Upaya Menemukan Diri

Mencari, mencari, mencari lalu menemukan.

Hahaha biarkan saya memberikan pembenaran kali ini. Ternyata susah sekali menghargai orang yang sedang berupaya untuk mencari "diri", maksud saya adalah benar-benar keputusan dan jalan yang utuh memang diri sendiri lah yang punya kehendak bukan oranglain. Bagi saya pencarian diri memang akan terus berjalan sampai diri kita sendiri merasa "Wah disinilah harusnya saya berada atau Nah! Inilah yang seharusnya saya lakukan!". Saya percaya Thomas juga mungkin melalui jalan yang bukan dirinya sampai Ia menemukan lampu, Kolonel Sanders pun melakukan banyak hal tentang pencarian diri yang tidak mudah bahkan sampai umur senjanya Ia baru bisa menemukan hal menarik yang seharusnya Ia lakukan sedari dulu, begitu juga dengan JK Rowling yang melalui tidak enaknya hidup sampai akhirnya menyelesaikan Harry Potter. Hahaha tapi akan berbeda jadinya dengan Ratu Elisabeth II yang mau tidak mau menjadi bagian dari kerajaan dan mendapatkan tahta kepemimpinan, siapa yang tau isi hatinya? Mungkin saja dia memimpikan menjadi yang lain, tapi karena kebaikan hatinya Ia senang memimpin negrinya dan mengambil peran itu.

Mungkin tidak semua juga dari mereka punya prinsip "try everything". Saya selalu mengagumi orang-orang yang sudah memiliki talenta dari lahir, asah sedikit maka akan menjadi ciri khas dirinya atau kedua orangtuanya sama-sama menggilai bidang tertentu seperti pelukis atau penyanyi. Namun, saya bukanlah bagian dari orang-orang yang seperti itu, saya terlahir dari keluarga yang biasa saja. Keahlian seperti itu jauh dari kami. Kesempatan untuk mencoba dunia baru selalu saya abaikan dengan lihai, tanpa pernah mencoba memperjuangkannya. Hahaha mudah sekali menyerah.

Saya tidak pernah menyangka akan tiba di sini. Menyadari bahwa saya kurang banyak belajar, memang seharusnya saya mengasah hal itu sendiri tanpa ada dorongan dari siapapun. Sedari dulu ada saja pikiran untuk mengobrak-abrik kembali rencana yang sudah saya susun lantaran keputusan yang tersampaikan di awal. Saya sudah berusaha sabar dengan berbagai bisikan lainnya semacam: ya sudahlah, barangkali sudah waktunya begini saja dulu, mencoba semuanya sambil tolak ini itu supaya menghemat waktu dan tidak menjalani jalan yang bukan saya. Wah! Susah sekali ternyata mengambil celah, hati saya seperti banyak jangkarnya sampai bingung menargetkan akan berlabuh kemana.

Sudah umur segini, ada saja yang menghalang saya untuk berkehendak sesuai dengan keinginan saya, entah karena mereka kurang percaya atau banyak kawatir juga sudah tidak bisa saya bedakan lagi.
Mungkin benar celotehannya dulu "Kamu ini kayaknya, udah gak sabar hidup sendiri ya". Sebuah isyarat yang tidak pernah saya sampaikan pada siapapun tapi terbuka begitu saja, ketahuan mentah-mentah. Saya selalu tertawa jika ingat pernyataannya dulu. betapa saya sendiri pun tidak punya nyali untuk mengatakannya, tapi Ia dengan mudah berbicara soal kesendirian yang selalu saya dambakan. Bebas namun tetap butuh tempat untuk pulang. Saya juga selalu berdalih mungkin memang sebaiknya saya masuk ke pusaran arus utama dulu, suatu kewajiban fase hidup "melebur dulu dengan kehidupan orang lain" ehhh saya tak selamat rupanya. Andai saja saya bisa pergi ke antah berantah saat ini, melawan malam-malam yang terlewat tanpa makna dan tanpa dikawatirkan oleh siapapun. Hingga saya tahu sesepi apa diri saya karena mengikuti kata hati sendiri.

Sering saya bayangkan betapa sebenarnya jalan itu ada di depan mata, disediakan oleh-Nya namun saya banyak sekali berbelok tak menentu hingga mata saya rabun untuk melihat jalan itu. Keadaan jadi seperti terbolak-balik, selalu tak sesuai harapan. Rencana cuma jadi rencana dan justru menjadi kelelahan yang tak berujung. Saya sekarang?

"Terjadilah padaku menurut perkataan-Mu".


Hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
sebelum akhirnya kita menyerah.

(Derai-derai Cemara, Chairil Anwar)


Dunia yang berpusar cepat serasa kehilangan keseimbangan. Waktu enggan menunggu seperti senja yang tak bersua memberi tahu siapapun kapan Ia muncul dalam waktu yang lama, pun apabila tenggelam cepat oleh gelapnya malam. Aku terjebak dalam bising perdebatan, keributan akan skenario hidup, di sana-sini dicaci ideologi. Sudah terlanjur basah dan tak bisa pura-pura atau diam saja, paling-paling mengeringkan diri. Lalu terpaku aku oleh redupnya segala arogansi yang tadinya menjadi pertahananku. Menjadi layu sebab ketidaktahuanku. Apa yang tersisa hanya kesal dan kecewa. Juga ketakutan bahkan untuk melakukan apa yang mungkin bisa menjadi kebaikan. Lalu yang ada hanyalah mimpi-mimpi heroik dan tak mungkin diwujudkan.

Hanya ada kemarahan, dalam rasa putus asa.

Barangkali sebelumnya aku telah tumbuh terlalu arogan. Merasa paling bisa, merasa paling tahu, merasa paling siap. Padahal aku tak lebih baik dari sebatang pohon kelapa yang dari ujung ke ujung dapat berguna. Sekian lama berbangga dalam tempurung, ketika tiba waktunya keluar aku jadi paling tidak tahu apa-apa. Aku hanya debu.

Mungkin kita bertarung, sempat dianugerahi kemenangan yang hanya penunda kekalahan, sebelum akhirnya menyerah.



Aku, parasetamol, dan selimut tua


Bekasi,
8.20.2106



Jemari Tak Berwaktu

Dialog malam ditemani sepi
Mengiringi malam-malamku juga malammu
Meretas waktu menghasilkan rindu
Jarak-jarakku juga jarakmu
Mengikis dingin beralas keluh

Turun hujan di sini, hanya ada selimut renta

Ada rasa jemari tangan menyusup
Masuk ke sela-sela rambutku
Hanya terdengar suara gesekan kulitnya dan rambutku bersatu
Tangan yang lembut dan hangat

Keheningan diisi oleh suara nafas beradu
Mulut tak perlu bersuara
Kata tak perlu diadu
Tenggelam aku di rupamu
Ke ruang rindu yang tersemu



Bekasi,
13.8.2016

A Beautiful Mistake

Saya mau bercerita,

Tepat dua hari yang lalu, seorang sahabat menyampaikan sebuah ajakan yang tidak pernah terduga sama sekali. Siang itu sedang bosan-bosannya dengan aktivitas baru, namanya Regina biasa dipanggil dengan sebutan dedek. Mungkin karna memang Ia mungil, tidak ada yang menyangkal soal itu. Buktikan saja nanti sendiri. Ia menyapa dini hari.

R: Syaa, udah bobo?
T: Mau dek, kenapa?
R: Kita mau ke dufan dalam minggu ini lagi ada promo cuma 100rb buat cewek. Pada nanyain lu mau ikut gak?
T: Wah, pengen sih. Kapan dek? Weekday ya?
R: Rencananya kamis biar cipa bisa ikut (lalu mengirimkan poster promo Ancol yang memang benar saja di bulan Agustus semua perempuan hanya membayar 100rb saja)
T: Gua ijinnya begimana yak ._.
R: Bilang ajaa ada jobfair gitu atau ketemu temen lama wkwk temen bimbel gitu lumayan kan 100rb
T: Oke deh dek, pulang hari kan apa gimana?
R: Pulang hari kok sya, ayolah ikut
T: Teknisnya kita omongin besok lagi ya, gua harus tidur sekarang. Biasa, besok harus jam 5 pagi bagun di sini.
R: Selamat istirahat sya..

Percakapan itu diakhiri karna saya takut kesiangan besok paginya. Namun, saya terlalu gembira untuk memejamkan mata saat itu, ingin teriak rasanya. Kau boleh bilang kalau saya berlebihan, belum genap satu minggu saya di sini sudah seperti berbulan-bulan rasanya. Saya rindu mereka semua. Rindu tertawa lepas lagi.

Mereka adalah perempuan-perempuan banyak dosa, pun saya. Kami suka bersenang-senang, kalau berkumpul rasanya tiada jeda untuk berhenti tertawa. Terserah orang mau bilang itu duniawi, sementara, atau pertemanan seperti ini bisa dibuat lagi. Saya tidak peduli, mereka terlalu berharga untuk saya tukar dengan hal baru. Mereka punya tempat di hati saya. "Babi Berak" begitulah nama pantas untuk dijadikan sebagai nama grup di LINE yang tak sengaja dibuat hanya karena mau sharing foto dari Batu Kuda waktu itu, karna tidak mau ambil pusing grup itu dijadikan media untuk membuat album. Ada enam orang manusia di dalamnya, yaitu: Saya, Dedek, Siti, Ona, Cipa, dan Uji. Perempuan semua. Justru karna tidak ada soal lelaki lah kami menyatu. Pertemanan ini berawal dari satu tempat les bimbingan belajar dulu, dan teman dari program KKN tahun lalu.

Lalu, hari Kamis tiba. Malam sebelumnya saya tertawa geli sendiri ada apa gerangan mereka mau pergi ke Bekasi untuk menjemput saya lalu pergi bersenan-senang ke dufan. Saya memohon kepada Tuhan dan semesta, kiranya terjadilah hari itu jangan sampai gagal hanya karena cuaca buruk atau apapun yang bisa menghambat rencana kami. Dua hari sebelumnya saya cegah untuk tidak timbul rasa harap atau rencana yang matang, karna saya takut terlalu direncanakan malah tidak jadi.

Benar saja! MEREKA DATANG!!! Mereka parkir di dekat masjid di komplek perumahan dekat rumah, tersenyum senang menyambut saya datang. Kami saling memeluk, tertawa, saling ejek lagi, bicara kasar lagi, dan semua hal yang tidak saya lakukan dalam seminggu ini. Lega sekali rasanya. Romantis, bukan?? Mereka ingin saya ikut ambil bagian dalam kesempatan itu. Saya difasilitasi, hati saya diteduhkan dan ditenangkan. Saya menarik nafas panjang, dan berbisik dalam hati.
Tuhan, terimakasih atas kesempatan ini. Aku berangkat yaa. Aku tahu, aku berbohong soal alasan pergi bersama mereka. Namun, aku rindu mereka. Aku butuh motivasi dari mereka. Aku mau bersama mereka, satu hari ini. Aku mohon lindungi kami Tuhan, jaga kami.
Berangkatlah saya dengan penuh cemas, tapi tertawa bersama lebih saya butuhkan saat ini. Maka kecemasan itu pelan-pelan tersisihkan. Kau boleh tertawa, memang hanya ke dufan, tetapi berbohong dan memberikan alasan atas nasib masa depan yang dibuat-buat itu sulit bukan main.

Kami berangkat.
Setelah menjemput Cipa dan Ona di daerah Taman Anggrek, kami menuju tol yang mengarah ke Ancol, Jakarta Utara. Di tengah perjalanan, Leona berteriak: YEAAAAH, BABI BERAK GOES TO DUFAN!! Sepuluh menit kemudian, kami tersasar ke jalan kecil. Salah ambil arah bukannya masuk tol malah lewat jalan kecil entah jalan apa. Setelah dicari dan tertulis nama jalan yang jelas di sana, Cipa berteriak: "BABI BERAK LOST IN JELAMBAR! Ini baru bener" Tertawalah semuanya. Terlalu bersemangat tak berarah justru tidak sampai-sampai. Akhirnya jam 11 siang lah kami sampai sana, saya terus melihat ke jam di handphone. Mengira-ngira berapa jam yang akan saya habiskan di jalan, makan, bermain, macet tol, jalan pulang, dll. Maklum, penghuni baru di Bekasi-Jakarta dan berbohong soal alasan pergi jadi sedikit parno soal waktu.

Selama tujuh setengah jam saya habiskan waktu bersama mereka di Dufan. Ini buktinya:

Naik Poci-Poci, Apa apaan!!

(Kiri ke kanan: ALB, Cibeng, Ona, Dedek, Uji, Cipa)

Hahaha...
Saya pulang sampai bekasi jam setengah sebelas malam, tentu saja semua gerbang dan pintu sudah digembok dan dikunci. Tante saya terbangun dan membuka pintu. Saya ditegur. Wajar memang keterlaluan saya sampai jam segitu, mereka bukan manusia malam jadi saya mengganggu jam istirahat mereka. Jam sepuluh saja sudah masuk kamar masing-masing, saya salah. Berdosa sekali rasanya. Tapi.. dalam hati saya mengumpat sambil tertawa geli; "Sialan! Salah semua perhitunganku, sudahlah yang penting selamat dan sudah minta maaf." Saya masuk kamar, berbenah sambil menunggu Dedek, Uji, dan Cibeng sampai kembali di Bandung. Ingin sekali ikut rasanya, tapi lengkap sudah kegilaan dan dosa kalau saya ikut ke Bandung malam ini hahaha.

Mengenai soal kegilaan pertemanan, saya tidak tahu kalau orang lain tapi saya menyampaikan apa yang saya rasakan. Gila tak selamanya buruk.
Bersahabat tidak melulu soal saling membangun secara kaku, kami punya cara, ruang dan waktu sendiri untuk saling bercerita soal nelangsa hidup, keluarga, kegembiraan, angan-angan yang ingin dicapai, maupun soal lelaki. Mungkin, dari gelak tawa dan kegembiraan yang kami pancarkan ada kesunyian masing-masing dalam hati kami, tapi jika memang waktunya harus bersenang-senang maka bersenang-senanglah. 

Banyak anak di luar sana yang melampiaskan rasa senangnya lewat cara-cara yang salah, kami juga salah. Kadang kegembiraan ini kami lampiaskan secara utuh sehingga suka lupa waktu atau mengabaikan hal lain. Tapi yang pasti saya dan teman lainnya saling membangun ketika ada yang jatuh, bagaimana caranya pertemanan bukan sekedar mencari senang tapi juga saling memberikan manfaat untuk satu sama lain. Masing-masing pertemanan punya caranya sendiri untuk saling membangun satu sama lain, tidak bisa disamakan harus sejenis.

Tulisan ini memang buat mereka saya tulis di sini biar mereka tidak besar kepala, hahaha mereka suka sekali disanjung!! Maklum, kebanyakan dari mereka jomblo jadi jarang mendapat pujian khusus atau perhatian. Luar biasa. Setelah saling berurai air mata karena berpisah dari Bandung dan segala hal kecil di dalamnya, semesta memberikan kesempatan kepada saya meski hanya sebentar. Saya sangat bersyukur hari kemarin terjadi sedemikian rupa.

Saya menyayangi kalian, sungguh.
Terimakasih atas waktu, tenaga dan materi yang kalian habiskan hari ini. Mungkin yang kalian lakukan adalah dengan maksud berlibur bersama menghilangkan penat, tapi saya merasa terhormat sekali dan menganggap kalian datang untuk memberikan penghiburan. Saya beruntung memiliki kalian, sepanjang jalan pulang tadi kalian lah yang melahirkan semangat itu lagi. Sambil melihat gedung-gedung di Jakarta, saya membuat rencana akan apa lagi yang harus saya lakukan setelah kalian pulang lagi kembali ke tempat masing-masing.
Meski rasanya berat membayangkan hidup di sini, kerumitan di sini selalu kita bahas di mobil, sampai ada dari kalian yang bilang "Udahlah Tas, di Bandung aja lah di sini susah begini", tapi saya mau coba bersabar lagi. Kalian teramat sabar menampung air mata, keluhan, dan ketakutan yang belum ada ujungnya. Tapi ada kalian di sana, kita jumpa lagi lewat nada dan kata-kata kasar ataupun konyol yang biasa kita lantunkan ya!! Suatu saat nanti pasti ada lelaki yang mengagumi merdunya suara tawa dan indahnya gaya tertawa kita. Pasti.

Njirr,,
bikin baper lu pada. Sering-sering lah ya.. haha
adek suka diginiin, kak. Enaklah ko di Bandung, awak di Bekasi ini aja nya, jangan update nongki pake ngetag awak yaa. Kalo ga ku sumpah abang itu gak akan pernah datang. Bae bae. Bicth!!


With all of me love all of you,




-ALB
Bekasi,
12.8.2016



The Journey Begins

Nasihat ibu:
"Kita bisa mendapatkan apapun yang kita mau di dunia ini, tetapi tidak langsung walaupun lambat tapi pasti kita akan mendapatkannya. Mungkin hari ini orang lain bisa beli handphone bagus, kalau kita mungkin bulan depan atau dua bulan lagi tapi nilainya PASTI, atau mungkin orang lain bisa beli baju baru 10 kita cuma dua, tapi kita bisa beli. Tidak ada yang terlambat"

Saya dan adik saya selalu ingat, bagaimana kami selalu mendamba memiliki sesuatu secara cepat tapi nyatanya kami harus menunda atau mengulang dua-tiga kali untuk mendapatkan sesuatu.

So.. here I am.
Saya tinggal di tempat yang berbeda sekarang. Sudah dua hari ini saya meninggalkan Jatinangor dan Bandung. Kau tahu aku di mana? Bekasi. Haha, lucu bukan? Sampai malam ini saja saya masih tak menyangka justru harus jadi penduduk baru yang katanya planet lain ini.

Sedih bukan main ketika kemarin malam orangtua dan adik saya meninggalkan saya untuk kedua kalinya, Ketidakmampuan untuk lanjut kosan di Bandung menjadi pilihan untuk numpang tinggal tempat saudara, daripada harus pulang ke rumah lalu mati gaya. Kau pasti tahu kan bagaimana rasanya belum mendapatkan pekerjaan lalu pulang ke rumah, bukannya merasa aman namun was-was setiap kau bernafas. Tekanan justru bukan datang dari keluarga, tetapi orang lain yang sok tahu mampu mempengaruhi keluarga untuk tidak sabar menanti buah dari perjuanganmu. Tidak. Saya memilih untuk tidak pulang dulu. Biarkan saya keras kepala dulu mengikuti keinginan hati, jika takdir berkata lain, saya siap pulang dengan gegap gempita.

Hari minggu lalu saya masih ingat sekali, bangun di pagi hari untuk datang ke Gereja Katedral Bandung bersama adik. Damai dan siap sekali hati saya waktu itu, beban yang ada di pundak serasa mau ditinggalkan di sana. Saya izin pada yang punya rumah dan meminta, kelak ada kesempatan seperti dulu saya pernah pamit mengeluh dan saya kembali lagi ke sana dengan rasa syukur karena bisa kembali lagi. Saya sebut itu hari Minggu yang baik. Seminggu berlalu, hari minggu ini saya sudah di kota yang berbeda. Saya di Bekasi. Tinggal bersama keluarga om dan tante saya (adik perempuan Bapak nomor dua) beserta ketiga anaknya. Saya ingat watak orang rumah ini, tipikal watak orang Ibukota namun kental hentakan Sumateranya. Tentu saja, tanda seru semua.

Seperti pagi ini, jam 5 pagi saya sudah bangun (suatu perubahan baik yang terpaksa harus dibiasakan). Persiapan ke Gereja sudah diwarnai dengan hentakan sana sini, lalu akhirnya berangkatlah kami ke Gereja. Jalan di Bekasi? Tentu saja macet. Semua dikomentari oleh om dan tante saya, becak yang menyalip di kiri, gojek yang sliweran, angkot yang main berhenti saja, pak ogah yang bukan mengatur jalan supaya diberi receh malah justru bikin jalan makin ruwet, polisi yang tiba-tiba jaga di persimpangan yang biasanya tidak dijaga, sampai ibu yang memakai dress kakinya buluan tidak ditutupi pun dikomentari oleh tante saya yang sepertinya memang suka sekali mengkritik orang lain. Saya awali hari Minggu absurd ini dengan gelak tawa, baru dua hari saya di sini sudah lumayan mengganggu rasa. Saya mengambil kesimpulan, lalu lintas di Bekasi lebih buruk dari Bandar Lampung. Bandung masih lebih baik.

Pemandangan di luar kamar menjadi pertanda, manusia-manusia ini yang akan saya hadapi setiap harinya. Waktu kedamaian saya akan terhitung hanya dari jam 6 pagi-7 malam di hari Senin-Jumat. Sisanya, diam akan semudah bicara. Harus terlatih mental dan telinga untuk berpikir bahwa sikap mereka yang seperti itu adalah kebiasaan bukan karena ada saya di sini. Saya harus jadi bagian dari mereka. Harus.

Ahh.. masih terasa sekali bagaimana setiap saya lihat media sosial teman-teman yang masih di Bandung dan Jatinangor sibuk berencana untuk bertemu, masih ke kampus, atau sekedar makan bersama. Saya jadi paham dulu ada salah satu teman yang mendadak hilang, menghapus semua accountnya, memblock semua teman terdekatnya, dan menarik diri juga pindah dari Jatinangor untuk pulang ke Bekasi, rumahnya. Saya paham rasanya, apa yang Ia lakukan seperti sinyal untuk tidak merindu lagi pada Jatinangor maupun Bandung. Mungkin yang Ia maksud supaya bisa fokus mencari kerja, atau ada rasa malu untuk aktif lagi sebelum benar-benar mendapatkan pekerjaan yang tetap. Pekerjaan menjadi suatu jaminan untuk berani unjuk gigi lagi. Dia hebat, kini sudah bekerja tetap aktif lagi di media sosial.

Hahahha.. mungkin saya di fase itu sekarang, tapi belum semainstream itu benar-benar pergi. Belum ada niatan, karena saya pun senang melihat perkembangan hidup teman-teman. Saya masih mau jadi tempat cerita yang baik, toh belum sibuk juga. Jadi silent reader aja ahh.. melatih diri untuk bicara seperlunya saja.

Masih awal, mungkin cuma belum biasa saja.
Setidaknya saya berhasil menahan rindu dan tidak sesedih seperti sebelum berada di sini. Hahaha lagipula, Tuhan pasti jaga yang saya rindukan.
Sudah mau jam 11 malam..




Bekasi,
7.8.2016