27 - 2020

Apalah artinya dulu merisaukan umur yang sudah 1/4 abad karena takut pencapaian belum seperti yang diidam-idamkan, kalau nyatanya dua tahun setelahnya kau justru makin menjadi hilang.

Hancur, lebur sekali rasanya.

Kukira aku sudah sampai di ujung penghabisanku, karena jujur saja sejak dihajar sakit virus sialan itu aku sudah jadi manusia yang tidak banyak ingin lagi. Habis tenaga, habis sekali. Satu bulan berjuang dari serangan sakit sana sini, pun mentalku habis dibuatnya. Belum lagi stigma orang-orang yang harus kulawan dan kuamini tanpa perlu alasan, aku tidak tahu seberapa rusak badanku dibuatnya. Sampai menuliskan ini, rasanya nafasku belum seperti biasanya. Ya, aku sempat menyumbangkan peran untuk kesuksesan Covid-19. Jangan tanya bagaimana rasanya, aku sudah lelah bercerita kepada puluhan orang di luar sana yang bertanya soal kronologinya, Andai aku tahu dan bisa melihat partikel virus itu dengan jeli, mungkin waktu satu bulan tidak terbuang sia-sia.

Lalu, sibuk memulihkan diri dan mengembalikan mental pada jalan lurusnya lagi bulan berikutnya di penghujung bulan, aku justru kehilangan Bapakku. Manusia yang memenuhi kepalaku beberapa tahun terakhir ini, karena sudah habis akal rasanya bagaimana bisa membuat Bapak bisa bahagia lahir batin menjalani hidupnya. Aku selalu berprinsip tidak akan membiarkan Bapak meninggal dengan keadaan merasa gagal dalam hidup, aku yang harus mengubah itu semua di atas kakiku. Nyatanya, aku terlambat. Ia sudah tidak di sini. Tepat satu bulan lalu, di pagi hari yang tidak pernah ada di dalam benakku, duniaku kosong dalam hitungan detik. Suara tangisan dan jeritan adik memenuhi kepalaku seperti kecepatan cahaya, tatapanku gelap dan aku menjatuhkan segala barang yang ada di genggamanku. Aku tidak bisa merasakan apapun, aku tidak bisa lari secepat itu, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Bapak pergi begitu saja.

Sama.

Jangan tanya bagaimana Ia bisa pergi, aku pun lelah menceritakan bagaimana itu bisa terjadi sementara aku pun tidak ada di sampingnya waktu Ia memutuskan untuk menyerahkan nyawanya. Aku tahu, bukan kami pemilik sebenarnya. Hanya saja, jika ku bisa mengajukan sebuah petisi kepadaNya, bagaimana bisa Ia menyelamatkanku dari virus sialan itu, sementara setelahnya justru Bapakku yang harus jadi gantinya. Aku tidak pernah ahli dalam kehilangan, tidak pernah bisa tenang. Ku pikir tahun lalu saja cukup membuatku kelelahan atas kehilangan hal-hal yang banyak kukorbankan, kubangun sedemikian rupa, percaya pada kebaikan akan membawa rasa lengkap, tapi pada akhirnya semua hanya singgah bukan milikku. 

Lalu, apalagi tahun ini?

Aku merayakan umur baru dalam kedukaan, persetan dengan umur yang sudah 27 tahun aku tidak menginginkan apapun lagi, yang ku tunggu hanya suara Bapak malam itu tepat tengah malam. Sudah kusiapkan, aku berbohong pada Ibuku supaya Ia tidak perlu menunggu. Aku menyuruhnya tidur lebih awal, tidak perlu telpon tengah malam karena aku hanya menyiapkan ruang dan waktu pada saat itu hanya untuk Bapak saja. Biasanya ada telpon dari Bapak, memang tidak banyak Ia bicara, tapi ucapan Selamat Ulang Tahun darinya sangat kutunggu malam itu, hanya suaranya saja. Tapi Ia tak kunjung tiba, suaranya tak ada. Tak ada doa malam itu, aku hanya menangis sampai kelelahan untuk menyambut pagi, tidak ada sukacita hanya mengingat nasib saja. Aku semakin tidak menginginkan apa-apa lagi.

Curang Bapak, pergi tanpa permisi dan bertanya mampukah aku?

Ah, Pak. Duniawi sekali ya rasanya?

Sementara Bapak sudah bahagia di atas sana, semoga amalku yang tidak seberapa ini bisa sedikit membantu langkah Bapak ke tempat terbaik, kekurangan Bapak mencukupkanku, kelebihan Bapak melengkapiku. Tidak apa Pak, memang mungkin nasib muda kita berbeda. Semoga Tuhan kasihan samaku, mau percaya samaku lagi.

Hari ini hari terakhir dari tahun biadab ini, aku tidak punya modal apapun untuk dibawa ke tahun berikutnya. Bekal di badan yang ringkih ini hanya harapan kiranya Tuhan bisa memberikanku keputusan yang tidak bisa ku ganggu gugat lagi atas nasibku ke depan, tetapi membawa kebahagiaan buat adik atau Ibuku. Aku tidak mampu mengutamakan diriku sendiri lagi, lelah sekali rasanya bertengkar dengan diri sendiri demi mau menjawab: Bahagiakan diri sendiri dulu baru orang lain, tolong dulu diri sendiri baru menolong orang lain. Frasa naif itu tidak bisa kupegang lagi, aku harus hidup buat adik dan Ibuku.


Bajingan kau, 2020.



Bandar Lampung,

31.12.2020




Bukan Milik Puan

Butuh waktu lama bagiku untuk menyadari bahwa tidak semua hal dalam hidup ini dimaksudkan sebagai cerita yang indah. Tidak setiap orang yang menjalin hubungan dengan kita apapun itu bentuknya, yang mungkin kita rasakan begitu dalam dan rasa-rasanya akan terus selalu bersama, bermaksud untuk menjadi rumah di dalam hidup kita, atau menawarkan selamanya. Kadang-kadang, orang datang ke dalam hidup kita untuk mengajari kita cara mencintai; dan terkadang, orang-orang datang ke dalam hidup kita untuk mengajari kita cara bagaimana untuk tidak mencintai. Bagaimana caranya untuk tidak menetap, bagaimana tidak menenggelamkan diri kita lagi.

Aku sudah memiliki cukup jam terbang untuk mengalami hal demikian, demi mencari pengisi hari dan kekosongan dalam hidup. Semudah itu juga mereka bisa pergi hanya untuk meninggalkan pesan bahwa tidak selamanya orang bisa bertahan dengan kisah-kisah pilu hidup seorang perempuan yang berharap menemukan rumahnya atau ada yang sudi membantu hidupnya dapat diperbaiki. Bicara soal rumah, aku tahu pasti memang tidak ada yang kekal dari manusia. Bahagia dengan cara berharap pada manusia bukanlah solusi untuk mendapatkan welas asih dalam hidup, aku sudah mengalami cukup banyak luka untuk memahami hal tersebut. Meskipun kadang, tidak kebal juga. Rasa kecewa dan sakit kadang seusil itu menyentuh hidupku kembali.

Salah dua dari mereka pernah berkata dengan kata-kata yang membuatku tersudut dan memaksaku mengingat apa saja yang sudah kulakukan belakangan ini. Aku yang biasanya sangat toleransi pada manusia-manusia yang mengujar sarkasme, biasanya dapat menyaring apa yang kudengar, tapi tidak kali ini.

Aku tidak mau menghabiskan emosiku untuk membuat pembelaan atas pernyataan mereka berdua, hak mereka juga untuk berkata seperti itu. Aku tidak bisa kontrol hasrat orang lain. Kekeliruanku karena telah menganggap mereka manusia-manusia baru yang bisa menjadi sosok yang saling mendukung apalagi dalam masa pandemi seperti ini, sebagai kawan, bukan yang lain. Aku tidak cukup gila untuk memulai suatu hubungan di atas perbedaan-perbedaan lagi. Cukup sekali saja.

Lalu aku akhirnya sadar, aku yang biasanya menjadi tong sampah hati bisa kelelahan karena menampung segala cerita pilu dari orang-orang dan tidak bisa berkata tidak untuk menjadi kawan pendengar bagi mereka yang kesusahan. Sering juga mungkin bisa memposisikan diri ikut menjadi kebingungan demi mencari solusi dari masalah-masalah mereka. Rasanya ingin selalu ambil peran, merangkum segala kata bijak demi menenangkan mereka.

Kata-kata mereka membuatku tersadar bahwa aku pun sebaliknya, mencari ketenangan berharap orang lain melakukan hal yang sama atas keadaanku. Berharap orang lain mengobati perasaanku. Ternyata cerita-ceritaku menghabiskan energi mereka berdua. Kehadiranku merepotkan mereka, kesusahanku memenuhi dan mengusik keadaan mereka yang mungkin sedang bertolak belakang dengan rasa dan karsa yang kutumpahkan pada mereka. Pada akhirnya, mereka pergi menjauh tanpa kata apapun lagi. Mungkin hanya karena perasaan tidak enak saja, jadi memilih pergi dalam kesunyian. Hak mereka juga untuk pergi, hak mereka untuk memilih menetap atau tidak. Toh, laki-laki memang punya keberuntungan bisa memilih.

Ya, kadang-kadang orang pergi begitu saja, bahkan tidak meninggalkan pesan pasti atas diri mereka yang menyerah dan mau menjauh, tapi tidak apa-apa karena selalu ada pelajaran dibalik itu dan itulah yang penting. 

Itulah yang tersisa.

PSBB in DKI will start by today, welcoming anxiety, loneliness and all of them again.
God, please save us.


Jakarta,

14.09.2020

Pangeling-eling

Rasanya seperti ditegur keras, dalam sesat pikir ingin tertawa sekuat-kuatnya.

Bagaimana bisa, aku diperlakukan seperti ini. Hal yang paling kubenci: diabaikan tanpa jejak. Sulit hidup dengan teka-teki dan dihajar asumsi, maka manusia seperti aku seharusnya jangan pernah dibiarkan tanpa penjelasan yang bisa membuatku melangkah pergi, ya karena aku selalu pergi akhir-akhir ini untuk mereka yang merasa aku mulai ada. Aku masih bukan siapa-siapa.

Beberapa malam sebelumnya, merayakan satu tahun kehilanganmu ada seseorang datang dengan sunyi menyapa dan seraya hadir setiap pagi hanya untuk mengisi kekosongan lamaku yang memang bertepatan dengan rencana beraninya aku membuka pintu itu kembali. Itu pun dengan keyakinan yang tidak penuh, hanya euforia sesaat, akhirnya aku menemukan lelaki seiman untuk berbicara panjang lebar soal kesulitan hidup akhir-akhir ini. 

Hanya merasa akhirnya ada pendengar, aku belum mengaguminya dari sisi manapapun. Ada seseorang yang mau berteman baik dengan segala kisah-kisah piluku serta Ia dapat melihatku sebagai seseorang yang baik dengan segala kekurangan yang ku punya. Bukan, aku belum menemukan rumahku, aku merasa menemukan tempat bahwa aku bisa jadi manfaat buat orang lain. Sudah lama berdiam diri tanpa menjadi berguna.

Sunyi yang kosong membawaku untuk mendoakannya, aku bersyukur ada yang mau menemaniku di masa seperti ini, ada yang peduli dengan keseharianku yang tidak menarik sama sekali. Meski keraguanku mulai ada untuk mengartikan semuanya baik sikapku atau sikapnya, keresahan ini membuatku dengan lirih mengingat segala kebaikanmu agar tak sama persis terjadi padanya. Aku berdoa Tuhan mampu mengefesiensikan waktu dan energiku apabila Ia bukan bermaksud menjadikanku seutuhnya ada demi menjadi bersama.

Semalam, Tuhan menjawab keraguan itu..

Benar saja, apa yang mulai kucurigai terjadi. Ia bukanlah manusia yang bebas, ada sosok perempuan yang masih menantinya entah untuk kembali atau sebenarnya memang terikat sedari sebelum kami berniat bertemu pertama kali di tempat makan ramen sore itu. Seorang laki-laki yang masih kuragukan untuk disentuh hidupnya karena memang hanya satu arah saja sejauh ini, Ia seperti tidak mau membahas masa lalunya, dan dua kali meyakinkanku bahwa hubungannya memang sudah berakhir beberapa bulan lalu. Dia yang mau tahu masa laluku dan caraku hidup lebih jauh, semua pada akhirnya hanya sebuah permainan peran. Aku mungkin belum sempat dibodohi lebih jauh, tapi sakit rasanya kenapa harus aku diperlakukan orang lain seperti ini. Setelah sebelumnya dianggap berkhianat, kini aku seakan menjadi peran antagonis yang mengamini segala kebohongan dan akal bulus sang pemeran utama dan merenggut mimpi orang lain.

Trauma itu menghampiri kembali, takdir memerintahkanku untuk merasakan bagaimana perasaannya atas tuduhannya padaku malam itu. Sesak rasanya, sama-sama sakit.

Tapi buat apa punya maksud demikian? Aku belum mau mengalami sesak udara apapun untuk menggapai puncak hidup laki-laki lain. Aku cuma ingin diam duduk di tempatku, menanti seorang yang biasa saja dengan segelas air di tangannya kala ku terbaring sakit.

Yang sudi dekat, mendekat denganku mencari teduhnya dalam mataku dan berbisik:

"Pandang aku, Kau tak sendiri oh Tasyaku"

"Kamu adalah sabarku, Sya".

Demi Tuhan hanya itu saja yang kuinginkan saat ini.

Terimakasih jawabannya.


Jakarta,

25.08.2020

Paman Tua

Hari-hari biasa saja, siang itu Bapak yang jarang sekali berkomunikasi dengan anak perempuannya menyapa dengan cara yang tidak biasa. Antara kami berdua seperti ada jembatan yang panjang untuk ditempuh demi sebuah percakapan yang baik-baik saja, jujur sampai saat ini aku tidak tahan dengan cara bapak berbicara yang selalu menganggap dirinya paling benar dan paling tahu segala hal. Bukan karena zaman sudah berbeda, tapi Bapak tidak pernah mau bertanya dan mendengarkan terlebih dahulu opini orang lain. Aku sadar kurasa bukan tugasku mengubahnya, toh kedua orang tuanya yang ikut membentuk karakternya seperti itu. Anak cuma bisa menerima seapa adanya. 

Aku masih ingat bagaimana Bapak begitu keras membangun rumah tangganya dengan baik, mencari nafkah, mengantarkan kami ke sekolah, merawat Ibu yang sakit, mengalah segala hasrat duniawinya demi seorang istri dan dua anak perempuannya. Kalau ingatanku tidak salah, pernah suatu sore Bapak menjemputku yang masih berumur 5 tahun di kelas TK besar waktu itu. Aku lupa kenapa waktu itu Bapak jemput, karena biasanya aku naik mobil antar jemput yang sudah dibayar setiap bulan. Bapak hanya punya vespa waktu itu, dia suka sekali punya motor itu bahkan di rumah kami sekarang ada bangkai vespa yang benar-benar sudah tidak bisa diperbaiki lagi. Hanyalah kesia-siaan saja kalau menghabiskan uang untuk membenahi vespa lama yang sudah usang, bisa-bisa biayanya jauh lebih mahal dari harga jualnya. Kami lewat jalan pintas yang memang agak curam waktu itu, tanjakan yang cukup tajam tapi lebih cepat sampai ke rumah. Ketika saat mau menanjak, motor vespa tua itu mogok dan akhirnya Bapak harus mendorong motor itu dengan aku di atasnya. Setengah perjalanan tanjakan itu berhasil ditempuh Bapak, hari sudah mulai gelap lalu turunlah hujan deras dan Bapak mulai kelelahan. Kau bisa bayangkan kan seberapa berat motor itu?

Bapak terus memastikan aku baik-baik saja di atas motor itu, disuruhnya berpegangan tangan pada pegangan dekat setir. Ketika ingin mulai mendorong maju lagi, tiba-tiba ada mobil melaju kencang dari arah yang berlawanan menginjak kubangan air di sebelah kami yang jumlahnya tidak sedikit. Tentu saja, kami basah kuyup karna air hujan kotor itu. Mungkin kalau pada saat itu aku sudah boleh berbicara kasar dan lantang, mobil dan supirnya sudah kuteriaki. Aku yang tidak tahu harus bereaksi apa-apa hanya bisa menyeka air dari wajahku, Bapak berusaha menurunkan standar motor dan menyenderkan motornya sembari membantuku membasuh air kotor di wajah dan badanku, dengan lirih Ia bilang: "Sabar ya Nak, belum punya mobil kita" lalu melanjutkan perjalanan mendorong motor ke atas. Sesampainya di atas, Ia berusaha menghidupkan motornya kembali dan kami melanjutkan perjalanan pulang.

Sampai kapanpun, aku tidak akan pernah lupa kenangan itu.

Bapak dan Ibu menikah pada umur emas mereka, Bapak umur 28 dan Ibu umur 24 mereka berdua sama-sama anak sulung yang pergi ke luar kota mengejar impian mereka untuk berkarir. Dimana sebelum menikah, mereka sudah training ke luar negri, ambis berkarir dan mencari uang sebanyak yang mereka bisa. Memang tidak boleh membandingkan kehidupan kita dengan orang lain hanya saja aku merasa berhak membandingkannya dengan hidup kedua orang tua ku. Hanya hal itu yang bisa menghiburku saat ini, mengakui bahwa pada saat umur sekarang aku cukup tangguh berjuang dari mereka demi keluarga.

Aku tahu, di umur 26 tahun segala penderitaan yang dialami Bapak tidak akan pernah sebanding dengan apa yang telah aku dan adikku lewati. Satu hal yang pasti terjadi saat ini, aku dan adik kebingungan dengan segala kondisi saat ini. Memiliki kedua orang tua yang sakit baik secara fisik maupun mentalnya yang juga terguncang karena siksaan sakit yang ada pada tubuhnya, membuat kami kesulitan dalam menentukan segala keputusan dan pilihan dalam hidup kami. Rasanya sudah kehilangan sosok Bapak yang kami punya sejak 9 tahun lalu, idealisme, norma atau nilai moral yang Bapak sampaikan bertolak belakang kini dengan apa yang kami rasakan dari Bapak sendiri.

Pun siang itu, pesan yang kudapat darinya di sela-sela jam kerja. Aku pikir sebuah sapaan kabar dari Bapak, ternyata.... bukan:

Lebur rasanya. Bapak yang jarang sekali berbicara lama via telpon, Bapak yang tidak pernah meminta apapun, Bapak yang selalu menjaga ketegaran dirinya tapi tiba-tiba meminta sesuatu yang makin membuatnya semakin sakit. Aku yang seketika marah dan sedih membaca pesan itu, bisa merasakan betapa egoisnya Ia memikirkan dirinya sendiri. Bukan perkara uangnya, kalau Bapak minta buah atau vitamin berjuta-juta pun aku mampu mengupayakannya. Seperti sebuah pengkhianatan rasanya, dulu Bapak janji mau berhenti merokok kalau-kalau aku diterima di Universitas Negri, sampai wisuda pun janji itu tinggal janji tidak pernah jadi nyata. Sampai hari ini, sudah beberapa kali masuk rumah sakit dalam satu tahun terakhir, tak kunjung berhenti juga. Janji itu tidak pernah lagi kusimpan, tidak pernah lagi menjadi hutang tapi entah sampai kapan Bapak mau berusaha menyingkirkan keegoisannya demi tidak merepotkan Ibu dan adik di rumah. Aku yang jauh seperti percuma mencari banyak uang, mengejar karir, sudah tidak tahu lagi tujuanku selain mengusahakan semuanya demi bisa membayar upaya-upaya untuk membuat mereka tetap hidup panjang.

Mungkin aku tidak akan pernah bisa melibatkan orang lain lagi dalam siklus ini, aku dan adikku mungkin jadi berpikir puluhan kali sosok laki-laki seperti apa yang idealnya bisa menerima kondisi kesulitan kami ini. Bersanding dengan anak perempuan yang berjuang dalam kebingungan merawat kedua orangtua yang sakit pasti bukanlah sikap yang mudah untuk seorang laki-laki, kalau-kalau kami punya banyak waktu untuk mengubah segala keadaan ini mungkin akan butuh banyak waktu sampai akhirnya bisa memikirkan ambisius untuk mengejar kualitas hidup yang lebih baik lagi dari ini.



Ahh Pak..





Jakarta,
06/07/2020


Sebentar

Hampir setahun sudah,
Mana ada manusia yang tidak pernah berdosa di dunia ini
Paling tidak pernah berbohong pada dirinya sendiri
Menyakiti dan berkhianat pada dirinya sendiri
Mengabaikan kebaikan untuk dirinya sendiri

Aku.

Kumpulan kata yang mengikatku tak akan pernah menjadi kalimat
Waktu yang memintanya untuk bersatu pun tak kunjung ada jawaban
Kata-kata itu berkumpul tanpa punya arti
Melebur dalam kebingungan dan kerisauan

Setiap malam, mereka terjebak dalam nadi nadirku
Tidak pernah kuberi ampun untuk mencari tuannya yang lain
Rangkaian kata yang membentuk doa-doa lirih tanpa ada tujuan harus kemana
Menyebutkan sebuah nama di dalamnya pun aku enggan

Mereka terjebak dalam deru nafasku
Mereka tersiksa dalam tangisku
Mereka kebingungan dalam tawaku
Mereka tersesat dalam aliran darah ketidakikhlasanku

Dengan kesengajaanku, doa-doa itu tidak pernah bisa keluar dari mulutku
Semua akan berujung kesia-siaan saja
Berdoa menjadi sesuatu yang tabu untuk kulakukan, aku malu pada Tuhanku
Seraya ingin memohon padahal aku tahu semuanya bukanlah milikku
Segala yang ada di bawah langit memang ada masanya
Lalu, bagaimana bisa aku si lemah dengan segala kepercayaan diriku yang setengah-setengah ini berani memohon kepada-Nya untuk sebuah rumah kembali padaku?
Siapa aku?

Memohon sebuah rumah yang lain pun aku tidak berani
Banyak perempuan seumuranku berlomba-lomba berdoa tulus untuk dipertemukan pada seseorang yang bisa menyambut mereka pulang,
atau meminta yang lama kembali dengan cara yang ajaib

Aku tidak tahu mau kemana,
Jumpa aku di sana, entah di mana yang aku maksud
Siapapun, tolong tarik aku lagi


Jakarta,
30.07.2020

Rumah


Wabah ini membuatku tak bisa pulang untuk membawa mereka jalan-jalan keluar dan makan enak. Entah sampai kapan aku tak bisa pulang.
Aku manusia yang sudah lama tidak menemui banyak manusia lainnya dalam 3 bulan ini, mulai sudah tidak tahu harus menghibur diri seperti apa.
Tapi, siang ini aku membuat sebuah video demi menjawab segala kerinduan itu.



Mereka cat rumah hari ini, bagian luarnya sudah sangat usang dari warna hijau diganti menjadi abu.
Semoga rumah jadi lebih baik untuk setiap insan yang ada di dalamnya, menjadi tempat bernaung yang lebih hangat lagi.



Salam,
Anak sulung di Ibukota



Jakarta,
26.05.2020

:)

Just because someone carries it well doesn't mean it isn't heavy.
It's sad

When you try to pick up a conversation with someone you haven't talked to in a while and used to be close to, but you notice that they don't make any effort to talk to you and just push you further away to the point where you realize that things have changed and it'd be probably better to let go.

People come and go, sadly.


Even the ones you thought you'd never lose.

It's sad.

Very sad.



Jakarta,
06.05.2020

Sejati

Sejak bertengkar dengan kenangan-kenangan selewat, aku tidak pernah lagi bisa percaya pada cinta yang sejati. Pun untuk mengenang hal yang baik-baik darinya, buatku masih omong kosong saja. Apa yang sudah terjadi sebelumnya, pada akhirnya hanya memperpanjang kontrak trauma yang belum pernah selesai dan malah membuatnya semakin menjadi dan beranak pinak.

Entah,
pantaskah aku untuk diperjuangkan dan menjadi alasan tujuan seseorang untuk pulang?
Rumah yang layak kah aku untuk dihuni dalam suci maupun cela, untung maupun malang, suka maupun duka? Dijaga mungkin?

Yang ku tahu baik dan buruk ada pada satu rumah mana bisa dipilih dan ditakar seenaknya, lalu yang terjadi justru setiap siapa saja yang datang bisa seenaknya pergi tanpa meninggalkan akhir yang baik. Aneh rasanya, susah payah menuliskan sesuatu untuk bisa mendapatkan arti lalu dihapus begitu saja tanpa memberikan aba-aba apapun. Tidak berjejak, yang tertinggal hanya goresan tidak bermakna dan harus segera dibuat lupa.

Sial,
Masih belum terpejam juga di dini hari seperti ini, padahal tidak minum kopi.

Delapan bulan,
Disiksa kebingungan untuk menerka dan menyimpulkan segala emosi entah harusnya menjadi apa
Kehadiran sebulan lalu kupikir membuatku semakin jelas tetapi justru semakin bingung
Kupikir Ia datang untuk mengubah keputusanku yang mau berganti pergi,
tapi Ia justru berhasil sekali untuk menyudahi semua yang benar-benar selesai
Lugunya aku yang berpikir manusia bisa menjadi baik lagi, haha

Aku pernah semangat sekali berdoa semesta tidak mempertemukanku dengan orang lain karena aku maunya Ia saja, tapi bisa apa aku kalau ada yang lebih baik darinya?
Yang tidak pernah janji, tapi tidak pernah pergi
Yang tidak banyak bicara, tapi tidak pernah pura-pura
Yang tidak pernah mengangankan banyak hal terlalu tinggi tapi selalu di sini

Pulanglah,
Kau tahu aku tidak mungkin menyayangimu lagi kan?

Tapi aku menutup segalanya dan tersiksa sendiri karena pernah punya harapan lebih atas seseorang yang kuanggap sejati.
Aku tidak bisa melihat hal baik apapun lagi dalam hubungan harmonis soal berpasangan.

Masih omong kosong semua.

pun ini

Jakarta,
02.05.2020

3x2 meter

Hari ini cukup dipusingkan dengan datangnya Ibu pemilik kosan yang lebih terlihat seperti oma-oma Chinese yang banyak bicara dengan segala pernyataan-pernyataan sombongnya. Siang tadi dengan keadaan belum makan apa-apa sama sekali, selepas mengurus beberapa jualan untuk dikirim hari itu juga saya bergegas kembali ke kosan menemuinya.

Sambil dengan berpura-pura senyum dibalik masker, saya menyapanya. Berbasa-basi untuk memperbolehkan saya menempati kosan di bawah yang memiliki kamar luasnya 2,5 x dari kamar saya. Negosiasi ini sebenarnya sudah berjalan dari bulan Januari, namun entah dengan alasan apa dia belum juga mau memberikannya kepada saya, sementara ada 3 orang lainnya juga yang mau mengambil kamar itu. Berulang kali saya berusaha menawar harga karena ternyata di luar dugaan, yaitu 1,45 juta dan belum termasuk listrik. Padahal dugaan awal harganya paling hanya 1,2 juta mengingat letak kosan ini bukan di pinggir jalan besar dan kamar mandinya sama dengan yang lama tidak pakai pintu, hanya tirai saja. Ia tidak juga menyerah dan bertahan dengan harga tersebut karena penghuni sebelumnya adalah suami istri yang diberi harga 1,4 juta. Saya tidak bisa menawar lagi.

Isi kepala saya dengan cepat berhitung berapa pengeluaran tambahan yang harus saya keluarkan untuk membayar biaya kosan yang sampai 28% dari total pendapatan saya per bulan. Seperti dibelah dua rasanya, ada ego dan realita yang harus saya baur menjadi satu supaya mendapatkan kesimpulan. Setakut itu saya untuk mengeluarkan uang, karena sejak pertama kali bisa mencari uang sendiri saya tidak pernah berani atau gegabah untuk menyenangkan diri sendiri dengan mengeluarkan uang yang banyak demi membeli barang-barang atau menikmati kemewahan lainnya. Sekali saja waktu itu yaitu liburan ke Kuala Lumpur dimana butuh berpikir puluhan kali sampai akhirnya jadi membuat passport dan berangkat. Kalau bukan demi mengobati patah hati, mungkin saya juga tidak jadi pergi ke luar negri seperti itu.

Setelah pusing berhitung dan ada ketakutan disana bahwa saya berharap sekali adanya pengertian dari rumah untuk tidak berharap banyak dulu kalau semisal dalam 3 bulan atau bahkan sampai akhir tahun wabah ini belum selesai, saya tidak bisa membantu banyak dulu. Saya menelepon Ibu. Berbicara banyak namun intonasi Ibu menunjukkan bahwa saya terlalu berani dan sia-sia kalau pindah di area yang sama dengan biaya lebih dari 2x lipat hanya untuk kosan yang dipakai untuk istirahat saja. Masalahnya sudah 1 bulan berjalan WFH ini dan saya cukup gila bertahan di ruangan sempit seperti ini. Sudah jelas saya tidak mendapatkan ketenangan apapun dari Ibu, hanya berakhir dengan "Terserah kakak, kan kakak yang punya uang dan bisa ngaturnya" katanya lirih sembari menutup telepon.

Makin pusing saya, mungkin faktor belum makan juga. Sambil melihat sudut kamar yang tak seberapa ini, setiap sudutnya menyiksa saya dengan kenangan yang terjadi di kamar ini. Semuanya, tawa, kemalasan, amarah, kesedihan, penyesalan, dan permohonan-permohonan semu yang pernah terjadi di tempat ini. Pun kasur yang jadi saksi bisu, saya beraktivitas seperti bekerja, depresi, makan, menangis, memohon, sakit, menyakiti, berusaha sembuh dan menjadi gila secara bersamaan di kasur ini. Mungkin apabila Ia bisa berbicara, pasti ingin sekali rasanya memaki saya manusia lemah ini yang terus saja merepotkannya dengan urusan duniawi yang menurutnya sia-sia seperti dirinya sendiri ada masanya.

Saya mencoba menelepon seorang teman, alih-alih mencari penegasan keputusan untuk pindah benar atau tidak. Segala kekawatiran saya tumpahkan begitu saja, pun reaksi Ibu saya yang mengecewakan saya yang sedang panik ini. Sampai akhirnya dia bilang, "Lu salah sya, lu berekspektasi orangtua lu bisa berubah ya ga akan bisa. Lu sadari aja apa yang depan mata ini, kalau ini bisa jadi titik untuk semua berubah jadi lebih baik, kenapa harus ragu untuk pindah? Nanti bisa kita cari pemasukan lebih keras lagi, rejeki ada aja kalau dicari, udah tenang aja". Saya cuma terdiam, seringkali saya berada di posisi tidak percaya pada diri sendiri untuk memutuskan bahwa saya layak mendapatkan sesuatu yang lebih baik padahal itu semua buah dari usaha dan kesabaran yang saya jalani, mungkin saya jadi terkesan pelit pada diri sendiri dan tidak jarang berujung dengan penyesalan karena tidak lebih cepat memutuskan dan terlambat mendapatkannya. Maka sering kali, saya butuh validasi dari sahabat untuk membantu saya menyimpulkan bahwa saya layak menikmati sebuah kemewahan.

Hahh...
Sejujurnya, saya merindukan senyum dan suara sederhana itu yang meyakinkan saya tiap saya mau membeli sesuatu yang menurut saya mahal...
"Ga apa sya, dibeli aja. Nanti kamu bisa hemat lagi, kamu butuh itu.. uang bisa dicari"
Lalu dengan percaya diri saya berjalan ke kasir dengan senyum yang lebar. Mungkin Tuhan akan hadir dengan bentuk yang lain, seperti sahabat saya tadi.

Lalu saya tertawa sendiri, membayangkan mengapa saya menjadi sekikir itu untuk memikirkan kualitas hidup saya yang mungkin memang sudah waktunya untuk ditingkatkan, seperti yang dilakukan orang-orang, mendapatkan kenyamanan untuk kualitas hidup yang lebih baik lagi. Saya terlalu tertinggal untuk memikirkan urusan semacam, padahal saya pun tidak tahu menabung banyak uang untuk apa. Pun juga tipe manusia yang tidak lihai memakai uangnya untuk berinvestasi jangka panjang seperti menabung emas, saham, atau pun menyicil rumah seperti kebanyakan milenial lakukan sekarang. Saya hanya tahu menimbun uang, dan cuma punya satu tujuan: misal ada apa-apa dengan kesehatan Ayah dan Ibu membutuhkan tindakan cepat, saya punya uang yang cukup. Bodoh memang, saya masih belajar soal mengolah keuangan.

Jadilah akhirnya saya segera telepon Ibu pemilik kosan untuk konfirmasi bahwa saya akan jadi pindah, meminta segera dibereskan urusan kamar mandi yang butuh perbaikan. Lega rasanya, saya bisa membayangkan kamar itu akan saya tata seperti apa. Semoga ini bisa menjadi awal bahwa kualitas hidup saya akan jauh lebih baik lagi dari sebelumnya. Rasanya diri sendiri bilang;
"Nah gitu dong, biar ga sedih terus kamu tuh! Nanti kita usaha lagi ya, ga apa biar lebih produktif!" ingin memeluk diri sendiri rasanya, dan bilang maaf kalau baru seberani sekarang.


Selamat Tasya, selamat menjadi lagi.



Jakarta,
23.04.2020





Belajar Menulis

Sore tadi saya teringat 4 tahun lalu saat malam itu sehabis acara salah satu kampus di Bandung, jauh-jauh dari Jatinangor hanya untuk menyaksikan Naif karna pernah jatuh cinta menyaksikan David sang vokalis dengan nada pilunya menyanyikan Benci untuk Mencinta sambil bertelanjang dada. Pasti bukan cuma karena adegan panas itu saja tentunya, pada dasarnya saya memang suka berburu konser gratis selama berkuliah di Bandung. Memang benar kata orang, Bandung bisa menyajikan hiburan tanpa kamu harus bersusah payah mengeluarkan uang. Pantaslah orang bilang ingin sekali hidup bekerja di daerah yang suasananya seperti Bandung, UMRnya Jakarta, dan harga makanannya Jogja. Sayangnya, mustahil.

Konser itu gratis tentunya, saya cukup modal Rp 5.000 untuk naik Bus Damri dari Jatinangor karena waktu itu berangkat siang menjelang sore hari, saya berangkat bersama beberapa teman yang memang suka sekali menonton konser gratis. Sesampainya di sana, kami sempat berkeliling kampus megah itu untuk melihat-lihat tenant makanan atau pameran-pameran dari fakultas yang menyelenggarakan acara tersebut dan memang bintang tamu pasti selalu muncul di puncak acara. Setelah berjam-jam berkeliling, makan, dan tertawa bersama akhirnya kami mengambil posisi berdiri dekat panggung karena seperti tidak ikhlas rasanya sudah jauh-jauh dari Jatinangor tidak menyaksikan konser itu dari dekat. Acara malam itu diawali dengan penampilan-penampilan band indie lain, performance dari anak-anak fakultas yang menyelenggarakan, games, dll. Sampai akhirnya panitia terlihat panik mengulur waktu acara, seperti ada yang disembunyikan.

Benar saja, sampai akhirnya ada MC yang dengan berat hati mengatakan bahwa Naif tidak datang malam itu. Alasan yang mereka sampaikan adalah Naif mengalami kendala teknis di jalan menuju ke tempat konser itu, dengan berat hati beberapa penonton ada yang mundur karena merasa sia-sia dan marah sekali, ada juga yang tetap bertahan berharap panitia dan MC hanya bercanda saja. Saya dan teman-teman sempat bertahan 15 menit. Pada saat yang sama di hari itu saya terus berkomunikasi dengan seseorang yang saya kenal dari salah satu aplikasi anon (ya memang lucu pernah coba-coba aplikasi semacam), saya hanya memberi kabar bahwa saya datang ke kampusnya hari itu untuk nonton konser. Ia sempat memberikan saya informasi sebelumnya mengenai Naif yang tidak akan datang pada sore hari karena pihak rektorat melarang acara itu diselenggarakan di malam, sebabnya pengunjung acara itu sudah melebihi kapasitas, namun saya masih menganggapnya bercanda.

Saya sambil tertawa kecut berbalik badan dan ternyata benar saja, setelah menunggu beberapa menit akhirnya teman saya menyerah dan mengajak untuk pulang, mereka akhirnya memutuskan untuk mengejar jadwal travel terakhir untuk pulang. Saya memutuskan untuk menginap dulu saja di kosan teman, satu per satu teman saya pamit naik angkutan umum menuju tempat travel sedangkan saya mematung sambil bingung memikirkan bagaimana caranya saya pulang ke kosan teman di ciumbuleuit atas. Saya melapor ke kenalan saya itu bahwa benar yang Ia katakan, kedatangan saya menjadi sia-sia saja, yang ditunggu justru tak kunjung datang. Saya memutuskan untuk pulang, walaupun tak tahu caranya bagaimana, sampai pada akhirnya Ia menawarkan untuk mengantarkan pulang karna angkutan umum ke Ciumbuleuit atas sudah tidak ada.

"Aku bisa antar, tapi tunggu dulu aja di situ jangan kemana-mana. Aku ambil motor dulu di kosan teman, dekat kok di dekat kampus".

"Oke, aku tunggu depan gerbang kampusmu ya" tanggapku cepat.

Lalu, tak lama kemudian ada kenalan lain yang menanyakan kabarku bagaimana sepulang dari acara itu, karena takut ada kerusuhan pasca tidak jadinya Naif datang. Jelas saja karena diberitahu informasi begitu, rasanya mau cepat pulang saja. Dia menawarkan untuk mengantar pulang juga, karena aku kurang sabar menunggu dan tidak enak merepotkan Dia yang sedang meminjam motor temannya, akhirnya aku menolak ajakannya dengan mengatakan bahwa temanku ada yang kebetulan nonton konser juga dan bersedia memberikan tumpangan dan memilih Dia yang segera meluncur ke persimpangan rumah sakit itu. Sudah kurang sabar, berbohong pula. Maaf  ):

Kejadian itu mengingatkanku pada sosok yang kutolak itu, entah seperti apa dia sekarang. Dia adalah orang asing yang pernah kubaca tulisannya, baru kenal tapi dia mudah saja memberikan karya-karyanya yang tidak pernah dipublish dimana pun dan hendak menjadikannya sebuah buku. Akhirnya, keinginannya itu tercapai. Aku membeli karyanya itu, betul saja dia bisa melahirkan tulisan-tulisan yang membuatku berkeinginan untuk menulis lagi pada saat itu, pun seperti sore tadi saat aku tiba-tiba berpikir untuk mulai menulis lagi dan mengingat kejadian tersebut. Padahal, sampai hari ini kami tidak pernah jadi bertemu.

Seharian ini saya hanya menertawakan kejadian itu, semuanya terekam ulang betapa egoisnya saya malam itu. Banyak kata seandainya dalam kepala saya, andai malam itu tak kutolak ajakannya, andai malam itu aku memutuskan untuk berani pulang dengan caraku sendiri, andai aku tak mengandalkan siapun di malam itu, andai ponselku mati dan tidak bisa berkomunikasi kepada keduanya, andai andai andai....

Semua lamunan itu kuobati dengan melihat tumblr-nya kembali, cerita kehidupannya yang lebih banyak turun daripada naiknya membuatku bersyukur telah menjadi lebih baik setelah menghadapi berbagai macam pelik, aku sempat bertanya tentang kejadian malam itu sebagai anonymous dan Ia menjawabnya:
"Coba dipikir-pikir lagi. Lebih ingin cinta tiga tahun atau cinta satu malam? Sesungguhnya dia telah menyelamatkanmu. lol"
Membaca balasannya jelas saja aku tertawa lebar, mengartikan semua ini membuatku terlihat konyol sekali, betapa perasaan menyesal menertawakan saya dengan segala keikhlasannya. Bukan bagaimana kelanjutan saya dan dia, tetapi lebih kepada betapa naifnya saya malam itu bukan berdiri pada kaki saya sendiri. Saya yang seharusnya mungkin belum bisa menerima siapa-siapa pada saat itu, pun saya juga yang seharusnya masih dengan kesendirian untuk bertahun-tahun kemudian. Terlalu cepat rasanya, merawat hati orang lain ketimbang memelihara hati diri sendiri, rasa-rasanya ini masih akan menjadi tugas yang sangat besar.

Namun, saya menjadi lebih kuat setelah membaca tulisan-tulisannya secara tidak langsung saya yang belum pernah bertemu sama sekali dengannya, bisa merasakan bahwa segalanya sia-sia. Kenyataannya masih ada hari esok lagi yang harus diurusi dan tidak bisa hanya berdiam diri pada satu tempat lalu berharap keajaiban datang. Tidak, hidup tidak seajaib itu.


Terimakasih, nu. Saya mau belajar menulis lagi.


Salam lara, mari nikmati sisa-sisa kesedihan ini jangan sampai menciptakan sedih yang lain kemudian terlalu banyak, menumpuk, dan menjadi menyebalkan.





Jakarta,

22.04.2020

A Reminder:

This is what I want you to understand...

Just because someone told you that they loved you and didn't mean, it doesn't mean that love doesn't exist.

Just because you believed them and it wasn't true, doesn't mean that you shouldn't believe in love.

Love didn't hurt you, someone who doesn't know how to love hurts you.
Don't confuse the two.

Just because they didn't mean, it doesn't mean that there isn't someone out there who does mean it.

Who will want to love you
Who will want to say it and mean it and believe it

Don't write of love just because someone didn't know how to love you properly

and...

I know it's hard right now and it may not make sense
but there is someone out there who will say it and mean it.

#QuarantineDay32


I HATE YOU CORONA!!!!


Jakarta,
19.04.2020

Sign of GASLIGHTING

Gaslighting is a form of psychological manipulation in which a person or a group covertly sows seeds of doubt in a targeted individual, making them question their own memory, perception, or judgment, often evoking in them cognitive dissonance and other changes such as low self-esteem.

Are you the victim of gaslighting?


Watch out for these signs;
  1. You constantly question yourself
  2. You wonder if you're too sensitive
  3. You're easily being more anxious and less confident than before
  4. You struggle to make decisions
  5. You can't stop apologizing
  6. You think you do everything wrong
  7. You think you're not good enough
  8. Always feel you make bad choices
  9. You think you deserve to be alone
  10. You are unhappy for no reason
  11. You create excuses for them
  12. You've lost confidence
  13. Avoid giving information to friends or family members to ask for a confrontation with a partner
  14. Feel alienated from friends and family
then, how to recover from gaslighting? Stay calm, you are not alone. It's okay not to be okay, sometimes the answer is only from yourself. You are the ultimate rescuer for yourself. Here's the answer:

Accept the fact like the way it is, everything is not your fault. There is always no good news from the past. Accept it as a part of your GREAT JOURNEY!

Call It What It Is
Many people find the label “gaslighting” very useful because it names an experience they felt but couldn’t quite describe. After all, gaslighting is effective because you aren’t aware of what’s really happening since you’ve been made to doubt your perception of reality. Saying “that’s gaslighting behavior” is an essential step toward breaking free from it.

Get Free
As long as you’re in contact with a gaslighter, you’re susceptible to their manipulation since they know how to push your buttons. If you can, break off contact with the person. Of course, it’s more difficult when the gaslighter is a family member or someone else that’s hard to avoid, in which case you may need to minimize interactions rather than avoid them entirely. Please note that leaving a gaslighting partner can be dangerous in some circumstances; talk with a trusted loved one, and law enforcement if necessary, and take appropriate precautions. You need to surrender to the situation for getting a good closure if they refused to make it happened. It's okay to make yourself stop for asking a single "sorry" from them, it won't work.
You can't make a person appreciate you by doing more of what they refuse to appreciate.

Be Gentle With Yourself
Many people turn against themselves when they realize they’ve been gaslighted, blaming themselves for not recognizing it and breaking away sooner. Keep in mind that this kind of self-criticism is a common result of gaslighting. Try to let go of self-blame, and acknowledge that gaslighters are very skilled at the art of manipulation. The most important thing is that you’ve recognized it, and will learn from this experience.

Surround Yourself With Love
Nothing makes us more miserable than an abusive relationship, and nothing heals like loving relationships. Spend as much time as you can with people who love and appreciate you. Talk with them about the doubts and fears that became a part of your life through the gaslighting relationship. Allow them to validate your reality as you let go of constant self-doubt. Let these connections nourish you.

Learn From Your Experience
After being on the receiving end of gaslighting, you’re better equipped to recognize the warning signs. If your significant other was the gaslighter, be careful as you get into a new relationship. Educate yourself through bookspodcasts, and other resources so you can avoid likely gaslighters in the future.

Finally, keep in mind that you may see everyone as a potential gaslighter for a while—and for good reason. The trauma of gaslighting can lead to being “once bitten, twice shy,” and can make you highly attuned to possible emotional manipulation. Remember that not every disagreeable behavior is a symptom of gaslighting. Instead, look for a pattern of behavior over time and in different settings.

It’s not easy to recover from gaslighting, but it’s worth the work it takes as you learn to trust yourself again.

(Ephesians 4:32)

Good luck, it will be a beautiful journey! Yosssshhh...

Search Results


Web results



P.S
Fvck u corona! Mo maiiiinnnnnnnn ):



Jakarta,
18.04.2020

Places We Won't Walk


Aku mencoba mempelajari mengapa aku tidak bisa menempatkan diri untuk memahami diriku sendiri. Ia terus saja terdiam sambil terus berjalan dan tidak tahu berapa lama atau bagaimana ujung jalan ini nanti. Ia yang tidak bisa tunduk pada realita yang didapatnya, Ia yang selalu menganalisa mengapa keikhlasan dan ketulusannya berbuah pada pengabdian yang sia-sia. Lucunya caramu meninggalkan ini semua membuatku masih terus membandingkan bahwa derajatku sebagai manusia tidak memenuhi harapanmu, ketika mungkin yang kau hadapi saat ini jauh lebih baik dan menarik untuk dijalani. Padahal harapanmu itu hanya berbisik tidak pernah secara nyata bisa aku ketahui. Diam itu emas? Sayangnya tidak semua diam adalah emas.

Lalu jadilah aku yang masih saja terus berupaya dengan keras kepala mencari cara lain untuk memulihkan diriku, memberanikan diri menghadapi rasa sakit itu kembali, aku ke Bandung. Sudah setahun lebih sejak aku ribut dengan sahabat-sahabatku yang masih kuingat persis aku sedikit membelamu di dalamnya, aku tidak mau kamu menjadi objek dari waktuku yang berharga yang terkesan hanya untuk dirimu saja (padahal ya, aku mengutamakanmu), dan sisa waktu yang harus dimanfaatkan untuk mengurus perbekalanmu sebelum kamu pergi meninggalkan segalanya. Liburan yang harus disegerakan, kebersamaan yang harus diburu-buru untuk menjadi bermakna.  Aku tidak pernah menikmati Bandung dengan benar sejak saat itu, pun untuk kita berdua. Aku ingat persis waktu itu aku bilang, bisa saja momen ini adalah kesempatan terakhir kita berdua di Bandung bersama. Tergenapilah sudah.

Ya kalau pada akhirnya kamu melihat tulisan ini, mungkin di situlah kamu baru sadar aku mengupayakan segalanya untuk tidak merusak dan membagi pikiranmu supaya kamu utuh untuk pergi, aku ya digeser-geser saja tidak apa. Mungkin itu juga yang ada di benakmu sebelum pada akhirnya kamu menemukan kecacatanku dan kadar toleransi serta empatimu menjadi tidak ada sama sekali. Masih ku ingat jelas raut wajahmu yang tidak ada rasa khawatir sedikitpun di hari itu, bersenda gurau soal melanjutkan S3 dan butuh berapa lama lagi tanpa pernah kamu membahas bagaimana kita selanjutnya. Terang saja, rasa-rasanya kita di masa depan hanyalah sebuah angan-angan di obrolan sore. Pada akhirnya kamu menemukan justifikasi atas kegundahanmu sendiri tanpa pernah berani untuk mendiskusikannya, bahkan kamu seorang lelaki yang tidak pernah menawarkan kejujuran atas keraguanmu di jalan ini, hingga pada akhirnya kamu memilih untuk bersahabat dengan dendam itu. Kamu menyimpannya dengan sangat rapih, menolak untuk mengutamakan hati daripada mementingkan emosi.

Aku sadar, bukan tugasku membuatmu menjadi lebih manusia apabila kamu enggan menganggapku ada.
Aku sadar, aku memang tidak pernah memilikimu sejak awal.
Aku sadar, kamu tidak pernah berada di jalan yang sama.

Mungkin kalau terjadi sesuatu denganku, kamu pun tetap pergi dengan tanpa membawa rencana apapun atas diriku ataupun kita. Pelukanmu hari itu, menegaskan bahwa kamu pergi dan tidak ada berencana untuk kembali lagi, kamu bilang aku rumahmu, nyatanya kamu cuma singgah saja 3 tahun ini baik fisik, rasa maupun karsamu. Kamu yang tidak bisa menawarkan ketenangan pergi begitu saja dengan meninggalkan ketakutan, kamu boleh marah kalau tersinggung dengan kata-kataku ini, tapi kalau benar ya jangan ulangi dengan perempuan lain lagi. Belajarlah untuk tidak setengah-setengah membagi diri dan memahami apapun di luar dirimu sendiri, apabila sudah ya ditunjukkan saja tidak perlu ragu untuk mencoba. Aku rasa kamu sudah cukup banyak dapat pengalaman dariku, semoga kelak kamu bisa lebih baik lagi dalam memberi walau tak suci, terus mengobati walau membiru, mengampuni tanpa memperhitungkan masa lalu, dan tetap membasuh walaupun kering. Kau pun jelas tahu, tidak semua luka bisa kering dengan sendirinya. Satu hal,  jangan pernah lagi menjadikan pasanganmu tokoh utama atas peraduan dan keraguanmu, itu bukanlah solusi terbaik untuk menjadi manusia yang baik. Aku mohon, jangan ulangi lagi. Bukan cuma kamu manusia yang pantas punya hidup lebih baik, yang lain pun layak mendapatkan kebaikan dalam hidupnya.

Jadi sekali lagi, aku tidak bisa menikmati Bandung seperti biasanya. Betapa tidak, aku kan selalu bersemangat sekali tiap ke bandung, makanannya, suasananya, apalagi kalau kebetulan ada konser bisa didatangi di kota ini. Berlebihan mungkin, tapi bagiku Bandung masih sama indah apa adanya walaupun dengan kesenderianku. Di tengah wabah virus sialan ini, mungkin percuma juga untuk bisa menikmati suasananya karena Bandung seperti kota mati, pemerintah mulai menghimbau untuk supaya semua orang di rumah saja. Sudah ada yang meninggal dan banyak pasien positif di Bandung, tapi aku pun tetap berangkat. Ada panggilan rasanya untuk tetap berangkat, meski beberapa teman sampai ada yang menyindirku karena tidak di rumah saja. Aku benci sekali situasi wabah seperti ini, bukan karna takut mati karna virus tapi aku yang makhluk sosial ini susah sekali hidup di ruang sepetak sendirian, saat semua orang menjadi sangat sensitif karena berita-berita yang membuat mereka semua depresi. Kau pun tahu, aku manusia yang kekuatannya bersumber dari bertemu dengan banyak manusia.

Senin waktu itu, aku hanya berniat untuk mencari jajanan di sekitar jalan Dipatiukur, naik ojek online tidak mengajak siapapun karena mereka semua takut untuk keluar. Namun sore itu, aku berubah pikiran dan berhenti di satu tempat yang sama-sama kita tahu, tempat yang bisa membuat kita tersenyum malu karena mengingat kenangannya. Pertigaan itu, masih ingat kan? Aku memberhentikan ojekku di sana, terduduk diam menikmati tempat itu untuk waktu 10-15 menit. Kebetulan sekarang sudah ada kursi taman di trotoar, begitu banyak perubahan Bandung dari hari terakhir kita kunjungi. Lama coba bertahan, betapa segala janji bersama dan impian kita hilang seketika, berbeda dengan hari itu kita pernah datang dengan segala mimpi dan tawa yang harus kita jaga bersama. Mungkin seharusnya waktu itu, aku tak menerima tawaranmu untuk mengantarkanku pulang.






What I exactly know is;
Trust should be earned from someone, through their actions, thoughts, and words. It's not something that should be given upfront until it's exhausted then over, there are some layers of the trust until it leads you to unconditional trust.
I did it to you several times, my parents did it also to me. 
of course, your family did it to you too.


It's called unconditional love.



Jakarta,
05.04.2020




Closure-2

Here's a dedication to you:

These mountains that you are carrying, you were only supposed to climb

Moving on may take stages, but humans do not heal and clear-cut steps
One moment you may feel completely healed
and the next moment the scent of a breeze that reminds you of them
Breathes the pain so freshly back into your flesh and rips your heart into pieces
Once again you forgive them one day
and the next day your self-worth screams into every vein of yours
Paralyzing you, begging you to be angry with them

As I mourn the loss of your love, my heart cries
I tell the memories of you that I love you and I want you back
Your memories fight back and tell me;
He never loved you
He never loved your smile nor your lips
He never loved your vision nor your eyes
He never loved your touch nor your creases on your hands
He never loved your innocence nor your fair skin
He never loved your thoughts nor your mind
He never loved your care nor your heart

He only loved your love and the way you loved him
You made him king but there was no Kingdom to rule
You put your suns in his sky but the night was his home
You made him a knight but there were no battles to fight
He never loved you, but he loved the reflection of the men he saw in your eyes

Once upon a mistake, I loved you and you loved me
The sunshine brighter than ever in my sky
and I felt like heaven could not be close enough to my happiness
After I spilled my love into your heart, I said to you that I was sorry for hurting you
Although I did not understand how my love for you could have hurt you
After we fought our fights and caused each other pain
only because I loved you and could not let you go
and you stopped loving me and wanted me to let you go
months upon months
tears upon tears
letters inside letters
hopes inside hollow hopes
I wrote to you
I begged you to not leave me but you left

Like a bird with broken wings, I stood in front of you and I said to you
I cannot let you go because I'm so uninterested in a reality without you
If I imagined growing old with you and letting the child and me play around you
How can I hate you?
I don't just want to be your attention
I want your attention
I don't just want to be wanted
I crave you wanting me
I crave the love you had for me
I want you to love me if it's time that you want I will wait
Just tell me that we will have someday what we have one day

One day you will tell me that you wish you never left
and I will tell you that I wish that you had never come back
that I wish that you had not walked away, but you did walk away
You will tell me that you missed the look of love in my eyes
and I will ask you if you missed the tears that my eyes cried the day that you walked away
You will tell me that you wish I would give you another chance 
and I will tell you that I wished you never walked away but you did
You will tell me that you are not yourself when you walked away
and I will tell you that I was not myself when I thought that you were the one
So do me a favor and walk away this time because...
I do not want you to stay

I hope from the bottom of my heart that no one ever hurts you like the way you hurt me
I could easily wish you pain, but you hurt me so much
that I would never wish it upon to anyone let alone someone I loved
Today, I decided to forgive you
Not because you apologized or because you acknowledge the pain that you caused me
but because my soul deserves peace and I will not deny my soul it's rights
My dear self,
I apologize for not putting you first for putting them first
for making your worth dependent on how they saw you
for making their words more important than yours
for not allowing myself to forgive you
Forgive me for believing them when they said there's something wrong with you
Forgive me for not believing in you
Forgive me for loving them more than loving you


I will never be waiting for you anymore, even for a single sorry.
God forgives me who is full of sin, who am I not to forgive you?
Hopefully, in the midst of this virus outbreak you are still fine and healthy, If I leave this world first, please prove my kindness through your attitude towards others.
Your life is precious for other people, please live to serve others.


Your happiness will last forever





Jakarta,
27.03.2020