Si Penggerutu

Dilihatnya sinar jingga di gelanggang sana, cahaya yang terang membuatnya kagum seakan cuma sinar itu lah yang bisa membangunkannya dari lamunan yang melulu.
Tak ada yang lebih bahagia selain dirinya saat itu
Hatinya paling bersyukur tatkala tak banyak yang bisa sejauh itu
Dihapusnya peluh di kening, digenggamnya senja itu diam-diam

Hari-hari berlalu, terkejutlah Ia
Mereduplah senja yang digenggamnya, jalannya mulai terseok
Lelah Ia mencari cara, entah bagaimana caranya untuk selamat
Mengumpatlah Ia, darahnya mengumpul di otak
Meracaulah Ia sejadi-jadinya dan tak ada yang peduli akan suaranya
Toh gelap memang, tak ada siapapun.

Jatuhlah Ia dan tak ada yang bisa menolongnya
Merana Ia di sana, tergeletak tak berdaya
Membayangkan hari-harinya sebelum menggenggam senja itu
Menangis Ia di dalam kegelapan, tak sanggup sendiri kala kenangan memburu di kepalanya

Pernah Ia merasa menjadi manusia paling bebas kala itu
Menjadi pendengar yang baik, menyayangi sesama, peduli pada dunia dengan tanpa modal apa-apa
tapi waktu tak berkawan, berlalu layu begitu saja
Semuanya memang kenangan, belum tentu bisa diulang

***

Sinar kuning merkuri, pendar celaka akhir hari
Malam-malamku jatuh
Senja mengambang, lirih dan terabaikan.
Mesin dan umpatan
Jalanan lengang namun sesak
Aku pulang dengan segala sakit di punggung dan kepalaku, setiap hari.
Tolong.



Metro,
22.11.2016






Hujan di Awal Bulan November

Entah dunia sebelah mana,
yang tega bersekutu melihatku sendu melagu
di hujan sore awal bulan, di tempat entah di mana
Rintiknya meneduhkan ku berharap berlabuh di kelambu jiwamu
Lelahku melesat bagai peluru, memburu bagai candu
Butuh tempat, di mana saja asal jangan berdua tapi bukan bersamamu

Lalu ku cari kamu.
Di setiap celah hidupku, di ruang dan waktu yang disengaja
Di saat aku membutuhkanmu lebih dari kamu membutuhkanku
Di setiap rintik hujan bulan ini
Aku mau kamu.

Bayangmu kurasa cukup, namun tak pernah sampai
Ambang asa menegurku dengan lembut
Bahwa semua yang ku rindu menjadi abu
waktu yang ku tahu hanya hitungan-hitungan semu berlalu

Aku tak menemukanmu.

Hujan mulai tak berkawan, rintiknya menyia-nyiakan
Padahal kita sama-sama suka apabila berdua, karena sendiri aku benci
Aku tersisih oleh hujan yang menderu
Lebih bising dari yang kukira

Ahh... Tuan kelana, di mana kamu?




Bandar Lampung,
4.11.2016