Places We Won't Walk


Aku mencoba mempelajari mengapa aku tidak bisa menempatkan diri untuk memahami diriku sendiri. Ia terus saja terdiam sambil terus berjalan dan tidak tahu berapa lama atau bagaimana ujung jalan ini nanti. Ia yang tidak bisa tunduk pada realita yang didapatnya, Ia yang selalu menganalisa mengapa keikhlasan dan ketulusannya berbuah pada pengabdian yang sia-sia. Lucunya caramu meninggalkan ini semua membuatku masih terus membandingkan bahwa derajatku sebagai manusia tidak memenuhi harapanmu, ketika mungkin yang kau hadapi saat ini jauh lebih baik dan menarik untuk dijalani. Padahal harapanmu itu hanya berbisik tidak pernah secara nyata bisa aku ketahui. Diam itu emas? Sayangnya tidak semua diam adalah emas.

Lalu jadilah aku yang masih saja terus berupaya dengan keras kepala mencari cara lain untuk memulihkan diriku, memberanikan diri menghadapi rasa sakit itu kembali, aku ke Bandung. Sudah setahun lebih sejak aku ribut dengan sahabat-sahabatku yang masih kuingat persis aku sedikit membelamu di dalamnya, aku tidak mau kamu menjadi objek dari waktuku yang berharga yang terkesan hanya untuk dirimu saja (padahal ya, aku mengutamakanmu), dan sisa waktu yang harus dimanfaatkan untuk mengurus perbekalanmu sebelum kamu pergi meninggalkan segalanya. Liburan yang harus disegerakan, kebersamaan yang harus diburu-buru untuk menjadi bermakna.  Aku tidak pernah menikmati Bandung dengan benar sejak saat itu, pun untuk kita berdua. Aku ingat persis waktu itu aku bilang, bisa saja momen ini adalah kesempatan terakhir kita berdua di Bandung bersama. Tergenapilah sudah.

Ya kalau pada akhirnya kamu melihat tulisan ini, mungkin di situlah kamu baru sadar aku mengupayakan segalanya untuk tidak merusak dan membagi pikiranmu supaya kamu utuh untuk pergi, aku ya digeser-geser saja tidak apa. Mungkin itu juga yang ada di benakmu sebelum pada akhirnya kamu menemukan kecacatanku dan kadar toleransi serta empatimu menjadi tidak ada sama sekali. Masih ku ingat jelas raut wajahmu yang tidak ada rasa khawatir sedikitpun di hari itu, bersenda gurau soal melanjutkan S3 dan butuh berapa lama lagi tanpa pernah kamu membahas bagaimana kita selanjutnya. Terang saja, rasa-rasanya kita di masa depan hanyalah sebuah angan-angan di obrolan sore. Pada akhirnya kamu menemukan justifikasi atas kegundahanmu sendiri tanpa pernah berani untuk mendiskusikannya, bahkan kamu seorang lelaki yang tidak pernah menawarkan kejujuran atas keraguanmu di jalan ini, hingga pada akhirnya kamu memilih untuk bersahabat dengan dendam itu. Kamu menyimpannya dengan sangat rapih, menolak untuk mengutamakan hati daripada mementingkan emosi.

Aku sadar, bukan tugasku membuatmu menjadi lebih manusia apabila kamu enggan menganggapku ada.
Aku sadar, aku memang tidak pernah memilikimu sejak awal.
Aku sadar, kamu tidak pernah berada di jalan yang sama.

Mungkin kalau terjadi sesuatu denganku, kamu pun tetap pergi dengan tanpa membawa rencana apapun atas diriku ataupun kita. Pelukanmu hari itu, menegaskan bahwa kamu pergi dan tidak ada berencana untuk kembali lagi, kamu bilang aku rumahmu, nyatanya kamu cuma singgah saja 3 tahun ini baik fisik, rasa maupun karsamu. Kamu yang tidak bisa menawarkan ketenangan pergi begitu saja dengan meninggalkan ketakutan, kamu boleh marah kalau tersinggung dengan kata-kataku ini, tapi kalau benar ya jangan ulangi dengan perempuan lain lagi. Belajarlah untuk tidak setengah-setengah membagi diri dan memahami apapun di luar dirimu sendiri, apabila sudah ya ditunjukkan saja tidak perlu ragu untuk mencoba. Aku rasa kamu sudah cukup banyak dapat pengalaman dariku, semoga kelak kamu bisa lebih baik lagi dalam memberi walau tak suci, terus mengobati walau membiru, mengampuni tanpa memperhitungkan masa lalu, dan tetap membasuh walaupun kering. Kau pun jelas tahu, tidak semua luka bisa kering dengan sendirinya. Satu hal,  jangan pernah lagi menjadikan pasanganmu tokoh utama atas peraduan dan keraguanmu, itu bukanlah solusi terbaik untuk menjadi manusia yang baik. Aku mohon, jangan ulangi lagi. Bukan cuma kamu manusia yang pantas punya hidup lebih baik, yang lain pun layak mendapatkan kebaikan dalam hidupnya.

Jadi sekali lagi, aku tidak bisa menikmati Bandung seperti biasanya. Betapa tidak, aku kan selalu bersemangat sekali tiap ke bandung, makanannya, suasananya, apalagi kalau kebetulan ada konser bisa didatangi di kota ini. Berlebihan mungkin, tapi bagiku Bandung masih sama indah apa adanya walaupun dengan kesenderianku. Di tengah wabah virus sialan ini, mungkin percuma juga untuk bisa menikmati suasananya karena Bandung seperti kota mati, pemerintah mulai menghimbau untuk supaya semua orang di rumah saja. Sudah ada yang meninggal dan banyak pasien positif di Bandung, tapi aku pun tetap berangkat. Ada panggilan rasanya untuk tetap berangkat, meski beberapa teman sampai ada yang menyindirku karena tidak di rumah saja. Aku benci sekali situasi wabah seperti ini, bukan karna takut mati karna virus tapi aku yang makhluk sosial ini susah sekali hidup di ruang sepetak sendirian, saat semua orang menjadi sangat sensitif karena berita-berita yang membuat mereka semua depresi. Kau pun tahu, aku manusia yang kekuatannya bersumber dari bertemu dengan banyak manusia.

Senin waktu itu, aku hanya berniat untuk mencari jajanan di sekitar jalan Dipatiukur, naik ojek online tidak mengajak siapapun karena mereka semua takut untuk keluar. Namun sore itu, aku berubah pikiran dan berhenti di satu tempat yang sama-sama kita tahu, tempat yang bisa membuat kita tersenyum malu karena mengingat kenangannya. Pertigaan itu, masih ingat kan? Aku memberhentikan ojekku di sana, terduduk diam menikmati tempat itu untuk waktu 10-15 menit. Kebetulan sekarang sudah ada kursi taman di trotoar, begitu banyak perubahan Bandung dari hari terakhir kita kunjungi. Lama coba bertahan, betapa segala janji bersama dan impian kita hilang seketika, berbeda dengan hari itu kita pernah datang dengan segala mimpi dan tawa yang harus kita jaga bersama. Mungkin seharusnya waktu itu, aku tak menerima tawaranmu untuk mengantarkanku pulang.






What I exactly know is;
Trust should be earned from someone, through their actions, thoughts, and words. It's not something that should be given upfront until it's exhausted then over, there are some layers of the trust until it leads you to unconditional trust.
I did it to you several times, my parents did it also to me. 
of course, your family did it to you too.


It's called unconditional love.



Jakarta,
05.04.2020




No comments:

Post a Comment