Derai-Derai Perjalanan

Berpindah lagi.
Bukan di rumah, bukan juga di tanah penuh rindu.

Saya di sini, di Metro.
Sebuah kotamadya kecil yang tidak terbayang sebelumnya. Betapa tidak? Walaupun saya besar di Bandar Lampung, tapi saya jarang sekali kesini. Jarak tempuh dari rumah ke Metro kurang lebih 50 km, yaa sekitar 1-1,5 jam.
Tidak ada siapapun di sini, tidak ada yang saya kenal, pun sekedar pernah bertemu.

Sendiri, saya harus pelajari semuanya sendiri.
Ada rasa takut dan kawatir yang mulai tak masuk akal, tapi saya mencoba tenang.
Betapa saya ingat untuk apa saya melakukannya.
Mungkin, ada 100 alasan yang membuat saya menjadi pesimis atas apa yang saya dapat sekarang.
Celakanya, ada 1001 alasan untuk saya tidak jatuh hanya karena rasa takut.

Memang ini cuma soal belum biasa.
Saya baru di dunia kerja, saya banyak asumsi, rencana apalagi.
Kepala saya tidak bisa diam, padahal mulai saja belum.
Kadang, saya muak sendiri menghadapi diri saya yang terlalu insecure seperti itu.

Yaaa...
siapa yang tahu masa depan, kita kan pelakon.
Tuhan memang baik sekali meletakkan saya di tempat ini, padahal banyak teman-teman lain yang butuh effort lebih untuk mencapai tempat kerjanya. Saya hanya sejauh satu jam saja dari rumah.
Saya percaya, lewat tempat ini pun jati diri saya bisa ditemukan.
Karena doa saya yang keras dan sering menembus langit untuk menjadi daftar yang telah Tuhan kabulkan.

Semoga apa yang saya tinggal saat ini, bisa tetap setia melihat saya mengepakkan sayap untuk bisa terbang meraih apa yang tertunda. Saya akan kesana. Pasti.

Teruntuk kamu yang jalannya mungkin sedang berbelok sedikit, dan sedang berjuang untuk meraih daftar prioritas mimpi-mimpimu.. Tenang :)
Tuhan tahu meletakkan mimpimu di mana dan kapan.
Semua ada waktunya, semua ada bagiannya.
Tidak hanya satu, lebih dari itu.
Nikmati perjalanan ini, sampai nanti kamu bisa berbangga atas anak-anak tangga yang kamu lalui.


Hasil gambar untuk hakuna matata symbol 

HAKUNA MATATA!!!



Metro,
30.10.2016

Balada Harian

Halo.
Kini, mencari waktu untuk menulis tak lagi sama dengan bulan-bulan yang lewat. Seperti susah sekali mencari celah untuk menuangkan pertanyaan yang ada di kepala, untuk akhirnya menemukan jawaban dengan sendirinya. Mengumpulkan niat, meluangkan waktu atau sekedar membuat draftnya terlebih dulu. Dahulu, begitu berhadapan dengan laptop rasanya banyak yang ingin diceritakan. Tapi sekarang tidak lagi. Jangan salah sangka, saya tidak sedang menghadapi kemunduran. Kau tak lagi bisa mengikuti jalan cerita di tiap halaman ini. Padahal kalau kau baca sebelumnya, saya berencana untuk terus menulis lagi. Bukan hanya soal kemalasan, tapi ternyata tak segampang itu, saya sedang di fase mengenal dunia kerja yang ternyata tak seperti yang saya kira. Betapa persaingan tidak menunggu apa-apa, waktu tidak serta merta menuntun saya ke keberuntungan. Saya dituntut berproses di dalamnya. Hahh.. Ya, kerja kawan. Kerja. Tiga minggu menjalani pelatihan di Ibu Kota dan bertemu berbagai manusia dari seluruh penjuru Indonesia, membuat saya paham bahwa saya memang kecil dan dunia di luar sana besar. Sangat besar. Saya masih perlu sekali banyak belajar, dunia kerja memang mulai dari nol kawan. Mungkin tiap anak tangga beda tantangannya. Mungkin.


Lusa saya harus sudah meninggalkan Pulau Jawa, pulang ke tanah di mana saya dibesarkan. Berkarir di sana, merindu di sana.



Jakarta,
27.10.2016

Kenangan Tentang Wanita Tua


Betapa kita sangat menghargai seseorang apabila seseorang itu sudah tidak ada.

Kehilangan menjadi kesunyian yang patut diberi harga.
Karena sudah hilang, tak bisa diulang.

Saya tak pernah cerita perihal kosan saya dulu di sini. Saya penghuni kosan kecil di Jatinangor, Sumedang, namanya Pondok Graha Mukti. Jangan kira ini kosan mewah, hanya rumah tua di dalam gang yang disulap menjadi kosan dengan kurang lebih 30 kamar. Saya di lantai dua, atapnya rendah seolah saya tak perlu bermimpi tinggi-tinggi karena takut mantul lagi.

Pemilik kosan saya wanita tua, bahkan saya tidah tahu persis namanya, yang saya tahu kami semua memanggilnya Ibu Princess. Kurang tahu juga kenapa dipanggil begitu, saya tidak pernah juga cari tahu. Terkadang Ibu Rika (anaknya) dan keluarga datang mengurusnya yang sering sakit-sakitan. Tahun-tahun berlalu fisiknya makin rapuh, umurnya sudah menginjak 80an.

Subuh tadi, Beliau dipanggil Tuhan. Ya, selesailah rasa sakit yang dideritanya selama ini. Ia sedang menuju surga malam ini. Tidak perlu pakai sarung tangan lagi, plastik di kaki lagi, atau masak mie instan lagi.

Lalu memori menari-menari di kepala saya,
Beliau memang tidak sering berkomunikasi dengan anak-anak di kosan, mungkin karena baik Ibu Princess atau anak-anak bingung pembicaraan seperti apa yang pantas untuk menemani hari-hari seorang wanita tua. Tapi saya suka menanyakan kabarnya, entah itu dianggapnya basa-basi atau bukan. Ia suka memperhatikan kalau saya diantar sama laki-laki kalau pulang ke kosan. Betapa Ia ingin tahu siapa sebenarnya pacar saya, padahal tidak ada.

Kemudian saya ingat lagi betapa saya licik tiap mau laundry pakai mesin cucinya, uang yang saya masukkan ke celengan kejujuran tak sebanding dengan pakaian kotor yang saya cuci. Dia memberikan tatapan sinis lalu saya berlalu saja tanpa peduli dengannya, sumpah saya suka keletihan saja waktu itu.


Pernah juga saya sedang senang hari itu, begitu pulang saya melihat dia termangu di teras depan. Menatap saya tanpa menyapa, senyum, atau basa-basi sore yang biasa kami lakukan. Dia hanya menatap saya sayu, tersadarlah saya mungkin memang begitulah kalau sudah tua. Kadang lupa, kadang tidak tahu harus merespon orang seperti apa. Pernah Ia menangis karena melihat saya yang kesedihan menghadapi orang tua yang sakit-sakitan, seakan dia lebih kuat daripada saya waktu itu.

Beliau menunjukkan kualitas hidup orangtua, yang tetap tidak meninggalkan tanggungjawab meski sudah lanjut usia. Badan rapuhnya itu masih saja naik tangga hanya untuk menjemur, bahkan Ia memakai plastik untuk melindungi kakinya karena sandal karet sudah tidak bersahabat lagi dengan kulitnya. Luka-luka.

Sekarang,
Beliau tak perlu bingung lagi menghadapi dunia. Ia sudah di tempat yang lebih baik.
Selamat jalan Ibu Kosan kami, Ibu kami, nenek kami. Terimakasih Ibu Princess, memang saya suka seenaknya saja sebagai anak di sana. Maafkan atas kejadian yang lalu-lalu, kalaupun saya pernah kesal tidak pernah ada saya ingat-ingat lagi. Saya sayang Ibu, nenek kami semua. Terimakasih telah peduli pada status saya, kalau sudah berkeluarga nanti saya akan kenalkan ke rumah.

Kiranya Tuhan memberikan tempat terindah untuk Ibu di surga, dan keluarga yang ditinggal diberikan kekuatan. Sampai bertemu lagi di nisan kekal abadi, Bu. Saya pasti datang menjenguk Ibu membawa bunga untuk Ibu yang memang indah hatinya.



L i f e
 is pleasant
D e a t h 
is peaceful.

Kemiling,
6.10.2016

Tinggal di Saturnus

Aku ingin tinggal di Saturnus
dimana hanya ada aku dan dirimu
Jangan lupa anjing-anjing kita yang lucu
mereka bermain tanpa tahu ini bukan rumah yang semestinya

Tak perlu lagi kawatir soal nilai-nilai di Bumi
Juga orang-orang yang takut kehilanganmu
Pun orang-orang yang takut aku buta jalan apabila bersamamu
Lagipula, bukankah kita lebih peduli hasrat kita dibanding kicauan mereka?

Tak ada lagi paham-paham bodoh soal keyakinan
Argumen yang membuat hasrat menjadi semu
atau realita hidup yang membuat kita ragu akan hari esok
Tidak, di sana tak berlaku
Kita memulai semuanya bagaikan manusia pertama

Aku ingin tinggal di Saturnus
dimana kita bisa menjawab rindu-rindu tanpa siksa
duduk di balkon lantai dua setiap sore
ditemani secangkir kopi dan pisang goreng
sambil menunggu senja yang lebih jingga dari biasanya

Setiap fajar tiba kita akan saling membangunkan
Melempar senyum walaupun gigi masih bermentega
Aku akan memasak sarapanmu setiap pagi menjelang
Kau akan memeriksa tanaman-tanaman cantik kita di halaman

Kita tak akan peduli masalah-masalah yang ada di Bumi
Terbentuklah planet hunian baru seperti yang kita inginkan
Aku tak akan pernah lagi ketakutan atas kehilangan yang belum terjadi
Aku milikmu, Kau milikku.

Tapi. Kau harus tahu bahwa tinggal di Saturnus akan melelahkan
Mencoba membangun atau melupakan apa yang telah hilang
Kau adalah pria baik yang tidak perlu melelahkan dirimu
Hanya untuk mencintai perempuan aneh sepertiku
Jika tak ingin, kau bisa memilih perempuan baik di luar sana

Namun, Aku mencintaimu, bersamaku di Saturnus..
Kita akan memulai dan menjalani segalanya dengan kesederhanaan
Tidak akan menekan siapapun
Pun membuat yang lain menangis di atas kebahagiaan yang kita ciptakan
Tidak perlu berjanji untuk sehidup semati sampai ada yang pergi
Kepergian tidak akan membunuh diri kita sendiri
Berjanji saja pada Tuhan bahwa kita akan saling menyayangi
sampai batas kemampuan memiliki

Lalu buah-buah cinta kita akan tumbuh
Kita akan menamai anak-anak kita dengan kata-kata yang kita suka
Mendidik mereka bahwa memiliki segalanya bukanlah tujuan hidup
Hukum selamat manusia adalah untuk hidup dan bahagia
Banyak yang menggali dalam-dalam materi untuk yang pertama
Berharap yang kedua akan segera menyusul
Padahal, belum tentu. Belum tentu.

Aku dan segala keputusaanku hari ini,
meninggalkan rumah tanpa karena pun aku belum mampu
Apalagi membawamu ke Saturnus.
Namun, aku belum di sana, masih kah engkau ingin ikut?

"Kau tak akan mengerti segala lukaku, karna cinta telah sembunyikan pisaunya"- WS Rendra

Kemiling,
3.10.2016