Pangeling-eling

Rasanya seperti ditegur keras, dalam sesat pikir ingin tertawa sekuat-kuatnya.

Bagaimana bisa, aku diperlakukan seperti ini. Hal yang paling kubenci: diabaikan tanpa jejak. Sulit hidup dengan teka-teki dan dihajar asumsi, maka manusia seperti aku seharusnya jangan pernah dibiarkan tanpa penjelasan yang bisa membuatku melangkah pergi, ya karena aku selalu pergi akhir-akhir ini untuk mereka yang merasa aku mulai ada. Aku masih bukan siapa-siapa.

Beberapa malam sebelumnya, merayakan satu tahun kehilanganmu ada seseorang datang dengan sunyi menyapa dan seraya hadir setiap pagi hanya untuk mengisi kekosongan lamaku yang memang bertepatan dengan rencana beraninya aku membuka pintu itu kembali. Itu pun dengan keyakinan yang tidak penuh, hanya euforia sesaat, akhirnya aku menemukan lelaki seiman untuk berbicara panjang lebar soal kesulitan hidup akhir-akhir ini. 

Hanya merasa akhirnya ada pendengar, aku belum mengaguminya dari sisi manapapun. Ada seseorang yang mau berteman baik dengan segala kisah-kisah piluku serta Ia dapat melihatku sebagai seseorang yang baik dengan segala kekurangan yang ku punya. Bukan, aku belum menemukan rumahku, aku merasa menemukan tempat bahwa aku bisa jadi manfaat buat orang lain. Sudah lama berdiam diri tanpa menjadi berguna.

Sunyi yang kosong membawaku untuk mendoakannya, aku bersyukur ada yang mau menemaniku di masa seperti ini, ada yang peduli dengan keseharianku yang tidak menarik sama sekali. Meski keraguanku mulai ada untuk mengartikan semuanya baik sikapku atau sikapnya, keresahan ini membuatku dengan lirih mengingat segala kebaikanmu agar tak sama persis terjadi padanya. Aku berdoa Tuhan mampu mengefesiensikan waktu dan energiku apabila Ia bukan bermaksud menjadikanku seutuhnya ada demi menjadi bersama.

Semalam, Tuhan menjawab keraguan itu..

Benar saja, apa yang mulai kucurigai terjadi. Ia bukanlah manusia yang bebas, ada sosok perempuan yang masih menantinya entah untuk kembali atau sebenarnya memang terikat sedari sebelum kami berniat bertemu pertama kali di tempat makan ramen sore itu. Seorang laki-laki yang masih kuragukan untuk disentuh hidupnya karena memang hanya satu arah saja sejauh ini, Ia seperti tidak mau membahas masa lalunya, dan dua kali meyakinkanku bahwa hubungannya memang sudah berakhir beberapa bulan lalu. Dia yang mau tahu masa laluku dan caraku hidup lebih jauh, semua pada akhirnya hanya sebuah permainan peran. Aku mungkin belum sempat dibodohi lebih jauh, tapi sakit rasanya kenapa harus aku diperlakukan orang lain seperti ini. Setelah sebelumnya dianggap berkhianat, kini aku seakan menjadi peran antagonis yang mengamini segala kebohongan dan akal bulus sang pemeran utama dan merenggut mimpi orang lain.

Trauma itu menghampiri kembali, takdir memerintahkanku untuk merasakan bagaimana perasaannya atas tuduhannya padaku malam itu. Sesak rasanya, sama-sama sakit.

Tapi buat apa punya maksud demikian? Aku belum mau mengalami sesak udara apapun untuk menggapai puncak hidup laki-laki lain. Aku cuma ingin diam duduk di tempatku, menanti seorang yang biasa saja dengan segelas air di tangannya kala ku terbaring sakit.

Yang sudi dekat, mendekat denganku mencari teduhnya dalam mataku dan berbisik:

"Pandang aku, Kau tak sendiri oh Tasyaku"

"Kamu adalah sabarku, Sya".

Demi Tuhan hanya itu saja yang kuinginkan saat ini.

Terimakasih jawabannya.


Jakarta,

25.08.2020

Paman Tua

Hari-hari biasa saja, siang itu Bapak yang jarang sekali berkomunikasi dengan anak perempuannya menyapa dengan cara yang tidak biasa. Antara kami berdua seperti ada jembatan yang panjang untuk ditempuh demi sebuah percakapan yang baik-baik saja, jujur sampai saat ini aku tidak tahan dengan cara bapak berbicara yang selalu menganggap dirinya paling benar dan paling tahu segala hal. Bukan karena zaman sudah berbeda, tapi Bapak tidak pernah mau bertanya dan mendengarkan terlebih dahulu opini orang lain. Aku sadar kurasa bukan tugasku mengubahnya, toh kedua orang tuanya yang ikut membentuk karakternya seperti itu. Anak cuma bisa menerima seapa adanya. 

Aku masih ingat bagaimana Bapak begitu keras membangun rumah tangganya dengan baik, mencari nafkah, mengantarkan kami ke sekolah, merawat Ibu yang sakit, mengalah segala hasrat duniawinya demi seorang istri dan dua anak perempuannya. Kalau ingatanku tidak salah, pernah suatu sore Bapak menjemputku yang masih berumur 5 tahun di kelas TK besar waktu itu. Aku lupa kenapa waktu itu Bapak jemput, karena biasanya aku naik mobil antar jemput yang sudah dibayar setiap bulan. Bapak hanya punya vespa waktu itu, dia suka sekali punya motor itu bahkan di rumah kami sekarang ada bangkai vespa yang benar-benar sudah tidak bisa diperbaiki lagi. Hanyalah kesia-siaan saja kalau menghabiskan uang untuk membenahi vespa lama yang sudah usang, bisa-bisa biayanya jauh lebih mahal dari harga jualnya. Kami lewat jalan pintas yang memang agak curam waktu itu, tanjakan yang cukup tajam tapi lebih cepat sampai ke rumah. Ketika saat mau menanjak, motor vespa tua itu mogok dan akhirnya Bapak harus mendorong motor itu dengan aku di atasnya. Setengah perjalanan tanjakan itu berhasil ditempuh Bapak, hari sudah mulai gelap lalu turunlah hujan deras dan Bapak mulai kelelahan. Kau bisa bayangkan kan seberapa berat motor itu?

Bapak terus memastikan aku baik-baik saja di atas motor itu, disuruhnya berpegangan tangan pada pegangan dekat setir. Ketika ingin mulai mendorong maju lagi, tiba-tiba ada mobil melaju kencang dari arah yang berlawanan menginjak kubangan air di sebelah kami yang jumlahnya tidak sedikit. Tentu saja, kami basah kuyup karna air hujan kotor itu. Mungkin kalau pada saat itu aku sudah boleh berbicara kasar dan lantang, mobil dan supirnya sudah kuteriaki. Aku yang tidak tahu harus bereaksi apa-apa hanya bisa menyeka air dari wajahku, Bapak berusaha menurunkan standar motor dan menyenderkan motornya sembari membantuku membasuh air kotor di wajah dan badanku, dengan lirih Ia bilang: "Sabar ya Nak, belum punya mobil kita" lalu melanjutkan perjalanan mendorong motor ke atas. Sesampainya di atas, Ia berusaha menghidupkan motornya kembali dan kami melanjutkan perjalanan pulang.

Sampai kapanpun, aku tidak akan pernah lupa kenangan itu.

Bapak dan Ibu menikah pada umur emas mereka, Bapak umur 28 dan Ibu umur 24 mereka berdua sama-sama anak sulung yang pergi ke luar kota mengejar impian mereka untuk berkarir. Dimana sebelum menikah, mereka sudah training ke luar negri, ambis berkarir dan mencari uang sebanyak yang mereka bisa. Memang tidak boleh membandingkan kehidupan kita dengan orang lain hanya saja aku merasa berhak membandingkannya dengan hidup kedua orang tua ku. Hanya hal itu yang bisa menghiburku saat ini, mengakui bahwa pada saat umur sekarang aku cukup tangguh berjuang dari mereka demi keluarga.

Aku tahu, di umur 26 tahun segala penderitaan yang dialami Bapak tidak akan pernah sebanding dengan apa yang telah aku dan adikku lewati. Satu hal yang pasti terjadi saat ini, aku dan adik kebingungan dengan segala kondisi saat ini. Memiliki kedua orang tua yang sakit baik secara fisik maupun mentalnya yang juga terguncang karena siksaan sakit yang ada pada tubuhnya, membuat kami kesulitan dalam menentukan segala keputusan dan pilihan dalam hidup kami. Rasanya sudah kehilangan sosok Bapak yang kami punya sejak 9 tahun lalu, idealisme, norma atau nilai moral yang Bapak sampaikan bertolak belakang kini dengan apa yang kami rasakan dari Bapak sendiri.

Pun siang itu, pesan yang kudapat darinya di sela-sela jam kerja. Aku pikir sebuah sapaan kabar dari Bapak, ternyata.... bukan:

Lebur rasanya. Bapak yang jarang sekali berbicara lama via telpon, Bapak yang tidak pernah meminta apapun, Bapak yang selalu menjaga ketegaran dirinya tapi tiba-tiba meminta sesuatu yang makin membuatnya semakin sakit. Aku yang seketika marah dan sedih membaca pesan itu, bisa merasakan betapa egoisnya Ia memikirkan dirinya sendiri. Bukan perkara uangnya, kalau Bapak minta buah atau vitamin berjuta-juta pun aku mampu mengupayakannya. Seperti sebuah pengkhianatan rasanya, dulu Bapak janji mau berhenti merokok kalau-kalau aku diterima di Universitas Negri, sampai wisuda pun janji itu tinggal janji tidak pernah jadi nyata. Sampai hari ini, sudah beberapa kali masuk rumah sakit dalam satu tahun terakhir, tak kunjung berhenti juga. Janji itu tidak pernah lagi kusimpan, tidak pernah lagi menjadi hutang tapi entah sampai kapan Bapak mau berusaha menyingkirkan keegoisannya demi tidak merepotkan Ibu dan adik di rumah. Aku yang jauh seperti percuma mencari banyak uang, mengejar karir, sudah tidak tahu lagi tujuanku selain mengusahakan semuanya demi bisa membayar upaya-upaya untuk membuat mereka tetap hidup panjang.

Mungkin aku tidak akan pernah bisa melibatkan orang lain lagi dalam siklus ini, aku dan adikku mungkin jadi berpikir puluhan kali sosok laki-laki seperti apa yang idealnya bisa menerima kondisi kesulitan kami ini. Bersanding dengan anak perempuan yang berjuang dalam kebingungan merawat kedua orangtua yang sakit pasti bukanlah sikap yang mudah untuk seorang laki-laki, kalau-kalau kami punya banyak waktu untuk mengubah segala keadaan ini mungkin akan butuh banyak waktu sampai akhirnya bisa memikirkan ambisius untuk mengejar kualitas hidup yang lebih baik lagi dari ini.



Ahh Pak..





Jakarta,
06/07/2020