Bakpia Jogja

Surat Pulang

Tenanglah. Aku tak pernah mengharap 
oleh-oleh dari orang yang hidupnya susah. 
Kamu bisa pulang dengan rindu 
yang masih utuh saja sudah merupakan berkah.

Pulang ya pulang saja. Tak usah repot-repot 
membawa buah tangan yang hanya akan 
membuat tanganku gemetar dan mataku basah.

Aku tahu, kepalamu kian berat 
dan hidupmu bertambah penat. Mau selonjor 
dan ongkang-ongkang saja kamu tak sempat.

Pernah aku jauh-jauh pergi untuk menemuimu 
dan tak bisa menemukanmu. 
Di manakah kamu? Ke manakah kamu? 
Ealah, ternyata kau sedang beribadah di akunmu.
-Joko Pinurbo, 2013-
Kusibukkan diri dengan draft tengah malam begini, ah kamu lewat begitu saja tanpa permisi.
Kuingat jelas waktu itu hujan kamu datang ke kosanku. Entah kenapa kamu suka sekali datang menghampiriku saat hujan tiba, seakan kamu tidak peduli deras atau gerimis kamu tetap datang. Gayamu itu loh, terburu-buru salah tingkah mata dan nafasmu entah kemana-mana arahnya tak beraturan.
Padahal waktu itu, bukan sesuatu yang wah ada di tanganmu.
Cuma sekotak Bakpia Jogja, kamu bilang itu oleh-oleh. Tertawa kecil aku dalam hati, untuk makanmu saja susah alih-alih membelikan oleh-oleh untukku. Aku tidak merasa terangkat saat itu, yang kupikirkan sayang uangnya bisa untukmu makan malam nanti.
Sambil tertawa kamu bilang "Hehehe bukan bakpia mahal, cuma bakpia sepuluh ribuan kok"
Bukan soal harga yang melintas di kepalaku saat itu, hanya saja ada gerangan apa kamu kemari membawakan oleh-oleh padahal saat itu telingaku pasti banyak menerima cerita dari banyak orang soal kamu yang bersenang-senang bersama perempuan yang kamu kagumi di Jogja. Sebuah perjalanan yang akan menjadi daftar kerinduan waktu itu kalau aku ikut berangkat bersamamu, namun keadaan lain aku menolak untuk ikut pergi karena tidak siap melihatmu bersenang-senang dengan yang lain.
Lalu kamu duduk meletakkan Bakpia itu, lalu membukanya padahal kamu bilang itu untukku. Kamu makan bakpia itu dengan lahapnya, aku mencoba satu dan ternyata rasa kacang yang membuatku jadi lambat memakannya. Maklum entah kamu tahu atau tidak saat itu, aku tak suka kacang.
"Hahahahaha kok jadi aku yang makan, kan aku yang ngasih. Gak apalah ya, laper juga gua belum makan" suaramu tak jelas karna sambil mengunyah.

Tawaku tak tertahan lagi dan langsung menganggap semua keadaan ini jadi lucu.
Setelah mungkin kamu rasa cukup kenyang, kamu izin pulang. Berlalu begitu saja meninggalkanku dengan beberapa biji Bakpia Jogja yang bagiku lebih baik kamu bawa pulang lagi setidaknya untuk kamu makan sampai habis daripada kusimpan.
Kamu tersenyum pulang, aku membalikkan badan lalu menerka dan hangatlah pipi. Prasangkaku kesana kemari, hari itu memupuk lagi rasa sayangku yang harusnya dengan tegas kuhindari.
Ahh Bakpia Jogja, kacang lagi.

Jatinangor,
14.01.2016

2 0 1 6

Sederhana saja. Jangan tanyakan soal resolusi, kawan.

Saya tak muluk kali ini, berusaha melengkapi target resolusi 2015 dan lulus di tahun ini sudah cukup membentengi diri sampai pertengahan tahun. Namun saya mau menambahkan sedikit, soal hal kecil yang mungkin sering terabaikan seperti mematikan listrik yang tidak terpakai, membuang sampah tidak sembarangan, hemat menggunakan tissue, berusaha menolong hal sekecil apapun yang bisa saya lakukan saat itu juga. Saya terinspirasi yang dikatakan Pope Francis:


Kalau 2015 yang lalu saya isi dengan target-target besar, tahun ini saya hanya ingin mengisinya dengan hal kecil sebagai bentuk meningkatnya kesadaran terhadap lingkungan, berbuat baik kepada siapa saja dan apa saja di sekitarmu.
Mungkin hal-hal seperti ini yang lebih susah untuk digenapi daripada sekedar mau jadi wanita karir yang banyak uang. Tindakan kecil seperti ini lah yang akan membuat generasi pandai bersyukur dan bahagia tanpa harus kamu cari sampai ke ujung dunia. Kamu yang ciptakan kebahagiaanmu sendiri! Bahagia atau tidak, itu pilihan kan?

Ayo kita coba, kawan!

Love still made us,
Love has no gender
Love has no race
Love has no disability
Love has no age
Love has no religion
LOVE HAS NO LABELS.

Jatinangor,
5.1.2016