But, December. How?

Let's thinking about something in December

What you waiting for December?
Joy? Present?
Red or green around?
Prepare for something? Birthday, Christmas or New Year, maybe?
Or a cup of hot chocolate? It must be different if you drink it in December. I think. Cliché? That’s the way I am.

Me? Close enough. I’m human too.

       So many hope I prepared for December. It feels like every second day after day must be meaningful, then in the end of December I can be the woman who satisfied with my life to end this year and begin the new year with joy and more confident than before.

But..
I don’t get it, even in the beginning of December.

       Banyak kenangan, banyak dosa, banyak amarah dan banyak keegoisan di bulan kemarin. Salah mengartikan maksud antara dua hati, tadinya samar-samar seperti cinta namun realita berkata lain. Sebentuk cinta yang ibaratnya masih zigot tidak bisa berkembang menjadi sesuatu yang dapat hidup dan bernafas. Cinta gugur diperintah oleh logika. Mungkin karena terlalu lama tidak melebur dengan seseorang, maka sudah lupa cara untuk menduga, mengejar, mendapatkan bahkan mempertahankan. Tak apa, masih muda. Bukan sebuah penyesalan, hanya saja cinta nyaris datang terlambat (a.k.a tidak jadi datang).

       Sekiranya Desember menjadi bulan yang penuh pengampunan dan kesempatan di mana aku seorang yang biasa, bisa mencari bahagia di setiap harinya. Setidaknya karena aku punya tiket masuk dan layak bahagia di bulan ini. Iya, umurku bertambah di bulan ini wajar kalau aku merasa melekat dan punya peran di bulan ini. Aku punya satu hari spesial di mana aku bisa mematenkan bahwa tanggal 11 adalah milikku. Mungkin bukan hanya aku saja manusia yang berulangtahun tanggal 11 di planet ini, tapi aku tetap percaya tanggal 11 Desember itu milikku. Khayal? Biar saja.

Harapan? Sudah pasti. Bukan cuma satu! (awalnya)
Lalu semua berubah, aku merangkumnya semua menjadi satu meskipun punya fungsi yang berbeda, karena dunia ini bukanlah pabrik pengabul keinginan konsumennya.
Yup, cuma satu inginku, aku mau bagian punggungku normal lagi.


       Tepat tanggal 21 Desember 2014 nanti adalah peringatan sudah dua tahun punggungku tak bersahabat akibat jatuh terduduk. Orang awam bilang ini saraf kejepit. Apapun itu namanya aku ingin sakit ini segera jadi sejarah, bukan lagi harus kunikmati selama bulan Desember ini. Aku percaya diri ini akan segera teratasi, akan segera hilang, akan segera normal kembali. Cepat! Bahkan bila perlu sebelum tanggal 11 datang, sebelum matahari tanggal 11 muncul ini akan pulih seperti sedia kala. Wajah akibat nyeri di setiap bangun pagi berubah menjadi wajah sumringah sambil melompat-lompat sadar bahwa sakitnya sudah benar-benar hilang. Sungguh, aku mau!

       Semangat berapi-api muncul ketika ada salah satu fisioterapi di Jakarta yang mengajakku untuk cek dan terapi. Harganya? GRATIS. Tanpa pikir panjang aku melaju ke Jakarta, penuh harap dan penuh kepercayaan. Diiringi langit mendung dan hujan lebat aku sampai di Jakarta. Penantian penuh hingga esoknya aku sampai di tempat terapi. Setelah ditindak sang ahli terapi mengatakan kebenaran tentang sakit ini. Nama penyakit ini adalah Hernia Nucleus Pulposus. Entah apapun itu namanya aku tak butuh, yang aku mau tahu adalah ini bisa segera sembuh atau tidak. Aku tidak mau ulangtahun diiringi tangis, merasakan suasana natal dengan rasa kurang adil, atau berganti tahun tanpa ada semangat menuju kebaruan. That’s terrible things.

Finally, the therapist says; "this is gonna be long time to be normal again" I’ve broken heart. So broken.

       Berulang kali aku bertanya, berarti tidak bisa dalam dua kali berobat ini? Dan berulang kali sang ahli pun berkata tidak, pengobatan butuh berbulan-bulan terapi, bahkan setelah itu ada pasien yang sama sudah berobat bertahun-tahun namun belum pulih juga. Terlintas di pikiranku mungkin terapi adalah jalan menunda kelumpuhan, bisa saja.

       Suasana langit Jakarta seperti tahu apa yang ada di benakku, mendung lalu hujan lebat. Tangisku terwakilkan. Tak ada air mata hari ini, berita mengagetkan itu cukup memukul untuk mengingatkan “bersahabatlah kembali dengan kenyataan, berlari lah lagi bersama kenyataan, ini hidupmu! Ini jalanmu”. Pikiranku lain, aku melawan! Aku belum ikhlas! Aku bukan takut lumpuh. Hal yang kutakutkan adalah umurku akan bertambah, namun belum ada apa-apa yang kuciptakan. Aku selalu berpikir aku akan menjadi pahlawan yang membuat suatu perubahan untuk orang lain, akan ada cerita hebat untuk diceritakan, maksudku Aku pernah menjadi spesial.

       Manusia memang indah berkata-kata untuk orang lain, tiba-tiba bisa menjadi ahli cinta, ahli filsafat, ahli psikologi, bahkan ahli kemanusiaan. Namun, untuk diri sendiri gagal. 

       Aku? Tidak terkecuali. Ku sebut ini krisis kepercayaan. Untungnya aku percaya hidup ini indah begini adanya, tak banyak inginku saat ini.. hanya satu, aku ingin punggungku normal kembali. Sabar aku menunggu, maka aku bisa mengganti doaku. Bukan cepat pulih sebelum ulangtahunku, tapi berangsur-angsur membaik sampai ada hadiah terindah yang bisa aku dapat. Berjuang bukan hal yang bercanda, berjuang bukan hal yang instan, sesuatu yang bernilai pasti prosesnya lama.

       Aku belum mati, bahkan belum juga lumpuh. Mimpiku masih di sana, kuharap sabar ia menanti. Pada langit mendung sore hari aku berbisik, kiranya Sang Pencipta memaafkan kesalahanku yang sudah-sudah, memberiku kesempatan dan sabar melihatku yang naik turun imannya menghadapi persoalan ini. Aku percaya Tuhan tidak membiarkanku sendirian, Ia di sana..masih di sana sabar menantiku.

......
There is the last 23 opportunities. I'm on my way to believing
May God have a mercy for me

Happiness is like a butterfly: the more you chase it, the more it will elude you, but if you turn your attention to other things, it will come and sit softly on your shoulder - Thoreau -