Eli, Eli, Lama Sabachthani?

Tepat lima hari yang lalu, saya memulai menyibukkan diri untuk berani membereskan barang-barang di kosan karena masa kontraknya sudah habis. Sebenarnya sudah dari seminggu sebelumnya saya berencana untuk membereskannya sebelum mencapai tanggal 25 Juli 2016, bukan karena malas. Saya hanya belum rela harus pergi secepat ini. Tiap malam saya berkeringat sampai sedikit cidera untuk memasukkan barang ke dalam kardus dan mengangkatnya keluar kamar, ketika itu Jatinangor dinginnya tidak seperti biasanya. Saya memandang ke sekitar sudut kamar, ke lorong luar jendela, dan sekitar tempat tidur yang terlalu berjasa menemani setiap malam-malam penuh peluh.
Berkali-kali saya memandangi schedule board dan berbisik tidak banyak lagi hari-hari saya di sini, saya harus segera pergi.

Kelelahan membereskan barang mengantarkan saya berbaring ke tempat tidur. Saya memutuskan tenggelam dalam pikiran, enggan mengusir jauh-jauh apa yang tengah bergumul membeban. Mata saya panas, pikiran saya melayang, yang selama ini dipendam mungkin sudah terakumulasi, melawan dan menuntut dilepaskan.


Saya menghindari orang rumah, acap kali saya mematikan handphone karna jika dihidupkan Ibu sering kali iseng menelepon. Saya paham Ia kawatir pada anak gadis sulungnya ini, namun sering kali isi pembicaraan yang lembut dan saling peduli akan berujung pada keluhan Ibu soal hidup dan rumah yang menurut saya tidak ada habisnya dan berulang-ulang. Entahlah, saya masih saja kurang bisa menerima segala keluhan Ibu tanpa perlu memikirkannya. Andai saya bukan anak pertama dan memiliki seorang kakak, mungkin hal ini bisa saya hindari sedemikian rupa. Memang saya kurang bisa menghadapi Ibu, hanya adik saya yang ahli soal itu. Maka keputusan mematikan handphone seringkali menjadi pilihan, dengan begitu Ibu hanya akan menelepon saya jika benar-benar membutuhkan saya untuk bicara hal penting. Susah saya menggambarkannya tapi percayalah, apabila Ia sudah mengeluh dan menyalahkan keadaan posisi bicara akan sesulit diam. Serba salah.

Pada rumah ada khawatir yang menyelinap, meruntuhkan keyakinan yang berusaha dijaga menyala selama berbulan-bulan. Mungkin sudah saatnya saya protes kepada Tuhan.

Tanpa sadar saya bertekuk lutut dan merapalkan kata tersebut.
Tuhan, Kenapa?
Apa saya kelewat banyak meminta?
Apa saya pernah meminta lebih dari cukup?
Saya tidak menuntut kelimpahan yang serba berlebihan. Tidak, Tuhan.
Lantas kenapa cobaan tinggal bersama saya lebih lama dari yang saya bayangkan?

Atau Engkau berpikir saya masih kuat. Atau pengharapan saya masih minim?
Kurang bergantung? Egois? 

Mungkin semuanya benar.


Sampai saatnya malam ini, betapa semesta seperti ingin saya melewati ini semua dengan cara yang biasa-biasa saja, atau pasrah sampai ketakutan saya terjadi dan saya akan bangkit dengan cara yang biasa-biasa pula. Semesta enggan membantu saya mencari penegasan, tentang apa yang harus saya jaga atau saya lepaskan tanpa kebimbangan. Hari-hari menjelang wisuda akan datang, tapi sampai malam dingin begini masih ada yang membelenggu hati saya.

Saya terus membayangkan apa jadinya mereka datang dan saya dijemput untuk meninggalkan apa yang mungkin seharusnya saya jaga, tapi kesempatan itu mahal sekali saya tak punya apapun untuk menebusnya.

Saya habis kata meminta. Saya masih ingat tahun-tahun yang berat juga dan terpelihara melalui banyak peristiwa. Namun sekarang, saya benar-benar merasa sendirian dan ditinggalkan, Tuhan.


Tolong biarkan cawan ini berlalu dari saya, Tuhan. Saya takut mati sia-sia mengecap anggur asam itu. Saya takut.





Bandung,
29.07.2016