Belajar Menulis

Sore tadi saya teringat 4 tahun lalu saat malam itu sehabis acara salah satu kampus di Bandung, jauh-jauh dari Jatinangor hanya untuk menyaksikan Naif karna pernah jatuh cinta menyaksikan David sang vokalis dengan nada pilunya menyanyikan Benci untuk Mencinta sambil bertelanjang dada. Pasti bukan cuma karena adegan panas itu saja tentunya, pada dasarnya saya memang suka berburu konser gratis selama berkuliah di Bandung. Memang benar kata orang, Bandung bisa menyajikan hiburan tanpa kamu harus bersusah payah mengeluarkan uang. Pantaslah orang bilang ingin sekali hidup bekerja di daerah yang suasananya seperti Bandung, UMRnya Jakarta, dan harga makanannya Jogja. Sayangnya, mustahil.

Konser itu gratis tentunya, saya cukup modal Rp 5.000 untuk naik Bus Damri dari Jatinangor karena waktu itu berangkat siang menjelang sore hari, saya berangkat bersama beberapa teman yang memang suka sekali menonton konser gratis. Sesampainya di sana, kami sempat berkeliling kampus megah itu untuk melihat-lihat tenant makanan atau pameran-pameran dari fakultas yang menyelenggarakan acara tersebut dan memang bintang tamu pasti selalu muncul di puncak acara. Setelah berjam-jam berkeliling, makan, dan tertawa bersama akhirnya kami mengambil posisi berdiri dekat panggung karena seperti tidak ikhlas rasanya sudah jauh-jauh dari Jatinangor tidak menyaksikan konser itu dari dekat. Acara malam itu diawali dengan penampilan-penampilan band indie lain, performance dari anak-anak fakultas yang menyelenggarakan, games, dll. Sampai akhirnya panitia terlihat panik mengulur waktu acara, seperti ada yang disembunyikan.

Benar saja, sampai akhirnya ada MC yang dengan berat hati mengatakan bahwa Naif tidak datang malam itu. Alasan yang mereka sampaikan adalah Naif mengalami kendala teknis di jalan menuju ke tempat konser itu, dengan berat hati beberapa penonton ada yang mundur karena merasa sia-sia dan marah sekali, ada juga yang tetap bertahan berharap panitia dan MC hanya bercanda saja. Saya dan teman-teman sempat bertahan 15 menit. Pada saat yang sama di hari itu saya terus berkomunikasi dengan seseorang yang saya kenal dari salah satu aplikasi anon (ya memang lucu pernah coba-coba aplikasi semacam), saya hanya memberi kabar bahwa saya datang ke kampusnya hari itu untuk nonton konser. Ia sempat memberikan saya informasi sebelumnya mengenai Naif yang tidak akan datang pada sore hari karena pihak rektorat melarang acara itu diselenggarakan di malam, sebabnya pengunjung acara itu sudah melebihi kapasitas, namun saya masih menganggapnya bercanda.

Saya sambil tertawa kecut berbalik badan dan ternyata benar saja, setelah menunggu beberapa menit akhirnya teman saya menyerah dan mengajak untuk pulang, mereka akhirnya memutuskan untuk mengejar jadwal travel terakhir untuk pulang. Saya memutuskan untuk menginap dulu saja di kosan teman, satu per satu teman saya pamit naik angkutan umum menuju tempat travel sedangkan saya mematung sambil bingung memikirkan bagaimana caranya saya pulang ke kosan teman di ciumbuleuit atas. Saya melapor ke kenalan saya itu bahwa benar yang Ia katakan, kedatangan saya menjadi sia-sia saja, yang ditunggu justru tak kunjung datang. Saya memutuskan untuk pulang, walaupun tak tahu caranya bagaimana, sampai pada akhirnya Ia menawarkan untuk mengantarkan pulang karna angkutan umum ke Ciumbuleuit atas sudah tidak ada.

"Aku bisa antar, tapi tunggu dulu aja di situ jangan kemana-mana. Aku ambil motor dulu di kosan teman, dekat kok di dekat kampus".

"Oke, aku tunggu depan gerbang kampusmu ya" tanggapku cepat.

Lalu, tak lama kemudian ada kenalan lain yang menanyakan kabarku bagaimana sepulang dari acara itu, karena takut ada kerusuhan pasca tidak jadinya Naif datang. Jelas saja karena diberitahu informasi begitu, rasanya mau cepat pulang saja. Dia menawarkan untuk mengantar pulang juga, karena aku kurang sabar menunggu dan tidak enak merepotkan Dia yang sedang meminjam motor temannya, akhirnya aku menolak ajakannya dengan mengatakan bahwa temanku ada yang kebetulan nonton konser juga dan bersedia memberikan tumpangan dan memilih Dia yang segera meluncur ke persimpangan rumah sakit itu. Sudah kurang sabar, berbohong pula. Maaf  ):

Kejadian itu mengingatkanku pada sosok yang kutolak itu, entah seperti apa dia sekarang. Dia adalah orang asing yang pernah kubaca tulisannya, baru kenal tapi dia mudah saja memberikan karya-karyanya yang tidak pernah dipublish dimana pun dan hendak menjadikannya sebuah buku. Akhirnya, keinginannya itu tercapai. Aku membeli karyanya itu, betul saja dia bisa melahirkan tulisan-tulisan yang membuatku berkeinginan untuk menulis lagi pada saat itu, pun seperti sore tadi saat aku tiba-tiba berpikir untuk mulai menulis lagi dan mengingat kejadian tersebut. Padahal, sampai hari ini kami tidak pernah jadi bertemu.

Seharian ini saya hanya menertawakan kejadian itu, semuanya terekam ulang betapa egoisnya saya malam itu. Banyak kata seandainya dalam kepala saya, andai malam itu tak kutolak ajakannya, andai malam itu aku memutuskan untuk berani pulang dengan caraku sendiri, andai aku tak mengandalkan siapun di malam itu, andai ponselku mati dan tidak bisa berkomunikasi kepada keduanya, andai andai andai....

Semua lamunan itu kuobati dengan melihat tumblr-nya kembali, cerita kehidupannya yang lebih banyak turun daripada naiknya membuatku bersyukur telah menjadi lebih baik setelah menghadapi berbagai macam pelik, aku sempat bertanya tentang kejadian malam itu sebagai anonymous dan Ia menjawabnya:
"Coba dipikir-pikir lagi. Lebih ingin cinta tiga tahun atau cinta satu malam? Sesungguhnya dia telah menyelamatkanmu. lol"
Membaca balasannya jelas saja aku tertawa lebar, mengartikan semua ini membuatku terlihat konyol sekali, betapa perasaan menyesal menertawakan saya dengan segala keikhlasannya. Bukan bagaimana kelanjutan saya dan dia, tetapi lebih kepada betapa naifnya saya malam itu bukan berdiri pada kaki saya sendiri. Saya yang seharusnya mungkin belum bisa menerima siapa-siapa pada saat itu, pun saya juga yang seharusnya masih dengan kesendirian untuk bertahun-tahun kemudian. Terlalu cepat rasanya, merawat hati orang lain ketimbang memelihara hati diri sendiri, rasa-rasanya ini masih akan menjadi tugas yang sangat besar.

Namun, saya menjadi lebih kuat setelah membaca tulisan-tulisannya secara tidak langsung saya yang belum pernah bertemu sama sekali dengannya, bisa merasakan bahwa segalanya sia-sia. Kenyataannya masih ada hari esok lagi yang harus diurusi dan tidak bisa hanya berdiam diri pada satu tempat lalu berharap keajaiban datang. Tidak, hidup tidak seajaib itu.


Terimakasih, nu. Saya mau belajar menulis lagi.


Salam lara, mari nikmati sisa-sisa kesedihan ini jangan sampai menciptakan sedih yang lain kemudian terlalu banyak, menumpuk, dan menjadi menyebalkan.





Jakarta,

22.04.2020

No comments:

Post a Comment