LIFE


Me: I'm finally happy.
Life: Lol, wait a sec.

Pencarian saya belum selesai. Saya harus siapkan sabuk pengaman lagi. Kereta luncur ini mesinnya harus diperbaiki, lalu melaju lagi. Saya mengalami kegilaan yang tidak bisa lagi dipendam terlalu lama. Seperti penyakit yang tak kunjung sembuh, seperti kesedihan yang berlarut-larut, seperti tersesat di hutan gelap gulita, penantian dan patah hati berulang-ulang, seperti ingin dilahirkan kembali hanya untuk mengulang langkah kecil lalu merangkak lalu berlari lagi.

Berjalan dengan amarah pada diri sendiri karena kerap salah jalan dan salah tikungan. Membenci diri sendiri karena sedemikian tidak dewasanya dan selalu melakukan banyak kesalahan di sana sini. Lalu satu hal yang jadi penyakit, lupa untuk selalu bisa bersyukur. Rasa-rasanya memang rasa syukur yang membuat setiap orang bisa melangkah setelah bangun di pagi hari, melangkah lagi ke luar rumah, melangkah lagi melakukan aktivitas, dll. Saya gagal bahkan baru beberapa bulan. Saya keluar dari pekerjaan, tanpa tempat cadangan yang berarti. Saya kalah memaknai pekerjaan saya.

Sering saya berpikir, mengapa saya tidak bisa menjalani hidup yang biasa-biasa saja seperti orang lain. Ya, seperti orang normal biasanya yang bekerja kantoran, lalu menikah, lalu kawin, lalu beranak, lalu tua, lalu pesan tanah untuk kuburan diri sendiri. Sesederhana itu. Seharusnya saya berjalan lurus saja seperti orang lain biasanya. Seperti apa yang telah digariskan oleh Sang Esa. Atau harusnya saya bertanggungjawab penuh, tidak perlu keseringan marah-marah dan bersedih karena saya sendiri yang memilih jalan berbelok ke sana. Manusia seperti saya tidak punya kemampuan menebak saya di track yang benar lurus, atau saya sedang cari ulah untuk berbelok layaknya musafir di padang pasir yang terpana melihat ada sumber air padahal itu semua cuma fatamorgana. Saya sendiri yang memilih untuk mencari jalan lain, jalan lain yang penuh liku. Lalu akhir-akhir ini menyalahkan diri menjadi kegemaran tersendiri, saya yang sebegitu keras kepalanya tidak mengambil jalan biasa saja seperti orang kebanyakan. Saya tidak  bermain di garis aman. Saya bermain bahaya, takut terbakar namun coba-coba memegang percikan api.

Saya benci dibilang idealis, entah kenapa kata-kata idealis menjadi momok seolah-olah saya lah yang paling terlambat tahu bahwa hidup itu harus realistis segalanya terukur dengan jelas. Saya tahu, mungkin kalian lah yang tidak tahu cara saya mengukur apa yang disebut banyak orang realistis. Pun saya bukan sedang dimabuk mimpi tanpa arah, justru sejak hari itu saya kehilangan arah mencari diri saya sebenarnya ada di mana.

Hal tersulit adalah menjadi orang lain. Sama halnya saya yang sedang berperang menjadi orang lain itu. Lumayan lelah menghadapi asumsi atau penilaian orang lain atas keputusan yang saya ambil. Mungkin buat mereka..

Seharusnya kamu menyerah saja punya mimpi-mimpi soal pekerja sosial. Zaman seperti ini jadi pekerja sosial? Menolong diri saja tidak bisa. Dunia ini diperlukan uang bahkan dalam menolong orang lain. Sudahlah itu hanya akan buang-buang tenaga membuat dunia ini menjadi lebih baik lagi. Hanya sebagian manusia yang bisa mengubah manusia menjadi lebih baik, kamu bukan salah satunya. Lebih baik memikirkan diri sendiri dan mencoba bertahan untuk hidup untuk memenuhi kebutuhan. Bkerja yang normal saja seperti orang kebanyakan. Sudahlah.

Seharusnya kamu menyerah saja mau membuka usaha sendiri. Tidak balik modal. Daganganmu tak laku, lihat berapa pengunjung yang datang hari ini? Kamu sudah kalah dari segi apapun. Sudahlah tutup saja dan bekerja yang normal saja seperti orang kebanyakan. Dapat gaji pasti setiap bulan tidak perlu khawatir hari ini ada pengunjung atau tidak, pasaran bagaimana, sudahlah. Lihat kau akan banyak merugi berniat memutar tabunganmu sendiri namun tidak mendapatkan apa-apa.

Seharusnya kamu menyerah saja menjadi penulis atau sutradara. Idemu habis dimakan nyamuk di meja kerjamu. Inspirasimu itu-itu lagi, berjam-jam hanya meratap saja yang didapat. Dan lihat, siapa juga yang membaca tulisanmu? Blog? Oh ya? Memang ada yang berkunjung dan membaca? Sudahlah lebih baik kamu menyerah saja. Tulisanmu tidak ada yang baca, alur ceritamu membosankan, gaya penulisanmu tidak menarik dan tak pernah juga kan ikut lomba karya-karya mutakhir itu? Sudahlah buat apa jadi penulis? Membuang-buang waktumu saja.

Sekeras itu bisikan masuk kuping kanan dan kiri, dari mana saja bahkan dari rumah yang saya huni. Seolah saya tidak akan mampu untuk meraih keinginan apapun itu. Keinginan saya akan menjadi lucu setelah ini, menjadi lelucon di siang hari untuk orang-orang keluar dari perusahaan besar hanya karena terlalu lemah menghadapi realistisnya hidup. Tidak banyak yang paham bahwa hidup memang sebuah pencarian, terus berusaha, mencoba untuk menemukan pintu yang memang khusus dibukakan untuk diri sendiri. 

Saya pun belum tahu pasti sampai di titik mana semua ini akan berhenti dan menjadi menyerah pada keadaan. Lalu saya akan menjalani hidup yang mereka bilang titik aman itu. Memang hal yang tersulit adalah untuk memutuskan berhenti dan tidak lagi mencoba. Adalah posisi di mana melepaskan dan meninggalkan suatu hal menjadi sebuah awal dan akhir dalam sebuah perjalanan seseorang, dan tidak akan disentuh lagi. Kamu tidak akan mati apabila melepaskan mimpimu namun kamu tidak akan hidup. Mungkin kamu berada di ketiadaan. Kamu tidak mati dan tidak hidup. Kamu di tengah-tengah saja, suam-suam kuku, tidak panas tidak dingin. Dan kamu akan mulai kehilangan makna sendiri. Duh, Gusti.

Memutuskan keluar dari pekerjaan pertama membuat saya berpikir apa iya semua orang yang biasa tadi sebenarnya seperti saya, tidak nyaman dan merasa salah tempat namun hanya ada tiga manusia; saya, manusia yang merasa tidak pas dengan tempatnya namun bertahan karena realistis tadi, atau yang benar-benar beruntung di tempat yang tepat. Saya tak bisa sebut manusia yang merasa seperti saya adalah yang beruntung atau tidak, sayang kawan hidup kita seperti lampu jalanan terang repot, kadang dia bersinar kadang redup karena cuaca buruk mengganggu nyala bohlam lampunya.

Pencarian tidaklah benar-benar selesai, pergulatan tidak akan pernah berakhir, ketakutan tidak akan pernah pudar, penantian akan berganti menjadi sebuah kebiasaan menanti. Namun butuh kaki yang terus berjalan. Diri yang terus berusaha, terus berjuang, terus bertahan. Hingga hati teruji.

Maka akan ada malam hari yang menjadi sebuah ruang diri untuk merancang, merencanakan, menulis hari depan. Bukan lagi malam yang menjadi sebuah teman dan hantu yang mengintai ketakutan akan fajar di pagi hari. Ketika menjadi dewasa artinya adalah bertanggung jawab atas hidup sendiri, atas segala pilihan, atas segala konsekuensi yang ada, atas segala nafas yang dihembuskan. Di suatu malam yang kesekian, kembali berhadapan dengan diri sendiri, apa lagi yang mau disangkal? Ke mana lagi bisa melarikan diri dari isi kepala sendiri yang riuh? Bagaimana lagi bisa menyelipkan kelegaan di sana? Kecuali saya yang pada akhirnya mengikuti kata hati dan menjawab semua pertanyaan saya sendiri. Hingga yang ada hanyalah waktu yang bergulir. Dan tanpa disadari alunan hidup mulai mampu membuat saya menyelam ke kedalaman, bermain gembira dengan segala arusnya.

Lalu, seberapa banyak keteguhan hati yang harus saya investasikan untuk sebuah keinginan dan mimpi? Belum terukur, tak bisa dibuat realistis. Kalau bisa, sial lah saya terbelenggu sampai kapanpun.





Bandar Lampung,
08/03/2017