Bukan Milik Puan

Butuh waktu lama bagiku untuk menyadari bahwa tidak semua hal dalam hidup ini dimaksudkan sebagai cerita yang indah. Tidak setiap orang yang menjalin hubungan dengan kita apapun itu bentuknya, yang mungkin kita rasakan begitu dalam dan rasa-rasanya akan terus selalu bersama, bermaksud untuk menjadi rumah di dalam hidup kita, atau menawarkan selamanya. Kadang-kadang, orang datang ke dalam hidup kita untuk mengajari kita cara mencintai; dan terkadang, orang-orang datang ke dalam hidup kita untuk mengajari kita cara bagaimana untuk tidak mencintai. Bagaimana caranya untuk tidak menetap, bagaimana tidak menenggelamkan diri kita lagi.

Aku sudah memiliki cukup jam terbang untuk mengalami hal demikian, demi mencari pengisi hari dan kekosongan dalam hidup. Semudah itu juga mereka bisa pergi hanya untuk meninggalkan pesan bahwa tidak selamanya orang bisa bertahan dengan kisah-kisah pilu hidup seorang perempuan yang berharap menemukan rumahnya atau ada yang sudi membantu hidupnya dapat diperbaiki. Bicara soal rumah, aku tahu pasti memang tidak ada yang kekal dari manusia. Bahagia dengan cara berharap pada manusia bukanlah solusi untuk mendapatkan welas asih dalam hidup, aku sudah mengalami cukup banyak luka untuk memahami hal tersebut. Meskipun kadang, tidak kebal juga. Rasa kecewa dan sakit kadang seusil itu menyentuh hidupku kembali.

Salah dua dari mereka pernah berkata dengan kata-kata yang membuatku tersudut dan memaksaku mengingat apa saja yang sudah kulakukan belakangan ini. Aku yang biasanya sangat toleransi pada manusia-manusia yang mengujar sarkasme, biasanya dapat menyaring apa yang kudengar, tapi tidak kali ini.

Aku tidak mau menghabiskan emosiku untuk membuat pembelaan atas pernyataan mereka berdua, hak mereka juga untuk berkata seperti itu. Aku tidak bisa kontrol hasrat orang lain. Kekeliruanku karena telah menganggap mereka manusia-manusia baru yang bisa menjadi sosok yang saling mendukung apalagi dalam masa pandemi seperti ini, sebagai kawan, bukan yang lain. Aku tidak cukup gila untuk memulai suatu hubungan di atas perbedaan-perbedaan lagi. Cukup sekali saja.

Lalu aku akhirnya sadar, aku yang biasanya menjadi tong sampah hati bisa kelelahan karena menampung segala cerita pilu dari orang-orang dan tidak bisa berkata tidak untuk menjadi kawan pendengar bagi mereka yang kesusahan. Sering juga mungkin bisa memposisikan diri ikut menjadi kebingungan demi mencari solusi dari masalah-masalah mereka. Rasanya ingin selalu ambil peran, merangkum segala kata bijak demi menenangkan mereka.

Kata-kata mereka membuatku tersadar bahwa aku pun sebaliknya, mencari ketenangan berharap orang lain melakukan hal yang sama atas keadaanku. Berharap orang lain mengobati perasaanku. Ternyata cerita-ceritaku menghabiskan energi mereka berdua. Kehadiranku merepotkan mereka, kesusahanku memenuhi dan mengusik keadaan mereka yang mungkin sedang bertolak belakang dengan rasa dan karsa yang kutumpahkan pada mereka. Pada akhirnya, mereka pergi menjauh tanpa kata apapun lagi. Mungkin hanya karena perasaan tidak enak saja, jadi memilih pergi dalam kesunyian. Hak mereka juga untuk pergi, hak mereka untuk memilih menetap atau tidak. Toh, laki-laki memang punya keberuntungan bisa memilih.

Ya, kadang-kadang orang pergi begitu saja, bahkan tidak meninggalkan pesan pasti atas diri mereka yang menyerah dan mau menjauh, tapi tidak apa-apa karena selalu ada pelajaran dibalik itu dan itulah yang penting. 

Itulah yang tersisa.

PSBB in DKI will start by today, welcoming anxiety, loneliness and all of them again.
God, please save us.


Jakarta,

14.09.2020