Bualan!

Setiap pagi, seperti ada yang membantuku untuk merawat kekecewaan ini. Betapa tidak, kata-katanya terngiang setiap malam dan pagi. Sampai hari ini, badan ini masih kalah dengan semuanya. Ingin memberi celah untuk dominansi hanya soal diriku saja, tapi susah sekali. Jari yang mengarah di depan mataku hari itu, selalu menyambutku di pagi hari tepat sekitar 3 cm dari mataku. Seraya mengucap selamat pagi dengan cara yang arogan sekali. Aku benci perasaan ini. Benci sekali.

"Ya untuk sesuatu yg besar harus ada yg dikorbankan kan?!!

"Sudah tahu Bapakmu melakukan hal itu, kenapa kamu juga ikut-ikutan!!"

"Punya agama kamu ya, apa artinya gereja setiap minggu"

"Komunikasi kita udah ga bener"

"Nevermind"

"Capek aku ribut mulu"


"Ga kepikiran"

"Fuck you!! Fuck you!!"

"Ya kamu banyak banget masalahnya, hidupmu masalah terus"

"Apa coba apa! Bilang!! Sebutin!!"

"Turunin ekspektasimu itu, karna aku ga akan pernah bisa lagi selama di sini"

"Aku kan lagi nyembuhin diriku sendiri biar waras!"

"Sosialku juga ikut gak bener disini"

"Kamu ga pengertian"

"Linglung, bingung aku"

"Pecah palaku"

"Maaf, maaf, maaf"

"Kamu hal paling berharga buatku (?)"

"Bodoh aku gak pernah berhasil mengekspresikannya"

"Mana ada hal besar yang udah kamu lakuin buat hidupku"

"Dudukmu jangan begitu, ga enak dilihatnya"

"Ya aku mengalah duluan kamu yang datang ke rumahku"

"APA! APA! Kan ga jelas kamu meributkan hal yang gak mungkin terjadi"

"Double standard kamu!"

"Ga bisa aku, ya ga bisa. Berarti cari orang lain"

"Ga tau aku, ga tau caranya"

"Keluar kamu!"

Kiranya Tuhan merawat segala kekecewaan ini sampai aku kelelahan sendiri lalu melupakannya, karna aku sudah tidak punya kekuatan untuk memikirkannya lagi bukan karna kemauanku yang tak kunjung ada.

Kepada kamu yang telah terbiasa menggeser kehidupan orang lain dan mampu menjadikannya bukan urusanmu, aku mohon pergilah dari pikiranku. Aku masih ingat malam itu, malam mengerikan itu.. dimana aku mau mengakhiri semuanya dan aku masih mengingat diriku sendiri untuk diselamatkan. Kepada kamu yang tidak pernah ada di saat-saat seperti itu, segala intuisiku pun tidak pernah punya arti buatmu.

Betapa kasiannya aku malam itu, tak ada siapa-siapa, dunia tak mengerti, dan dengan segala kesakitanku tapi aku bertahan karena aku mengasihani diriku sendiri.


Rasa takut itu nyata. Masih tepat di belakangku.




Jakarta,
06.11.2019


Di balik Rahasia

Aku tak pernah menyangka sampai di sini, yakni di saat aku bertanya, apakah aku layak diperjuangkan karna rasa? Apakah kau lah manusia yang pantas untuk kuperjuangkan? Aku pesimis. Mungkin memang ada saja di luar sana jauh lebih baik dan lebih pantas untuk menunggumu dibanding aku? Hidupku memang sedang repot-repotnya, ingin sekali menyudahi rasa yang kuputuskan untuk kupelihara sampai sejauh ini. Yang dengan amat seringnya kau siram di tiap malam, sampai malamku tak sekedar perkara menahan dingin melulu.

Sesungguhnya, aku ingin benar padamu. Kupikir kita akan bisa lama bersama dan memang ditakdirkan berdua. Kau pernah bilang padaku, kau ingin serius denganku. Walaupun ambang batas jelas mengancam kita, salah satu alasan yang cukup jelas: karena kita tidak seiman. Hahaha, maaf aku tidak bisa tidak tertawa bahagia. Begitu banyak pasangan seiman yang dengan gegap gempita menyatakan keseriusannya karena "seiman" dapat menjadi bahan bakar yang utama (mungkin), berbeda dengan kau yang mengatakannya dalam keadaan satu kaki cidera dan tak berdaya. Entah pakai pertimbangan apa waktu itu kau mengatakannya. Alasan itu, seiman maksudku, memang seringkali dianggap penting. Bahkan olehku sendiri. Biarpun aku dan orang-orang yang menganggapnya penting belum tentu beriman.
Jika perbedaan agama adalah sosok seseorang yang asing, maka aku tidak bisa menyalahkan siapapun untuk berakhirnya cerita yang kuharapkan bertahan lama atau bahkan tak akan berakhir. Bukan. Aku tidak bisa menyalahkan ideologi-ideologi yang memang ada sebelum aku dilahirkan ke dunia. Orang hanya mau tahu kita berbeda bukan seberapa besar ada hati untuk ingin menyatukannya.
Entah, rasanya terlalu panjang. Ketika ketakutanku kisah ini akan berakhir, aku bahkan tidak tahu harus merasa bagaimana. Di sisi lain ada kehidupan yang benar-benar baru tidak hanya untukmu saja, tapi juga buatku beradaptasi dengan perbedaan waktu, mengatur emosi, mengatur hasrat, bahkan rasa rindu. Nyatanya kita sama-sama gagal meski baru satu bulan ini berjalan, aku pun merasa kita tidak saling bersinergi untuk mengimbangi keadaan seperti ini. Perhatianmu habis disana seakan kau tidak bisa mewarnainya dengan kisah kita di dalamnya, sementara aku merasa menanti-nanti ketidakpastian dan seakan memburumu setiap hari hanya demi sebuah perhatian tulus. Lalu apa? Aku jadi mencintaimu terlalu arogan. Maafkan, aku hanya takut kehilangan.
Aku bingung apakah harus marah, atau bagaimana. Lalu kita memperjelas semuanya. Bahwa kita sama-sama lemah dan tak bisa saling menguatkan untuk saat ini, dalam diri kita masing-masing muncul keraguan tak terelakkan. Aku mengerti. Saat kau berikan pernyataan itu tak ada lagi satupun pertanyaanku, sungguh aku mengerti. Aku tak bisa memaksakan apa-apa, habislah aku bila egois memaksamu untuk menjawab segala pertanyaan dan hasratku yang semenjak di kehidupan barumu ini kau lebih sering mengatakan tidak bisa, maaf, lupa dan segalanya. Ini menunjukkan memang kau hanya siap membenahi dirimu saja dan menggeser hal-hal sentimental tentang kisah kita. Kau tidak siap, lalu kubayangkan 5, 10, 15 tahun ke depan apakah kau akan selalu menjadi orang yang hanya memikirkan tentang dirimu saja? Baik dalam keadaan suka, duka, untung maupun malang.
Lalu akankah kita berakhir, tapi aku tak bisa membencimu. Tak punya cukup alasan. Mungkin, sesungguhnya aku melihatmu seperti kebebasan diriku atau gambaran diri yang tak ada padaku. Aku yang ingin berkelana sendiri, aku yang mau memahami kekurangan orang lain dengan menerima apa adanya tanpa banyak menuntut, aku yang bahkan hanya tahu mencari senang bukan ketenangan seperti yang kau lakukan.
Tapi karna ini sudut pandangku, aku ingin membela diri. Setidaknya aku jujur. Aku tak menyangkal apapun, setidaknya akui saja bahwa dari awal aku lah manusia yang mencari kejelasan bagaimana kita memulai, lalu kini adalah hal yang wajar aku menghadapimu untuk mencari jawaban kelanjutan atau akhir dari semuanya. Aku tidak membiarkan semuanya mengambang tanpa kepastian. Aku butuh diyakinkan.
Lalu ada momen ketika aku menyesal. Muncul banyak seandainya dalam kepalaku. Seandainya ini, seandainya itu. Mungkin kita masih baik-baik saja, menyusuri cerita demi cerita dan petualangan demi petualangan. Kau pernah begitu manis. Aku masih ingat bagaimana kau datang menjemputku malam itu, dengan kepolosanmu menghampiri manusia yang sudah berulangkali kenal dengan lelaki dan tahu betul brengseknya laki-laki seperti apa. Dosaku pula terjerumus kembali dalam interaksi kepada yang lain sebagai pelarian, hanya karna harapan yang kupelihara tak pernah bisa kudapatkan darimu. Aku yang selalu takut merepotkanmu, merasa tidak selevel denganmu, merasa tidak pernah seimbang dalam banyak hal, dan yang terakhir merasa banyak sekali perbedaan diantara kita bukan perihal agama saja.

Lalu, aku ingat bagaimana kau menemaniku mencari sunrise di bukit bintang, kita selalu kehujanan saat bersama bahkan subuh-subuh seperti waktu itu. Aku masih ingat betul caramu yang tidak menyambut kepalaku saat tertidur di motor, bagaimana bisa hanya kau satu-satunya lelaki yang kukenal tidak membiarkan seseorang tertidur di pundaknya di saat banyak laki-laki memasang badannya untuk bisa disandari. Oh, masih terekam persis dengan mudahnya kau bilang mau pergi ke tangkuban perahu dengan seorang perempuan yang dimana saat itu rasanya mau menganggapmu sebagai teman saja. Lalu bagaimana kita selalu menertawakan kesusahan kita, pasangan yang sama-sama tidak punya uang banyak untuk bisa mencoba banyak tempat, atau sebenarnya aku yang selalu takut dengan uang yang kupunya. Jadilah 3 tahun bersamamu tidak membuat kita mengunjungi banyak tempat di Indonesia ini, aku terlalu banyak takutnya.

Ah, maafkan, aku memang selalu membingkai kenangan.
Kau adalah satu-satunya manusia pintar dan paling berkomitmen yang pernah kukenal,  bahkan tidak kutemukan di sosok ayahku. Perihal soal tujuan hidup kau lah yang mengajarkan aku untuk konsisten memikirkan apa yang mau dicapai di hidup ini. Mungkin teman-temanmu bingung bagaimana mungkin kau suka padaku, perempuan yang cuma banyak bersosialisasi, ketawa bercanda sana sini, membaca buku saja pun malasnya minta ampun.
Dan itulah awal aku mempertanyakan semuanya. Mana mungkin kau benar-benar menginginkanku di hidupmu? Aku tidak pintar. Setiap kau menceritakan kehidupanmu di sana membuatku merasa harus selevel dengan hidupmu, bagaimana lingkunganmu sekarang adalah kumpulan orang-orang yang visioner sementara aku tidak. Dan itulah kesalahan besar yang kulakukan: berupaya menjadi yang terbaik hingga lupa menjadi diriku sendiri yang menyenangkan. Aku jarang bisa tertawa lepas di depanmu akhir-akhir ini, jarang bisa melakukan hal-hal bodoh dan menertawai diri sendiri, tidak bebas bercerita hingga terbahak atau menangis.
Lantas mengapa kita pernah memutuskan untuk bersama? Bahkan kita tak pernah duduk berdua dengan secangkir teh, kita tak pernah menghabiskan malam dengan mengobrol atau berdiskusi. Sekali dua kali kita pernah bertukar pendapat, tentang gunung dan tebing, tentang laut, tentang hidup orang lain, tapi kita tak pernah benar-benar merasa asyik bercengkrama selera yang sama. Kita tak pernah memaknai Tuhan padahal di KTP kita berbeda, seharusnya ada banyak hal yang bisa didiskusikan sebelum kita memutuskan untuk berdua. Aneh, bukan?
Namun, aku berterima kasih padamu. Setidaknya, upayaku untuk menjadi yang terbaik memang memacu diriku untuk benar-benar meningkatkan kualitas diri. Sadar aku tak sepintar orang-orang di lingkunganmu, aku membuktikan kualitas hanya dengan bersosialisasi, membantu kuliah adikku, mengajakmu makan mencoba ini itu, pergi ke berbagai tempat, mengajakmu berbohong setiap orangtuaku menghubungiku, mengajakmu beramal, berkenalan dengan banyak orang yang dimana kau sampai kewalahan sendiri dengan gaya bertemanku, dan sebagainya. Ah, tapi mungkin memang bukan itu yang kau butuhkan. Kau jadinya hanya mencari cinta sebatas permukaan. Senang-senang.
Bahkan sampai ketika aku mengantarkanmu ke bandara tanpa banyak bicara, aku masih memelihara harapan dan masih yakin Tuhan tidak mungkin menghentikan usaha kita untuk berdua. Aku masih ingat kecupanmu di pipiku sebelum masuk untuk boarding (padahal aku sudah yakin sekali kau pasti tak akan memelukku karena takut PDA di depan teman-temanmu), aku yakin betul itulah terakhir aku bisa berperan banyak dalam keseharianmu, selebihnya kepahitan-kepahitan seperti sekarang yang harus kuterima. Aku masih ingat kau yang meminta difoto bersamaku di hadapan teman-temanmu. Dan kemudian, dan kemudian. Betapa sebenarnya tidak setulus dan seutuh itu hatiku melepaskanmu hari itu.
Tapi toh, tak ada gunanya memelihara harapan, bukan? Aku harus mematikannya. Karena kudapati kau sudah begitu jauh jatuh ke dalam hal-hal yang permukaan. Hal-hal permukaan yang justru tidak terjangkau olehku. Selamanya mungkin, kau menjadi rahasia termanisku.
Mungkin nanti, lima atau sepuluh tahun lagi, kau ingat pernah mau mengamini rumah yang besar dengan ada halaman luas cukup untuk 5 ekor anjing untuk menemani hari-hari bersama.

am I wrong for wanting us to make it?
could it be that's is a lesson?

that I never had to learn?

I looked at it like a blessing and now it's just a curse.


ALB
Jakarta,
22/09.2019 



Pesan untuk Tasya di Dua Tahun Mendatang

Hi, Tas

Apa kabar?

Bagaimana hidupmu selama ini?
Aku mengerti, dua tahun lalu bukan hal mudah untuk dilalui.. rasanya kau mau mengakhiri semuanya saja bukan? Semuanya, dirimu tidak terkecuali.

Aku menulis ini supaya kau ingat bahwa akhirnya waktu itu kau punya cara yang tepat untuk melakukannya. Sebuah perpaduan dari kebetulan, waktu, rasa, dan perpisahan.

Kuceritakan lagi saat malam itu kau kehilangan dirimu dan tidak bisa menemukan siapapun, mungkin bisa saja kau cari teman-teman lain untuk sekadar mendengarkan tangismu. Tapi siapa yang peduli? Sudah dini hari saat itu.


Entah apa yang salah, sabtu malam waktu itu..

Maklum jenis apalagi yang belum ku jadikan sahabat.
Kupikir celakalah aku 2 jam yang lalu ada dua orang yang kukasihi tertimpa musibah.
Setelah satu harian tidak berkomunikasi dengannya, karna sempat ada waktu bisa kuhubungi pagi, Ia langsung memberi isyarat untuk tidak berlama-lama berbicara denganku. Meskipun aku berhasil berenang dan mengerjakan pekerjaanku, bertemu teman, menahan air mata saat bercerita, kupikir selesailah hari ini aku bisa tidur tanpa obat tidur lagi, bisa menahan diri untuk tidak mencarinya. 

Berkali-kali aku cek ponselku hanya untuk menanti kabar dari-nya, kukirim pesan, kuhapus kembali karna takut mengganggu Ia yang sedang sakit.

Beberapa pesan akhirnya sempat kukirimkan, kuurungkan banyak bicara, aku tahu, beberapa hari sebelumnya aku mengacau. Hatinya kusakiti, aku pun sakit dengan wajah dan nada arogannya itu. Ia mengingatkanku akan segalanya yang Ia inginkan tapi tidak pernah kumengerti, betapa harapan-harapan sederhanaku bertabrakan dengan logikanya. Besar kemungkinan sakitnya karenaku, maka sudah pasti lumayan melelahkan jenis sakit karena orang lain, seperti yang kualami saat itu.

Beberapa menit baru sampai kosan setelah mencoba produktif pergi keluar, adik telpon memberi kabar bahwa Bapak masuk ICU lagi, di rumah sakit dimana fitri bekerja, mau minta bantuannya tapi Ia tidak respon. Lalu, tidak ada ruangan dan dokter jantung yang siaga, bergetar badanku, nyeri sekujur tubuh, muntah, takut Bapak pergi dan aku tidak berada disana. Mereka pindah ke rumah sakit lain, adik minta isi saldo gopay. Pakai taksi online rupanya mereka sedari tadi, lalu pindah ke rumah sakit lain, RS Advent. Kubayangkan betapa repot dan paniknya situasi itu, berkali-kali dirasakan oleh adik dan Ibuku.

Sembari menunggu, makin nyeri semua badanku, mual, menangis, takut, membayangkan kedua orang yang kusayangi sedang menderita. Dia belum juga ada kabar, kekawatiran ini berujung pada panik yang luar biasa sampai aku tidak bisa merasakan diriku sendiri.

Kuhabiskan lebih dari satu jam menangis, menyesal, marah, minta ampun, minta penyiksaan langsung saja dari Tuhan untukku, jangan mereka.

Dia belum juga ada kabar..

Pikiranku cepat mencari temannya, hanya si satu itu yang kudapat.
Lumayan lama tidak dibalas, disini sudah jam 1 pagi, disana baru jam 8 malam.
temannya membalas;
Dia lagi kumpul sama teman-temannya pergi ke tempat hiburan, paketnya habis belum isi.

Sudah, sudah, itu saja.

Setan dalam diriku kembali mengingatkan, hal-hal sentimental yang kumaksud. Betapa kita tidak pernah tahu keadaan apapun bisa terjadi meskipun dalam ruang dan waktu yang berbeda, aku yang sedang kalut pada akhirnya menunggu orang yang percuma, aku yakin betul ini bukan sebuah kesalah pahaman, tidak ada yang perlu dibela lagi karna memang tidak ada sikap yang tumbuh bahwa komunikasi dan transparansi adalah hal yang wajar untuk menghargai satu sama lain, hari itu aku selalu datang mencari tahu namun diabaikan. 

Maka jadilah seperti ini, tidak ada yang bisa menjamin keadaan selalu baik-baik saja, aman sentosa seolah ada perwakilan malaikat yang bisa menyambungkan komunikasi yang terputus seperti ini. Toh, aku dan dia sama-sama manusia yang harus berusaha, apabila malas dan acuh maka habislah semua. Bukan manusia kaya raya yang bisa langsung membeli sebuah kemudahan untuk mencegah hal-hal seperti ini terjadi.

Aku menunggu dan menangis untuk orang yang tidak memberi kabar apa-apa hari ini padahal bisa saja sebelum pergi Ia menyampaikan kalau hari ini susah dihubungi karena paketnya habis, berniat ingin pergi bersama teman-teman, atau minta tolong pada orang lain untuk memberi kabar itu semua lebih awal. Sehingga aku hanya perlu mengkhawatirkan Bapakku yang sakit dan tidak mengharapkan Dia untuk hadir menemani kebingungan dan kesedihanku saat itu. Cukup menghemat energi seharusnya.

Yang kupikir dia masih dalam kesakitan secara fisik, dan betapa menyesalnya aku Ia sampai ikut sakit seperti itu. Aku meminta kepada Tuhan untuk aku saja yang menderita jangan Bapak dan Dia.

Tapi nyatanya, dia yang bilang sebelumnya hidup sosialnya pun kacau karna cuaca dan tugas, terlebih bermasalah denganku dan tidak memberikan penegasan apa-apa bagaimana ujungnya, karena Ia terlihat lelah menghadapi urusan di luar kehidupannya di sana;

Yang tertawa menyudutkanku dan selalu bilang tidak bisa
Yang mengatakan tidak ada hal besar yang kulakukan untuk hidupnya
Yang mengatakan aku hanya terus menuntut hal yang sama
Yang bilang selalu sudah mencoba dan minta dihargai
Yang minta bukti nyata hal praktis apa yang bisa dilakukannya untuk memuaskan harapanku
Yang dengan arogan menghardikku dengan hanya menambah rasa sakit dalam tubuhku menjadi-jadi

Tapi nyatanya, Ia bisa keluar hari itu, menikmati waktu bersama dengan teman-temannya, tanpa berusaha memberi tanda apapun, yang lagi-lagi tidak ada disaat aku hancur dan meratapi segalanya karna kupikir celaka lah aku hari ini, musibah datang bersamaan.

Tidak
Tidak
Tidak 

Tidak ada terpikirkan di dalam dirinya sendiri bahwa hal sederhana itu harus dilakukannya. Dia tidak merasa harus memberi tahu apapun, semarah itu pun dia kiranya bisa mengantisipasi pemikiran-pemikiran buruk dengan pendahuluan yang baik. 

Adakah niat untuk membahas ini kembali? Tidak kuat aku mendengar kata-kata; tidak bisa, lupa, maaf, aku tidak tahu caranya, tidak tahu kalau itu masalah, dan sebagainya. 

Jadilah aku, 
Menelan setengah tablet aprazolam lagi, jadi sisa 1,5 tablet lagi. 
Kalau aku tidak terjatuh tidur juga sehabis ini, kutelan semuanya. Semuanya. 
Maafkan aku Tuhan, aku menyerah, biar kusiksa saja diriku sekalian sebagai bentuk kenaif-an-ku. 
Tapi kumohon Tuhan, sembuhkan Bapakku.


*** 


Tasya, itulah saat itu yang terjadi. Aku yakin betul mungkin dengan dimensi yang sekarang berbeda dengan saat itu, kau tetap merasa salah dan menyesal itu semua bisa menimpamu, tapi kau sudah mencoba jadi yang terbaik untuk semua orang, untuk semua keadaan terburuk sekalipun, kau sudah berusaha. Jangan keliru, aku tetap menyayangi dirimu saat itu bukan menjerumuskanmu untuk memperdulikan kondisi orang lain dulu baru menolongmu, tidak sama sekali Tas.

Aku menyayangimu.

Dua tahun sudah berlalu, aku berharap sekali hidupmu jauh lebih baik dari ini. Apabila kau sudah benar-benar tidak dengannya dan ada orang baru yang datang di hidupmu, maka aku mohon tetaplah mengasihi orang itu dengan menjadi dirimu sendiri, kiranya dia yang baru itu mampu membimbingmu bersama meski ada kalanya kau masih saja seperti orang yang tidak punya tujuan dan mimpi, tetaplah menjadi dirimu karena tidak harus sama level hidupmu dengannya. Semoga Ia bisa terus melibatkanmu dalam mimpi-mimpi besarnya, kiranya Ia bisa menjadi sosok yang membiarkanmu dengan tulus datang membimbingnya menjadi dirinya, lewat mengandalkannya di setiap langkah kalian bersama. Semoga dia tidak pernah menyerah untuk selalu terlibat berjalan dalam gelap bersamamu, bergandengan tangan meski hanya sebuah lilin yang Ia punya, atau dia sedang dalam keadaan tak baik sekalipun, asal saling, asal berdua.


Terimakasih sudah menjadi tidak putus asa saat itu.
Something tells me will be alright


ALB
Jakarta,
22/09/2019