Bisikan Kota Kembang

Andai matahari bersikeras ingin terbit dari Barat
dan burung-burung di udara keras kepala ingin berjalan,
Sungai ingin mengalir sesuka hatinya dan bermuara di mana saja
Mawar menumbuhkan banyak duri daripada kelopaknya

Tapi tidak denganku, kasih.
Keras kepalaku tak akan berbuah apa-apa
Cintaku bisa saja bertumbuh memeluk erat tubuh dan jiwamu
Sayangku mungkin mampu memberimu ketabahan atas hidupmu
Namun,
Sekitarku menatap muram
Banyak wajah yang kukenal maupun tak kukenal berbicara dalam bahasa yang tak pernah ingin kumengerti

Kau tahu, kasih?
Aku tidak sedang menggenggammu erat
Pun melepaskanmu begitu saja
Aku tak mau ada luka, segores pun aku tak ingin

Hidupku sudah terang repot
Entah kenapa, harapan senang sekali timbul tenggelam
Jangan sampai kau ada di dalamnya

Hati kita mesti ikhlas, lalu selamatlah kita.
Mata kita mungkin akan selalu awas pada waktu
Tapi kita bukanlah mercusuar yang terombang ambing di tengah samudera

Kita adalah kita.
Dan tak ada yang merdeka selain dua pemiliknya.
Aku dan senja sepakat, ada sesuatu yang harus diulur-ulur
Kau bukanlah sesuatu yang terencana
Karena jika kelak senja meninggalkanku,
dalam hujan dan malam gelap pun engkau pasti akan ada.



Bandung,
22.06.2016



Seindah ini

Di setiap hari minggu, aku berdoa lebih lama.
Tentang senin yang baik,
Tentang kamu yang baik.
Meski namamu tak terucap dalam doa
Meski batas keraguanku mulai tak berarah.
Mungkin kali ini cinta datang dengan cara yang sunyi dan perulangannya lembut,
Lantas biarkan aku menyerah pada ruang dan waktu,
Perihal musim hujan, langit malam, dan juga kamu.
Karena menuliskanmu bukan perkara mudah
Setiap aku awali, maka akupun kehilangan akhir.
Setiap kali akan berakhir maka semua kembali berawal.
Dan bisa saja tak berakhir dalam diriku.
Entahlah, kadang putus asa dan mencinta terjadi pada saat yang sama.
Curang kamu..

Tulisan tanggal 22 Februari 2016, sehabis berkegiatan iseng yang harus ada tanggungjawabnya.
Gila waktu itu, kegilaan saya ada yang meng-amin-i dengan bertanggungjawab.
Terimakasih!

Lalu selanjutnya apa?

Kamu tidak berhutang apa-apa
Kita pintar, kita main aman
Tak pernah berjanji
Tak pernah mencoba berharap
Pun berusaha membuatnya kekal

Mungkin benar kali ini cinta datang dengan sunyi dan perulangannya lembut.
Tiada yang salah perihal itu.
Rasa bisa berarah menuju asa
Masing-masing kita punya kendali atas itu

Katakanlah aku memang paling beruntung
Yang diujung sana sama juga mendamba
Tidak ada timbangan ukuran pasti yang dapat membedakannya
Tapi Ia lebih tahu duniamu
Ia teliti dalam memperhatikan kebutuhanmu
Tanpa batas Ia bisa berpetualang perihal kamu yang memang baik

Dalam ambang batas aku meraba-raba
Dalam kesunyian aku mencari
Menyelami duniamu yang ajaib, membuatku tak pernah menyerah
meski aku tak tahu apa tujuanku
Aku hanya mau melakukannya
Atau aku memang senang melakukannya
Entahlah, aku menyayangimu meski tahu entah jadi apa.
Aku tidak peduli
Karena menyayangimu tanpa perlu ada karena.

Tapi ada dia di sana..
Ada dia di sana..
Yang sama
Yang punya ruang dan waktu tak berbatas
Yang lebih bisa menjamin kebahagiaan tanpa perlu beresiko

Kuawali sudah, jangan sampai aku kehilangan akhir.

Pulangku

Badai puan belum berlalu
Salahkah ku menuntut mesra?

Tapi waktu memang enggan bersahabat
Tak semestinya kita lahir untuk lebih senang menciptakan pertanyaan, namun enggan melahirkan jawaban
Kita tidak pernah siap untuk itu.

Kau kutemukan dibalik sajak-sajak lirih
Kata-kataku yang penuh nelangsa, tapi kau hadir di sana
Kita benci air mata, tapi dalam air mata pun kau hadir dengan gegap gempita
Sebab kau dan aku sama-sama tahu bahwa realita tak selalu menyerukan kabar gembira

Izinkan aku rebah menikmati degub bahasamu mengeja lembut namaku
Kau yang paling ahli menyerukannya
Sambil kunikmati bunyi hujan
Seakan sunyinya mampu berdiskusi tentang sebuah keraguan antara kehadiran dan kemusnahan

Tidurlah, sayang..
Cinta tak melulu soal bahagia, pun soal jawaban
Tak melulu tentang penetapan awal dan akhir
Kita hanya terjebak di ragu yang tak berbatas
Bila ini memang nasib kita, biarlah ketidaksiapan menjadi tawa di lain hari.
Karna nasib adalah kesunyian
Dan kesunyian adalah anugerah

Tapi kita tak akan pernah berpisah, bukan?
Pertemuan kita sudah paling sunyi
Dan hanya kita yang paling merdeka atas itu
Aku tak peduli yang lain.
Aku yang mendamba untuk mengalami
Aku yang memupuk rindu dalam ambang batas
Aku yang ingin setia berlabuh pada
Tuan yang selalu menjadi pulangku




Jatinangor,
19.06.2016

Sabar ya le, sembuh dulu. Aku nanti-nanti saja. Sungguh.

Surat Yang Tak Pernah Sampai

Jangan heran, musim di sini tidak jelas, kawan. Kadang kau temui tawa, kadang teriakan sedih meminta tolong. Keluarga sederhana kami sedang dilanda badai topan. Sinar matahari yang baru pun tak pernah jadi sesuatu yang selalu disyukuri.
Seseorang membentak ibu hari ini. Orang itu adalah bapak dan kali ini paling tidak bisa saya terima, Dia sering membentak namun kali ini seperti salah sekali Bapak membentak Ibu. Mungkin karna berharap hari ini adalah hari Minggu yang baik maka saya teramat amat kecewa. Kemudian bapak diam sepanjang perjalanan menuju rumah, Ibu menahan tangisnya, matanya berbinar menyimpan pedih, adik dan saya hanya terpaku dimakan amarah. Bapak jangan salahkan Ibu. Ibu boleh salahkan semuanya.
Saya jadi ingin berlari keluar. Bertelanjang kaki menelusuri teriknya matahari, kaki kapalan terbakar. Kemudian berteriak sekencang-kencangnya ke telinga siapapun yang melihat. Saya tidak peduli. Jangan sebut kata sabar. Saya dan adik saya bosan mendengar kata itu, kami tak perlu lagi. Entah apa yang kami tunggu, sungguh entah apa.
Lalu tergeletaklah Bapak di kasur kesayangannya, jangan sampai kau letakkan barang atau secuil kotoran di sana. Hanya Ia yang boleh berbaring di sana, itu kerajaannya. Kasur itu saja yang bisa menenangkannya dalam diam. Berulang kali Ia balik badannya sambil tertidur mengeluh kesakitan. Sementara di kamar lain Ibu mengeluh soal hidup, terbaring lelah menghadapi hal yang sama, bentakan tadi tidak cukup membuatnya menangis. Rasa malu dan sakit hati dikoleksinya dengan rapih.
Sebelah dariku memikirkan masa dulu, entah ada berapa surat yang pernah saya rangkai untuk Bapak dan Ibu saya, dari saya SD-SMP-SMA semua saya arsip untuk mereka ketahui apa makna yang ingin mereka ketahui, bahkan sampai hampir lulus kuliah saya layangkan lagi satu surat dan hanya Bapak yang bisa membacanya, Ibu saya sudah tidak bisa melihat jelas lagi.
Setelah keheningan itu, saya sadar. Surat saya itu tidak akan pernah sampai, karena sebenarnya saya hanya ingin berbicara kepada diri saya sendiri. Mungkin saya hanya ingin berdiskusi dengan angin, rintik hujan, alunan nada, atau nyamuk-nyamuk yang menemani saya menulisnya pada waktu itu.
Dan saya hanya bisa berbagi kesedihan itu, ketidakrelaan itu, kelemahan itu, dengan detik jam dinding yang gagu karena habis daya. Ketika surat itu tiba dititiknya yang terakhir, saya masih bertengger membayangkan hal indah yang akan terjadi. Sebagian dari diri saya merasa paling bertanggung jawab bahwa surat ini adalah surat terakhir yang harus membawa hasil. Diri saya yang kecil, tapi keras kepala, menetap untuk terus berusaha bahwa saya bisa memancing mereka untuk berubah meski lewat kata-kata. Namun, suratku miskin makna. Kata-kata itu melayang bersama angin baik, entah bermanfaat untuk siapa di luar sana. Bukan untukku pun keluargaku.

Sepulang dari gereja, saya temukan setumpukan kertas yang berdebu mulai berubah warna. Jumlahnya ada 3 buah, di pojokan meja kamar Ibu saya. Saya kenal tulisannya, saya kenal gaya bicaranya. Badan serasa dingin sekali, besar hasrat untuk mengumpulkannya lalu saya buang ke tempat sampah depan rumah. Entahlah, kuat sekali bisikan diri lebih baik tidak ada lagi dokumentasi dan arsip semacam itu. Saya sakit dan sangat tersiksa apabila Adik saya menemukan saudara perempuannya yang mendamba untuk mengalami. Lagipula, baik Bapak atau Ibu sudah tidak punya daya untuk memahami yang saya maksud. Saya selalu ingat tiap surat yang saya berikan selalu ada kata "Terserah". Balasan surat-surat itu tidak pernah punya jiwa.

Tampaknya hati saya memang lumayan kuat, saya tidak perlu dulu jauh melangkah. Mungkin belum saatnya saya jatuh dan tidak bisa bangkit lagi, semesta ingin saya menikmati lara dulu. Entah sampai kapan, saya juga tidak tahu.
Jangan tanya.
Biar saya karang dulu kisah baik tentang siapa saja atau apa saja sebisanya.




Kemiling,
12.06.2016