27 - 2020

Apalah artinya dulu merisaukan umur yang sudah 1/4 abad karena takut pencapaian belum seperti yang diidam-idamkan, kalau nyatanya dua tahun setelahnya kau justru makin menjadi hilang.

Hancur, lebur sekali rasanya.

Kukira aku sudah sampai di ujung penghabisanku, karena jujur saja sejak dihajar sakit virus sialan itu aku sudah jadi manusia yang tidak banyak ingin lagi. Habis tenaga, habis sekali. Satu bulan berjuang dari serangan sakit sana sini, pun mentalku habis dibuatnya. Belum lagi stigma orang-orang yang harus kulawan dan kuamini tanpa perlu alasan, aku tidak tahu seberapa rusak badanku dibuatnya. Sampai menuliskan ini, rasanya nafasku belum seperti biasanya. Ya, aku sempat menyumbangkan peran untuk kesuksesan Covid-19. Jangan tanya bagaimana rasanya, aku sudah lelah bercerita kepada puluhan orang di luar sana yang bertanya soal kronologinya, Andai aku tahu dan bisa melihat partikel virus itu dengan jeli, mungkin waktu satu bulan tidak terbuang sia-sia.

Lalu, sibuk memulihkan diri dan mengembalikan mental pada jalan lurusnya lagi bulan berikutnya di penghujung bulan, aku justru kehilangan Bapakku. Manusia yang memenuhi kepalaku beberapa tahun terakhir ini, karena sudah habis akal rasanya bagaimana bisa membuat Bapak bisa bahagia lahir batin menjalani hidupnya. Aku selalu berprinsip tidak akan membiarkan Bapak meninggal dengan keadaan merasa gagal dalam hidup, aku yang harus mengubah itu semua di atas kakiku. Nyatanya, aku terlambat. Ia sudah tidak di sini. Tepat satu bulan lalu, di pagi hari yang tidak pernah ada di dalam benakku, duniaku kosong dalam hitungan detik. Suara tangisan dan jeritan adik memenuhi kepalaku seperti kecepatan cahaya, tatapanku gelap dan aku menjatuhkan segala barang yang ada di genggamanku. Aku tidak bisa merasakan apapun, aku tidak bisa lari secepat itu, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Bapak pergi begitu saja.

Sama.

Jangan tanya bagaimana Ia bisa pergi, aku pun lelah menceritakan bagaimana itu bisa terjadi sementara aku pun tidak ada di sampingnya waktu Ia memutuskan untuk menyerahkan nyawanya. Aku tahu, bukan kami pemilik sebenarnya. Hanya saja, jika ku bisa mengajukan sebuah petisi kepadaNya, bagaimana bisa Ia menyelamatkanku dari virus sialan itu, sementara setelahnya justru Bapakku yang harus jadi gantinya. Aku tidak pernah ahli dalam kehilangan, tidak pernah bisa tenang. Ku pikir tahun lalu saja cukup membuatku kelelahan atas kehilangan hal-hal yang banyak kukorbankan, kubangun sedemikian rupa, percaya pada kebaikan akan membawa rasa lengkap, tapi pada akhirnya semua hanya singgah bukan milikku. 

Lalu, apalagi tahun ini?

Aku merayakan umur baru dalam kedukaan, persetan dengan umur yang sudah 27 tahun aku tidak menginginkan apapun lagi, yang ku tunggu hanya suara Bapak malam itu tepat tengah malam. Sudah kusiapkan, aku berbohong pada Ibuku supaya Ia tidak perlu menunggu. Aku menyuruhnya tidur lebih awal, tidak perlu telpon tengah malam karena aku hanya menyiapkan ruang dan waktu pada saat itu hanya untuk Bapak saja. Biasanya ada telpon dari Bapak, memang tidak banyak Ia bicara, tapi ucapan Selamat Ulang Tahun darinya sangat kutunggu malam itu, hanya suaranya saja. Tapi Ia tak kunjung tiba, suaranya tak ada. Tak ada doa malam itu, aku hanya menangis sampai kelelahan untuk menyambut pagi, tidak ada sukacita hanya mengingat nasib saja. Aku semakin tidak menginginkan apa-apa lagi.

Curang Bapak, pergi tanpa permisi dan bertanya mampukah aku?

Ah, Pak. Duniawi sekali ya rasanya?

Sementara Bapak sudah bahagia di atas sana, semoga amalku yang tidak seberapa ini bisa sedikit membantu langkah Bapak ke tempat terbaik, kekurangan Bapak mencukupkanku, kelebihan Bapak melengkapiku. Tidak apa Pak, memang mungkin nasib muda kita berbeda. Semoga Tuhan kasihan samaku, mau percaya samaku lagi.

Hari ini hari terakhir dari tahun biadab ini, aku tidak punya modal apapun untuk dibawa ke tahun berikutnya. Bekal di badan yang ringkih ini hanya harapan kiranya Tuhan bisa memberikanku keputusan yang tidak bisa ku ganggu gugat lagi atas nasibku ke depan, tetapi membawa kebahagiaan buat adik atau Ibuku. Aku tidak mampu mengutamakan diriku sendiri lagi, lelah sekali rasanya bertengkar dengan diri sendiri demi mau menjawab: Bahagiakan diri sendiri dulu baru orang lain, tolong dulu diri sendiri baru menolong orang lain. Frasa naif itu tidak bisa kupegang lagi, aku harus hidup buat adik dan Ibuku.


Bajingan kau, 2020.



Bandar Lampung,

31.12.2020