Re-post: Tipe-x dan Penghapus

Oke ini cerpen kedua. Ini bukan berdasarkan pengalaman loh, hanya khayalan sebelum tidur gitu. Yaa namanya juga single, sebelum tidur kaga ada yang nyeritain biar ngantuk jadinya gue bikin cerita deh. Hope you like it..  :)


Tipe-x dan Penghapus..




Aku  terduduk manis di kursi itu sambil memegang kertas putih yang kugenggam erat supaya tidak terbang. Tak lama kau pun datang, tersenyum dan duduk di hadapanku. Aku memberikan kertas tadi kepadamu, sebaliknya kau pun memberikan kertas yang kubawa untuk ku pegang. Kau merogoh kantong celanamu dan memberikan pensil untukku menulis, namun kuperhatikan lagi kau memiliki pena yang bagus. Tak apa pikirku. Sama saja.

Aku mulai menorehkan tulisan-tulisan itu dengan pensil yang kupunya di kertas milikmu tadi. Sempat-sempatnya saja aku tersenyum sambil menulis, terlihat bahwa aku sangat menikmati tugas ini. Indah memang, rapi sudah pasti, dan bersih terlihat. Jika ada penilaian soal seninya aku yakin aku dapat nilai yang baik. Kau pun mulai menulis dengan pena milikmu di kertasku. Aku tak tahu apa yang kau tulis, yang pasti aku yakin tulisanku indah karena hati yang tulus ikut campur tangan merangkainya.

Kau pun mengajakku untuk saling menukarkan kertas tadi, akhirnya kembalilah lagi kertas milik kita masing-masing. Aku kegirangan membaca tulisanmu yang hitam tebal, jelas tergambar, dan menarik untuk terus dipandang. Aku yakin kau pun pasti akan mengalami hal yang sama. Punyaku sudah jelas tidak kalah bagusnya.

Faktanya, masing kurang. Apa yang mulai bisa menjadi sempurna untukku, ternyata jauh dari harapan. Tidak ada raut wajah yang memuaskan dari wajahmu. Keningmu dan alismu mengerut memandanginya, berkali-kali kertas kau jauhkan dan kau dekatkan lagi. “Apa ada gangguan pada matanya? Mana mungkin tulisan yang cukup tebal seperti itu tak terlihat?” Gumamku dalam hati.

Semua yang kutorehkan tadi hanya terlihat seperti torehan pensil HB di matamu. Tidak jelas, samar, bahkan hampir pudar. “Jika memang bagimu masih kurang tebal, kenapa tak kau lengkapi dengan penamu tadi? Lagipula kau yang hanya memberiku pensil” Tanyaku heran dalam hati. Akhirnya aku tahu, kau tidak punya satu pena pun. Ajaibnya penamu tadi tak terlihat entah kemana. Kau menyerah. Kau tersenyum kecil dan meletakkan kertas itu begitu saja di hadapanku.

Aku terdiam menatap kosong pada kertas yang kutulis tadi, sejenak kupegang dan masih ada kebanggaan tersendiri saat memandangnya. Nafasku panjang dan kuletakkan lagi. Senyum kecilmu merekah lagi seolah memberi tahu “Tenang, ini belum selesai”.

Kini kau mengeluarkan tipe-x dan penghapus. Saat aku dengan sigap mau mengambil penghapus karena takut kurang sempurna seperti tadi di awal, kau justru menahan tanganku dan meletakkan tipe-x di genggamanku. Aku bingung sendiri menebak apa maksud dari semua ini. Aku sangat ingin menyadarkanmu bahwa aku mau memakai penghapus itu, namun kau justru menyuruhku untuk tidak memusingkan hal itu.
Kali ini lebih aneh, kau menyuruhku untuk berusaha memutihkan kembali kertas milik kita masing-masing. Kau memulainya duluan. Lihai sekali tanganmu menghapus semua tulisan yang menurutku sangat indah dan layak berada di kertasmu itu. Sesekali kertasnya tertarik dan menjadi terlihat sedikit kusut. Hatiku pilu melihat karyaku diperlakukan begitu, dengan lembut aku membisik; “Hapuslah perlahan, jangan terlalu keras nanti sobek kertasnya”. Terang saja aku langsung men-tipe-x tulisanmu di kertasku ini. Kau memandang mengawasiku.

Perlahan aku mulai mengerti dan ingin sekali bertanya, namun saat aku ingin mulai mengeluarkan suara, suara tegas terdengar; “Tidak akan sobek kok, tenang saja”. Walaupun tak membentak, suara itu seperti aba-aba perwira yang menyuruhku untuk diam pada posisi siap saja. Kau melipat-lipat kertas milikmu yang sudah kusut dan meletakkannya di hadapanku. Kau berdiri dan berjalan gagah membelakangi sambil memegang kertas yang baru masih mulus, putih, bersih beserta dengan pena tadi. Ajaibnya kedua benda itu ada di tanganmu entah darimana.

Kau tidak berbalik menatapku yang sedang termenung dengan semua keanehan ini dan berusaha mencari jawaban atas semua pertanyaan yang ada di kepalaku. Lambaian tanganmu saja yang terlihat dan lama-lama menghilang. Aku sadar, itu menjawab semuanya.

Masih tidak terlalu mengerti dengan situasi ini, aku mulai menitihkan air mata. Senyumku merekah kecil dan berusaha berbicara pada kesendirianku, “Justru tipe-x yang lebih mahal dan baik menurutmu kalah kegunaannya dengan penghapus yang menggebu-gebu untuk kugunakan agar tulisanmu ini tak hilang, atau akhirnya kertas ini bisa sobek karena kupaksakan untuk dihapus sehingga kertas ini bisa kubuang, tapi kau lebih memilih supaya aku memaksa untuk menutupinya saja”.  Aku menatapi kertasku yang putih dengan tulisan putih tebal  di atasnya, itu terlihat seperti.. “Aku sayang kamu”. Benarkah aku?



Beruntungnya kamu memiliki penghapus itu. Setidaknya bisa memudarkan atau mungkin dapat menghilangkan, tapi ingat jangan terlalu keras menghapusnya nanti sobek dan tak ada lagi kertas untukmu”.  -ALB