Gabut? Gih Masak! #1: Sate Taichan

Seorang jendral Former US Navy Admiral, William H. McRaven berpidato seperti ini;

"If you wanna change the world, start off by making your bed. If you make your bed every morning, you will accomplished the first task of the day. It will give you a small sense of pride, and it will encourage you to do another task, and another, and another".

Dan saya berhasil bangun pagi, membereskan tempat tidur dan mulai berpikir apa yang harus saya lakukan pertama kali di rumah. Berhubung saya bosan menyapu dan mengepel saja, jadilah saya MEMASAK dan saya berniat mengabadikannya dalam blog ini barangkali ada yang berminat mengisi kegabutannya dengan memasak. Kali ini saya memasak sate taichan, siapa yang tidak tahu sate taichan? Kalian bisa temukan pusat kuliner yang isinya sate taichan semua di senayan, belakang Gelora Bung Karno, Jakarta Pusat. Berawal boomingnya makanan ini adalah cerita dari salah satu pedagang sate madura yaitu Pak Amir.

Pak Amir merupakan pelopor sate taichan menceritakan awal mula sate taichan ini dibuat dan diberi nama 'Taichan'.

"Pertamanya ada pasangan yang laki-laki orang Jepang yang perempuan orang kita (Indonesia), masih ingat saya nama perempuannya, Inet. Laki-lakinya itu mau bikin sate sendiri. Dia kasih garam ke dagingnya sama jeruk (nipis) dan sambal. Terus saya tanya 'Ini sate apa namanya?' kata orangnya 'taichan!',"

Berbeda dengan sate-sate kebanyakan, sate Taichan ini tidak memakai bumbu kacang atau kecap sebagai pelengkapnya. Melainkan semacam sambal dengan citarasa pedas dan segar. Mudah sekali membuatnya, dan entah kenapa saya bangga dan mau membagikannya di sini. Gabut? Gih Masak!



Bahan-bahan:
2 buah dada ayam dan kulit, potong dadu
2 sdt lada bubuk
1 sdt ketumbar bubuk
2 sdt garam
2 buah jeruk nipis
3 buah jeruk sate
1 sdm minyak zaitun/minyak goreng
Tusuk sate

Bumbu sate :
10 buah cabe merah
7 buah cabe domba
2 buah tomat
6 siung bawang merah
4 siung bawang putih
Garam secukupnya
Gula secukupnya

Cara Memasak:
  • Sate
  1. Cuci bersih ayam, potong dadu. Kucuri dengan perasan jeruk nipis , lada, dan garam. Diamkan kurang lebih 20 menit. Kemudian tusukkan pada tusuk sate dengan susunan daging-kulit-daging. Kenapa? Supaya lebh juicy 😅
  2. Campurkan 1 sdm minyak goreng/minyak zaitun dengan jeruk sate sebagai bumbu olesan.
  3. Panggang ayam dengan api kecil agar matang merata, bolak-balik agar tidak gosong. Angkat apabila sudah berwarna agak kecoklatan.
  • Bumbu Sate
  1. Rebus tomat (ada baiknya tomat dikupas kulitnya sebelum dihaluskan), bawang merah-putih, cabe sampai melunak, lalu tiriskan.
  2. Haluskan semua bumbu sate lalu tumis bumbu sate sampai harum.
  3. Sajikan sate yang telah dipanggang dengan bumbunya.

Foilaaaa!!
This yummy taichan has done made by weirdo like me.

Sate Taichan ini enak banget dimakan dengan nasi panas. So, what about yours? Gih, Masak!




Bandar Lampung,
30.9.2017

Revolusi Basa-basi #1: Just The Beginning


Hai. Sebelum membaca tulisan ini saya mau mengingatkan bahwa tidak semua yang kamu baca bisa kamu serap semuanya, harus pakai pertimbangan sana-sini. Dan tulisan dengan tag Revolusi Basa-basi ini adalah sebuah diary belajar saya. Kenapa Revolusi Basa-basi? Karena saya siapa yang tak mau melakukan perubahan apalagi mengarah ke hal yang lebih baik? Impian saya untuk memancungkan hidup saya masih sedang dalam perjalanan, belum menemukan garis finish di mana bisa mengangkat dagu dan memakai kacamata hitam sebagai bentuk bahwa betapa kerennya hidup saya. Perjalanan ini masih abu-abu dan masih harus dicari jawabannya dengan banyak-banyak belajar, merasa dan membaca. Saya rasa harus saya tuliskan agar saya punya catatan sendiri untuk berkumpulnya semua mimpi, niat, dan harapan. Lalu suatu hari nanti ketika saya sudah tua dan gemetar bisa saya buka lagi dan menertawai diri sendiri betapa bodoh dan naifnya saya di masa lalu 😁


***

Selain pembaca, alam pun tahu bahwa menulis adalah komitmen dan judul dari curhatan saya ini terlihat seperti; "hmm..lagi-lagi ngeles nih yee". Tapi ah, maafkan. Saya kira menulis menjadi komitmen yang lebih susah dari mempertahankan IPK untuk mahasiswa rantau, atau lebih susah dari komitmen mau kurus, mungkin juga lebih susah dari berjanji untuk tidak beli chatime lagi setiap menemukan gerainya. Memang seseorang pun dapat dikatakan harus profesional dalam hobinya, katanya jikalau sungguh-sungguh ingin menjadi profesional harus mengerjakannya terus menerus sehingga kelihatan hasilnya. Tapi itu kan buat orang lain (mencoba membela diri), hingga akhirnya saya memutuskan bahwa menulis bukan lagi soal profesional atau tidak tapi ya semacam hasrat yang selalu ada. Tergantung mau menuangkannya dalam sebuah tulisan dan dibagikan atau tidak hanyalah perkara pilihan si penulis. Mungkin kebanyakan orang menulis karna meluapkan isi hatinya, saya justru kebalik; Saya menulis untuk mendengarkan suara hati saya.

Daripada akhirnya saya menuliskan panjang lebar pembenaran mengapa sudah lama tidak menulis lagi hehe, kali ini saya benar-benar mau menemukan suara hati saya. Betapa waktu sulit sekali dibagi. Semakin bertambahnya usia, saya semakin selektif merelakan waktu istirahat saya. Semasa kerja apalagi di Jakarta, membuat saya lebih memilih leha-leha di kosan setelah jam kerja yang melelahkan setiap minggunya. Padahal akhirnya saya bekerja dengan sistem 2 in 2 off, namun tetap saja saya tega memangkas kegiatan makhluk sosial seperti bertemu teman, bermain, memperluas networking. Ya Begitulah.

Sebulan lalu, saat berada di Bekasi tiba-tiba saja dalam posisi dari duduk ingin berdiri ada rasa sakit yang menyiksa di bagian punggung belakang. Hitungan detik saya panik, kalut, dan bingung harus berbuat apa. Saya tidak bisa berdiri tegap, sambil terbungkuk saya memegang tembok untuk mencoba berdiri . Gila, setelah 5 tahun ini baru kali ini sakit bekas jatuh sampai separah ini. Selama 7 hari lamanya saya susah berjalan, bahkan bersin atau batuk pun terasa nyeri sekali. Ironinya, bahkan tertawa pun tidak bisa, ada tekanan atau guncangan sedikit saja rasanya membuat saya sulit bernafas. Terbaring dengan lemah bahkan tidak berpikir lagi untuk makan, mandi atau beraktivitas lain. Rasanya ingin diam saja, tidak bergerak. Dalam rasa sakit saya sadar, saya adalah manusia yang sudah sampai pada batas-batas kekuatan tubuh. Bahwa saya ini manusia bukan mesin. Bukan melulu harus menghasilkan, ada kalanya diam.

Satu bulan lamanya saya jadi berpikir, mungkin sudah waktunya istirahat dulu dan tidur yang benar-benar tidur. Lalu di setiap harinya dengan kondisi gerakan yang terbatas, saya sadar betapa hidup itu sangat berharga. Hampir setiap malam saya kesulitan tidur selain karena menikmati rasa sakit bahkan dengan posisi tidur, saya berbisik sendirian saat rasanya hidup sungguh menyebalkan dan menguji kesabaran setiap harinya, saya sering kali berpikir; Apakah mati saja akan lebih enak? 

Lalu kemarin saat sedang duduk makan, nyeri itu pun masih juga ada. Kadang sampai sulit sekali untuk membungkuk atau jongkok, rasanya menjalar ke kaki kiri sampai ketika jalan pun terasa sekali tidak enak berjalan karna kaki kiri seperti berat sebelah. Betapa untuk berdiri atau berjalan pun saya berkerja keras untuk tetap semangat bergerak. Mati juga bukanlah jalan yang dapat menyelesaikan masalah dan segala persoalan hidup. Saya jadi merenungi bahwa bisa saja kemarin itu saya tiba-tiba lumpuh tidak bisa berjalan lagi seperti beberapa penderita sakit yang sama melalui hidupnya dengan keadaan tidak bisa berjalan lagi, namun ternyata Tuhan tetap menjaga jiwa dan tubuh saya. Bukankah terkadang kita menganggap enteng akan hidup dan nafas itu sendiri? Seperti semua itu cuma-cuma milik manusia. Padahal jiwa jelas bukan milik manusia.

Sempat saat saya sedang lemasnya di kamar dan betapa inginnya saya makan namun harus beli keluar kosan, namun saya sendiri tidak tahu harus berbuat apa selain menangis. Sendiri sekali rasanya. Dan saya pun jadi merefleksikan bahwa mungkin benar kita dapat melihat ketulusan sebuah hubungan sahabat dan keluarga saat kita sedang terbaring sakit bukan pada saat badan masih sehat dan bersenang-senang. 

Barangkali penyakit ini adalah sebuah kesempatan untuk merefleksikan banyak hal dan melihat lebih dalam lagi akan banyak hal, juga banyak belajar bersabar. Mengevaluasi hidup saya dan memutuskan beberapa hal yang krusial dan baik untuk hidup ke depannya. Mencoba mengalah untuk percaya pada yang Kuasa bahwa mengambil rehat sejenak bukanlah sebuah kegagalan. Tadinya begitu iri saya melihat teman-teman yang bisa dengan bahagianya mereka bekerja, bersosialisasi, melakukan banyak hal tanpa hambatan, menjadi diri mereka dengan cara yang maksimal. Namun saya sadar, semua orang berada pada jalurnya masing-masing, saya tidak terkecuali. Seketika saya menjadi tenang mengetahui ada yang Lebih Berkuasa di luar saya.

Dan betapa tahun-tahun berganti dan terabaikan hanya untuk menyita kewarasan seseorang agar selalu berdiri tetap di garisnya masing-masing sesuai kodratnya sebagai hamba. Tanpa perlu melirik ke kanan dan ke kiri. Tanpa perlu membanding-bandingkan kebahagiaan sendiri dan kebahagiaan orang lain. Kalau ternyata pada akhirnya kita selalu mencatat ketidakbahagiaan. Kalau sebenarnya tidak apa-apa berusaha melangkah meski berat, meski akhirnya kamu harus menyeret langkah kaki satu dan lainnya. Meski memakan waktu di luar dugaanmu, tapi kamu tetap pada jalurmu sendiri. Tidak perlu kawatir karna kamu terjaga, asal mau melangkah! Gerakanmu tidak statis, kadang menanjak kadang turun namun kamu tetap pada jalurmu hingga pada akhirnya menang karna langkahmu sendiri!

Lalu pilihan terbaik adalah pulang, saat manusia lain pun punya urusan masing-masing, saya tak bisa merepotkan banyak orang untuk mendukung proses ini. Saya kembali ke rumah, bersama orangtua dan adik saya. Memulihkan diri sendiri sembari mencoba membuat jari-jari ini produktif kembali, ternyata menulis pun bisa jadi salah satu bentuk nyata bahwa saya bersyukur.
Saya sudah bisa duduk dan berjalan, menghirup secangkir kopi di salah satu resto junkfood kesukaan saya, menatap hujan di luar sini, memandangi langit kelabu, dan tertawa lucu sambil berdendang;

"Percayalah hati lebih dari ini pernah kita lalui,
takkan lagi kita mesti jauh melangkah.
Nikmatilah lara,untuk sementara saja,
jangan henti di sini".



Bandar Lampung,
27.9.2017