior” is an essential step toward breaking free from it.

Get Free
As long as you’re in contact with a gaslighter, you’re susceptible to their manipulation since they know how to push your buttons. If you can, break off contact with the person. Of course, it’s more difficult when the gaslighter is a family member or someone else that’s hard to avoid, in which case you may need to minimize interactions rather than avoid them entirely. Please note that leaving a gaslighting partner can be dangerous in some circumstances; talk with a trusted loved one, and law enforcement if necessary, and take appropriate precautions. You need to surrender to the situation for getting a good closure if they refused to make it happened. It's okay to make yourself stop for asking a single "sorry" from them, it won't work.
You can't make a person appreciate you by doing more of what they refuse to appreciate.

Be Gentle With Yourself
Many people turn against themselves when they realize they’ve been gaslighted, blaming themselves for not recognizing it and breaking away sooner. Keep in mind that this kind of self-criticism is a common result of gaslighting. Try to let go of self-blame, and acknowledge that gaslighters are very skilled at the art of manipulation. The most important thing is that you’ve recognized it, and will learn from this experience.

Surround Yourself With Love
Nothing makes us more miserable than an abusive relationship, and nothing heals like loving relationships. Spend as much time as you can with people who love and appreciate you. Talk with them about the doubts and fears that became a part of your life through the gaslighting relationship. Allow them to validate your reality as you let go of constant self-doubt. Let these connections nourish you.

Learn From Your Experience
After being on the receiving end of gaslighting, you’re better equipped to recognize the warning signs. If your significant other was the gaslighter, be careful as you get into a new relationship. Educate yourself through bookspodcasts, and other resources so you can avoid likely gaslighters in the future.

Finally, keep in mind that you may see everyone as a potential gaslighter for a while—and for good reason. The trauma of gaslighting can lead to being “once bitten, twice shy,” and can make you highly attuned to possible emotional manipulation. Remember that not every disagreeable behavior is a symptom of gaslighting. Instead, look for a pattern of behavior over time and in different settings.

It’s not easy to recover from gaslighting, but it’s worth the work it takes as you learn to trust yourself again.

(Ephesians 4:32)

Good luck, it will be a beautiful journey! Yosssshhh...

Search Results


Web results



P.S
Fvck u corona! Mo maiiiinnnnnnnn ):



Jakarta,
18.04.2020

Places We Won't Walk


Aku mencoba mempelajari mengapa aku tidak bisa menempatkan diri untuk memahami diriku sendiri. Ia terus saja terdiam sambil terus berjalan dan tidak tahu berapa lama atau bagaimana ujung jalan ini nanti. Ia yang tidak bisa tunduk pada realita yang didapatnya, Ia yang selalu menganalisa mengapa keikhlasan dan ketulusannya berbuah pada pengabdian yang sia-sia. Lucunya caramu meninggalkan ini semua membuatku masih terus membandingkan bahwa derajatku sebagai manusia tidak memenuhi harapanmu, ketika mungkin yang kau hadapi saat ini jauh lebih baik dan menarik untuk dijalani. Padahal harapanmu itu hanya berbisik tidak pernah secara nyata bisa aku ketahui. Diam itu emas? Sayangnya tidak semua diam adalah emas.

Lalu jadilah aku yang masih saja terus berupaya dengan keras kepala mencari cara lain untuk memulihkan diriku, memberanikan diri menghadapi rasa sakit itu kembali, aku ke Bandung. Sudah setahun lebih sejak aku ribut dengan sahabat-sahabatku yang masih kuingat persis aku sedikit membelamu di dalamnya, aku tidak mau kamu menjadi objek dari waktuku yang berharga yang terkesan hanya untuk dirimu saja (padahal ya, aku mengutamakanmu), dan sisa waktu yang harus dimanfaatkan untuk mengurus perbekalanmu sebelum kamu pergi meninggalkan segalanya. Liburan yang harus disegerakan, kebersamaan yang harus diburu-buru untuk menjadi bermakna.  Aku tidak pernah menikmati Bandung dengan benar sejak saat itu, pun untuk kita berdua. Aku ingat persis waktu itu aku bilang, bisa saja momen ini adalah kesempatan terakhir kita berdua di Bandung bersama. Tergenapilah sudah.

Ya kalau pada akhirnya kamu melihat tulisan ini, mungkin di situlah kamu baru sadar aku mengupayakan segalanya untuk tidak merusak dan membagi pikiranmu supaya kamu utuh untuk pergi, aku ya digeser-geser saja tidak apa. Mungkin itu juga yang ada di benakmu sebelum pada akhirnya kamu menemukan kecacatanku dan kadar toleransi serta empatimu menjadi tidak ada sama sekali. Masih ku ingat jelas raut wajahmu yang tidak ada rasa khawatir sedikitpun di hari itu, bersenda gurau soal melanjutkan S3 dan butuh berapa lama lagi tanpa pernah kamu membahas bagaimana kita selanjutnya. Terang saja, rasa-rasanya kita di masa depan hanyalah sebuah angan-angan di obrolan sore. Pada akhirnya kamu menemukan justifikasi atas kegundahanmu sendiri tanpa pernah berani untuk mendiskusikannya, bahkan kamu seorang lelaki yang tidak pernah menawarkan kejujuran atas keraguanmu di jalan ini, hingga pada akhirnya kamu memilih untuk bersahabat dengan dendam itu. Kamu menyimpannya dengan sangat rapih, menolak untuk mengutamakan hati daripada mementingkan emosi.

Aku sadar, bukan tugasku membuatmu menjadi lebih manusia apabila kamu enggan menganggapku ada.
Aku sadar, aku memang tidak pernah memilikimu sejak awal.
Aku sadar, kamu tidak pernah berada di jalan yang sama.

Mungkin kalau terjadi sesuatu denganku, kamu pun tetap pergi dengan tanpa membawa rencana apapun atas diriku ataupun kita. Pelukanmu hari itu, menegaskan bahwa kamu pergi dan tidak ada berencana untuk kembali lagi, kamu bilang aku rumahmu, nyatanya kamu cuma singgah saja 3 tahun ini baik fisik, rasa maupun karsamu. Kamu yang tidak bisa menawarkan ketenangan pergi begitu saja dengan meninggalkan ketakutan, kamu boleh marah kalau tersinggung dengan kata-kataku ini, tapi kalau benar ya jangan ulangi dengan perempuan lain lagi. Belajarlah untuk tidak setengah-setengah membagi diri dan memahami apapun di luar dirimu sendiri, apabila sudah ya ditunjukkan saja tidak perlu ragu untuk mencoba. Aku rasa kamu sudah cukup banyak dapat pengalaman dariku, semoga kelak kamu bisa lebih baik lagi dalam memberi walau tak suci, terus mengobati walau membiru, mengampuni tanpa memperhitungkan masa lalu, dan tetap membasuh walaupun kering. Kau pun jelas tahu, tidak semua luka bisa kering dengan sendirinya. Satu hal,  jangan pernah lagi menjadikan pasanganmu tokoh utama atas peraduan dan keraguanmu, itu bukanlah solusi terbaik untuk menjadi manusia yang baik. Aku mohon, jangan ulangi lagi. Bukan cuma kamu manusia yang pantas punya hidup lebih baik, yang lain pun layak mendapatkan kebaikan dalam hidupnya.

Jadi sekali lagi, aku tidak bisa menikmati Bandung seperti biasanya. Betapa tidak, aku kan selalu bersemangat sekali tiap ke bandung, makanannya, suasananya, apalagi kalau kebetulan ada konser bisa didatangi di kota ini. Berlebihan mungkin, tapi bagiku Bandung masih sama indah apa adanya walaupun dengan kesenderianku. Di tengah wabah virus sialan ini, mungkin percuma juga untuk bisa menikmati suasananya karena Bandung seperti kota mati, pemerintah mulai menghimbau untuk supaya semua orang di rumah saja. Sudah ada yang meninggal dan banyak pasien positif di Bandung, tapi aku pun tetap berangkat. Ada panggilan rasanya untuk tetap berangkat, meski beberapa teman sampai ada yang menyindirku karena tidak di rumah saja. Aku benci sekali situasi wabah seperti ini, bukan karna takut mati karna virus tapi aku yang makhluk sosial ini susah sekali hidup di ruang sepetak sendirian, saat semua orang menjadi sangat sensitif karena berita-berita yang membuat mereka semua depresi. Kau pun tahu, aku manusia yang kekuatannya bersumber dari bertemu dengan banyak manusia.

Senin waktu itu, aku hanya berniat untuk mencari jajanan di sekitar jalan Dipatiukur, naik ojek online tidak mengajak siapapun karena mereka semua takut untuk keluar. Namun sore itu, aku berubah pikiran dan berhenti di satu tempat yang sama-sama kita tahu, tempat yang bisa membuat kita tersenyum malu karena mengingat kenangannya. Pertigaan itu, masih ingat kan? Aku memberhentikan ojekku di sana, terduduk diam menikmati tempat itu untuk waktu 10-15 menit. Kebetulan sekarang sudah ada kursi taman di trotoar, begitu banyak perubahan Bandung dari hari terakhir kita kunjungi. Lama coba bertahan, betapa segala janji bersama dan impian kita hilang seketika, berbeda dengan hari itu kita pernah datang dengan segala mimpi dan tawa yang harus kita jaga bersama. Mungkin seharusnya waktu itu, aku tak menerima tawaranmu untuk mengantarkanku pulang.






What I exactly know is;
Trust should be earned from someone, through their actions, thoughts, and words. It's not something that should be given upfront until it's exhausted then over, there are some layers of the trust until it leads you to unconditional trust.
I did it to you several times, my parents did it also to me. 
of course, your family did it to you too.


It's called unconditional love.



Jakarta,
05.04.2020