A Silent Christmas

*inhale
**exhale

Pada akhirnya bulan ini menjadi lebih sedikit berani untuk memberikan hari-hari yang kurang membuat saya yakin bahwa hari esok bisa jadi tidak sama dengan hari ini, saya memandang general pada setiap hari yang saya lalui. Seperti mendambakan tempat tidur bagus yang empuk untuk berbaring, tetapi yang saya dapat adalah kasur yang ciamik namun banyak kotorannya. Kenikmatan beristirahat seakan cuma teori yang tidak pernah terjadi.

Saya mulai menyadari betapa setengah dari bulan yang biasa saya nanti-nanti ini pada akhirnya sangatlah membosankan, sedih rasanya, lama-lama malah saya ingin ini semua cepat berlalu.
Ada perasaan direndahkan, dirajai, dimanfaatkan, tidak dianggap, dan lain sebagainya. Kadang saya masih punya waktu untuk merenung apakah memang saya yang selalu memposisikan diri saya sebagai seorang yang menyedihkan, atau memang saya berada di tempat yang salah (lagi).

"Nempel hidup" bahasa seorang teman untuk mengkondisikan hidup saya saat ini. Ya, kau pasti tahu susahnya menumpang hidup bersama orang lain, bukan soal minta dibayarin ini itu, saat ini saya tidak punya cukup uang untuk  menyewa kosan yang layak alih-alih hanya untuk 5 bulan ke depan. Jadilah saya menumpang hidup bersama seorang Ibu dan anak semata wayangnya yang Ia sayangi melebihi apapun di dunia ini.

Belakangan baru saya tahu, Ibu dan anak ini tidak sekompak yang saya duga. Begitu banyak rasa acuh baik dari anak ataupun Ibu, seakan hidup ini ada jalan instannya jadi tak perlu repot-repot. Termasuk soal rasa, mereka tidak terlalu paham bagaimana mengolah rasa, akhirnya kepedulian yang terjadi semacam rutinitas belaka, atau salah menerjemahkan rasa rindu ingin bertemu justru malah menciptakan perdebatan panjang.

Kamu boleh salahkan aku, tapi aku tidak mau terlalu ikut campur karena kebaikan yang bisa saya lakukan hanyalah menjadi pendengar yang baik tanpa ekspektasi apa-apa dari keduanya. Sang anak yang harus menjadi teman saya sudah cukup membuat pusing dengan menguasai teman-temannya, entahlah bisa-bisanya Ia berteman dengan cara yang arogan. Satu hal yang membuat saya masih waras menghadapi suasana itu, saya dan dia dibesarkan oleh latar belakang yang berbeda. Keluarga saya utuh, sedangkan Ia tidak. Jadi, harus maklum.

Lalu, sudah hampir tiga minggu saya berada di Jakarta mempersiapkan diri menyambut natal. Seperti biasa ada saja pertanyaan dari teman-teman yang tidak merayakan Natal perihal;
"Memangnya merayakan natal itu bukan di tanggal 25 Desember nya ya? Jadi masuk Bulan Desember itu berarti sudah Natal?" adalah wajar mereka bertanya seperti itu. Mungkin semakin tua manusia semakin banyak juga pertanyaan di kepalanya, mengingat daya menganalisisnya semakin besar. Lelah dengan segala pertanyaan serupa, jawaban saya hanya "Ya ibaratnya kamu ulangtahunnya tanggal 25 tapi dirayainnya sebelum tanggal 25, kan pamalik" lalu mereka tersenyum seolah mengerti.

Kenyataannya jawaban saya itu kurang berbobot, setelah Misa Minggu siang kemarin baru lah saya paham bagaimana seharusnya saya menjawabnya. Namun saya akan menjabarkannya dengan singkat saja, tentunya ada sejarah yang valid mengenai hal itu. Kau bisa searching saja di google untuk jawaban yang lebih deskriptif.

"Masa Advent"

Kata ‘adven’ berasal dari kata Latin ‘adventus’ yang berarti kedatangan. Maka  ‘masa adven’ berarti masa untuk menunggu kedatangan Tuhan Yesus. Masa adven berlangsung selama 4 minggu, yakni dari Minggu Adven I sampai dengan Minggu Adven IV. Masa Adven merupakan masa persiapan menyambut Hari Raya Epifani, hari di mana para calon dibaptis menjadi warga Gereja; jadi persiapan Adven amat mirip dengan Prapaskah dengan penekanan pada doa dan puasa yang berlangsung selama tiga minggu dan kemudian diperpanjang menjadi 40 hari. Tradisi Katolik menghayati masa adven dengan melakukan ibadat bersama dan puasa. Selain itu juga mulai diciptakan simbol-simbol yang disebut dengan Korona Adven (lingkaran Adven). Korona Adven berbentuk sebuah lingkaran yang diuntai dengan daun-daun pinus atau cemara dan diatasnya dipasang empat lilin (tiga lilin berwarna ungu dan satu lilin berwarna merah); selain itu juga masih diberi asesoris lain seperti pita berwarna ungu dan merah.
Kau bisa cari tahu lebih banyak soal Korona Adven, tapi hanya satu bagian yang mau saya bahas, yaitu:
Tiga batang lilin berwarna ungu dan satu lilin berwarna merah muda. Warna ungu melambangkan tobat, keprihatinan, matiraga atau berkabung, persiapan dan kurban; warna ini juga dipakai pada masa Prapaskah, tidak hanya untuk warna lilin, tetapi juga pakaian liturgi lain. Warna merah muda melambangkan hal yang sama, tetapi dengan menekankan Minggu Adven Ketiga, Minggu Gaudate, saat kita bersukacita karena persiapan kita sekarang sudah mendekati akhir. Selain itu warna merah juga merupakan tanda cinta kasih.
Source: https://parokiyakobus.wordpress.com/informasi-iman-katolik/memahami-dan-memaknai-masa-adven/
Romo yang memimpin misa siang itu bercerita bahwa Ia dan teman-temannya ditegur oleh Romo senior yang mengkritik para anggota seminari yang hanya terlibat dalam kesenangan menyambut natal saja, memasang lampu kelap kelip, menghias pohon natal, membuat makanan enak, kue-kue, dll. Padahal hal terpenting dalam menyambut Natal adalah sebuah perenungan bahwa siapkah kita menyambut Kristus lahir di hati kita masing-masing. Natal bukanlah sekedar perayaan pesta, tetapi menumbuhkan Harapan dengan bertobat, berkurban, dan keprihatinan seperti lilin pada lingkar adven. Barulah di minggu ketiga kita bersukacita karena persiapan kita sudah matang.
Setelah mendengar homili itu, saya pun merasa berhasil bahwa perenungan saya bahkan sudah menginjak minggu ketiga haha tapi kalau soal berkorban dan tobat saya masih kurang rajin, saya malah lupa bagaimana harus bersukacita. Kosong rasanya, tidak pulang ke rumah, tidak ada siapa-siapa untuk merasakan hangatnya suasana natal. Pun Ibu dan anak tadi, ahh buat mereka natal hanya sekedar tanggal merah untuk berlibur. Teman-teman saya di Bandung banyak yang tidak merayakan jadi mereka pun pulang ke rumah masing-masing. Pacar? Dia pun tidak merayakan Natal. Ya, kami berbeda keyakinan. Hal ini juga yang membuat saya merasa hampa, sendiri sekali rasanya. Saya jadi arogan sekali membutuhkan dia untuk mengisi hari saya.
Tindakan saya mencari pelampiasan semua ini pun berujung merugikannya, sempat-sempatnya saya ingin sekali ditemani gereja oleh siapapun dan mengisi hari minggu saya yang sendu. Lalu hadir seseorang yang mengajak saya gereja lalu nonton bersama, dengan segala keruwetan pikiran akhirnya saya cepat mengiyakan untuk pergi bersama. Laki-laki ini punya latar belakang suku dan keyakinan yang sama dengan saya. Entah kekuatan apa yang membuat saya berani seperti itu, di sisi lain saya butuh menghibur diri saya tapi tidak ada uang untuk itu. Sepulangnya dari misa dan nonton itu, saya merasa sangat amat bersalah semacam saya sudah berkhianat rasanya. Meskipun pertemuan itu hanyalah bincang-bincang saja, tapi saya terus mengingat kekasih saya itu. Saya tahu dia akan hancur kalau tahu saya nonton bersama laki-laki lain, makan siang bersama laki-laki lain, dan misa bersama laki-laki lain.
Kau boleh cari istilah lain selain, cheating. Tidak! Saya bukan sebodoh itu untuk selingkuh, saya tidak ada rasa padanya hanya untuk mengalihkan pikiran yang bukan-bukan dan nambah kenalan baru. Pulang dari hari itu saya tidak berhenti berfikir tentang pacar saya sendiri, bahwa masih memang hanya dia yang terbaik. Hanya dia. Ingin rasanya marah ke semua orang yang meremehkan keadaan kami, atau cara kami berjuang. Saya masih saja bodoh menghadapi situasi semacam ini. Kebiasaan saya, ketika hati dan pikiran makin tak karuan saya ceritakan semua setiap jengkal hidup saya kepada dia. Karna kali ini masalahnya menyangkut dia, tentu saja dia marah dan kecewa seperti dugaan saya tadi.
Sampai sekarang, sampai siang ini, Ia memilih untuk diam dan menjauh dari saya. Dia tidak mau membicarakannya.
Sepertinya setelah saya melakukan perenungan yang lama, kali ini saya sudah berkurban, tinggal nanti sore saya bertobat.
Menjauhi riuh demi menghargai sepi menjadikan perut kelaparan ini membuat saya berbisik lirih tiada henti,

"I spend his love, until he's broke inside. I don't wanna loving you for granted, please forgive me."

Jakarta,
18.12.2017

Perihal Ulangtahun (24)

Sebelum hari ini berubah jadi kemarin, ada hal lain yang sekiranya orang-orang tidak akan pernah mengerti. Seperti tiba-tiba gelap menyelimuti pikiran untuk terus menutup datangnya terang. Seperti ketika diselimuti kedukaan yang panjang dan menolak untuk menerima kata sabar. Seperti menahan rasa sakitnya yang menusuk tapi berpura-pura bahagia. Seperti perjalanan yang panjang dengan tekad yang besar namun dipatahkan pernyataan-pernyataan murah hanya untuk mengecilkan kembali tekad itu. Seperti hal-hal sedih yang terjadi di keluarga dan aku berusaha memahaminya. Seperti nikmatnya kebebasan-kebebasan kecil yang masih berkeras hati untuk menjadi besar dan tanpa perlu tunduk pada konstruksi-konstruksi asal bunyi yang menindas. Seperti nilai deburan ombak di pinggir pantai yang bisa membuat manusia menjauh dari riuhnya. 


Dan hal-hal lain yang orang lain tidak akan pernah mengerti, mungkin mereka tidak pernah mau mengerti, mereka tidak akan pernah mengerti. Tapi aku mungkin/semoga mengerti.

Lalu sesuai kata Aji sore itu, sehari sebelum hari ini:

What's the different between being boys or girls, than being a man or a woman?

Jawabnya:Kalau boys or girls, kamu membandingkan dirimu dengan orang lain. Pamor, uang, kecantikan, harta, teman dll

tapi..kalau man or woman, kamu membandingkan dirimu dengan dirimu sendiri. Bagaimana kamu hari ini, besok harus lebih baik lagi, dan kamu akan terus membandingkan kamu dengan dirimu sendiri.

"Jadi, kamu mau jadi yang mana Ca?"

Pada akhirnya hanya diri kita sendiri yang mampu benar-benar mengerti apa, siapa, bagaimana, kenapa, dan mengapa di balik hal-hal yang kita miliki.

Dan aku bersyukur betapa masih ada orang-orang yang meskipun tidak mengerti, namun selalu berpikir bahwa segala hal sulit yang terjadi di hidupku adaah hartaku yang sesungguhnya, yang menentukan seberapa besar aku layak dicintai.

Seperti hari ini, dimulai dari telepon orangtua, Aji dan Nia mengucapkan selamat ulangtahun dan doa romantisnya, lalu mendapat kursi busway dari seorang bapak tua yang tidak tega melihat aku berdiri, hujan deras yang membasahi lembayung kota Jakarta, teman-teman yang mengucap doa kiranya tahun depan menjadi tahunnya Tasya! Dan masih ada 9,5 jam lagi sebelum hari ini berubah jadi kemarin.

Selamat ulangtahun, Anastasia Laurensia Barutu


Jangan menua lalu menunggu, jangan 👀


Jakarta Barat,
11.12.1993



Sebelum Dua Puluh Lima



Pernah gak sih berpikir betapa banyaknya hal-hal bodoh yang sudah dilakukan? atau punya rencana saya akan melakukan hal bodoh berikutnya di esok hari, atau beberapa hari lagi.. tapi tetap juga dilakukan. Sudah tahu salah, tapi tetap saja dilakukan? Saya salah satunya.

Saya masih sering jadi manusia yang try and error, bahkan sudah tau bahwa itu adalah sebuah kesalahan tetap saja dilakukan. Sejenak saya berpikir, ah begini banget ya jadi perempuan yang makin nambah umurnya. Di saat ada saja para perempuan yang mulai khawatir bahwa dirinya sudah berumur 25 tahun karena belum juga mendapatkan jodoh, menikah, atau pun harusnya melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi, saya malah panik karena belum menciptakan sesuatu, padahal lebih panik lagi orang tua saya yang mulai resah anaknya belum juga mendapatkan pekerjaan yang tetap. Ya, akhir bulan November lalu pada akhirnya saya memutuskan untuk mengambil tawaran bekerja di salah satu perusahaan di Jakarta namun hanya sebagai temporary employee maklum lah itu pun referral dari teman. Sebenarnya saya masih betah-betah saja kalau pun harus menunggu sampai bulan depannya lagi untuk mulai bekerja, mengingat bulan Desember memang sudah tidak efektif lagi bagi budak-budak korporat pendamba libur akhir tahun. Namun, saya lebih tidak tahan lagi karena mendengarkan keluhan-keluhan Ibu soal hari esok, seperti pecutan lembut yang berbisik: "Bekerja lah lagi kamu, Nak". Apa boleh buat, saya tak punya opsi lain. Jadilah saya di sini, sudah 3 hari di Ibukota.

Sampai sekarang pun saya masih meragu saya melakukan kesalahan (masih menduga sampai sekarang ini nasib baik atau kesalahan) kedua kalinya dengan kembali ke Jakarta, ditambah lagi dengan raut wajah Ayah dan Ibu yang melepas kepergian saya di bandara sore itu. Mereka hanya membekali saya dengan sedikit arahan umum supaya anak gadis bisa jaga diri, tapi tidak ada keyakinan yang kuat dari mereka bahwa kali ini bisa saja saya berhasil. Padahal saya merindu sekali untuk diberikan kata-kata positif bukan seperti tahun-tahun yang sudah. Tapi, ahhh siapa saya banyak minta, memberi banyak pun belum bisa jadi saya simpan di dalam hati saja, kelak saya yakin mereka akan puas dan mengerti. Setidaknya, kepergian saya dari rumah meringankan beban mereka, tinggal memikirkan makan bertiga saja ditambah anjing kecil kami. Di luar kota, saya harus jadi manusia serba bisa.

Nyatanya memang begitu ya, susah sekali menjadi cukup dan sabar. Saya membayangkan betapa susahnya prioritas mencintai proses daripada mendamba hasil dengan ekspektasi yang berlebihan. Ruang dan waktu rasanya jadi sia-sia ketika yang di kepala melulu soal target yang tak kunjung tiba, kita lupa tangga-tangga menyenangkan untuk dapat meraih kesana. Sampai saya mulai bertanya sebenarnya manusia itu;


Mengejar takdir / nasib baik

atau


Menunggu takdir / nasib baik

Lucu ya, makin tua saya makin menggebu untuk mencari jawabannya. Padahal saya pikir, sudah berumur hampir setengah abad saya malah memusingkan hal-hal semacam, saya pikir sudah terjawab di fase mau kepala dua. Jawabannya belum juga saya dapat, padahal makin banyak orang-orang yang berhasil menemukan "dirinya". Oh ya, satu lagi saya lebih tidak habis pikir orang-orang berumur mau kepala tiga tapi sudah melewati fase ambisius - bekerja karir bagus - resign karna merasa tempat kerjanya adalah zona nyaman - menciptakan sesuatu untuk memuaskan dirinya dan berguna buat masyarakat. Saya? Masih terjebak dengan memikirkan cara, di mana sebenarnya "diri" saya berada mau itu soal kerja, tinggal, karya, dll.

Hingga, Jakarta jadi tempat lagi untuk tahap try and error kali ini. Besar harapan saya, tahun depan bisa keluar dari kota ini dan saya bisa berkarya di tempat lain yang saya dambakan, semoga Tuhan merestui. Saya lah termasuk manusia beruntung, hampir jatuh karna modal hidup yang sudah habis, tetapi orang tua masih mampu memberikan bantuan baik secara materi atau moril, saya masih punya kekasih yang tidak lelah terdiam menjadi pendengar kala saya terus saja menangis seakan hilang arah dalam menemukan tempat saya menjadi sesuatu, saya masih punya adik yang tidak bosan melihat kegagalan kakaknya lagi dan lagi, saya masih punya teman-teman yang siap jadi tong sampah kala permasalah saya itu-itu melulu, saya beruntung.

Terlepas dari rencana kecil, besar, dan juga rencana syaa untuk tidak berencana, setelah lulus, ternyata hidup semakin susah. Bener kata orang banyak, di dunia kerja, kita harus berani memilih. Dengan memilih, kita menggunakan free will kita sebagai manusia yang bebas untuk menentukan hidup kita sendiri. Memilih untuk bahagia, memilih untuk kaya, atau memilih untuk menjadi apa adanya.

Ngomong-ngomong soal pilihan, hari ini saya bertekad melepas sebuah kesempatan bekerja di perusahaan besar di Indonesia, bermula dari iseng sampai saya mual memikirkan haruskah saya ambil pekerjaan yang jelas-jelas menawarkan wealthiness ini dengan segala konsekuensinya dan jangan lagi jadi manusia penuh keluh. Pilihan itu sebenarnya membuat saya lebih banyak berpikir tentang konsep sukses dan bahagia. Apa sih artinya sukses? Sedari dulu, definisi sukses itu diindoktrinasikan sebagai keadaan di mana kita kaya raya, punya karir yang hebat, eksis di dunia riil maupun maya, punya rumah besar, investasi di mana-mana, tanah yang luas, dan bisa beli baju atau tas tanpa lihat price tagnya. Paradigma masyarakat pun masih condong ke arah kekayaan material sebagai ide untuk sukses, pun Ibu saya yang selalu saja mengeluh soal besok bisa makan atau tidak.

Apalagi bahagia, apa artinya menjadi seorang insan yg bahagia? Relatif memang. Ada yang bahagia karena hal-hal kecil; melihat senja, bunga, terbelai angin, menghirup udara lembab sehabis hujan, ada juga yang merasa bahagia ketika orang tuanya bahagia, bahagia itu masuk surga, dan ada juga yang merasa bahagia adalah ketika dia berhasil mencapai cita-citanya. Buat salah atau benar, saya tidak bisa menghakimi. Tapi dari pilihan yang saya buat kemarin, saya menyadari beberapa hal bahwa apapun pilihan saya, itu juga cara saya dalam menemukan "diri".

Sejujurnya saya pribadi sulit menemukan definisi sukses dan bahagia, seperti ujung pedang rasanya. Di satu sisi, rasanya ego untuk mengejar karir secepat mungkin, dapet kerjaan yang sesuai dengan minat, volunteer ke luar negri, keliling dunia, menjadi pemimpin handal di brand tertentu, punya startup, bawa Bapak dan Ibu ke Roma dan Yerusalem, sekolahin adek sampe S2 dll.

Tapi di sisi lain, saya tidak pernah absen untuk membayangkan hidup saya yang dikelilingi hal-hal sederhana:

Tinggal di luar negri jauh dari beradaban ramainya kota, punya anjing dua yang satu beagle yang satunya golden umurnya harus sama dengan lahirnya anak-anak saya nanti, punya rumah lantai kayu yang banyak jendela besarnya, punya suami arsitek atau dosen atau engineer yang tiap hari selalu keletihan bekerja tapi nyengir kuda kalau udah di rumah, suami yang selera musik yang sama, punya kebun sendiri di belakang buat nanam sayuran dan bunga-bunga, punya dapur kecil tapi alatnya lengkap dan harus menghadap ke taman/kebun belakang rumah, saya dan suami harus selalu punya waktu menanti senja sambil makan pisang goreng dan ngeteh bareng yang sedikit gulanya, punya anak cowo dan cewe yang lucu dan pintar-pintar, mengantar mereka sekolah dan dengan segala kegiatan les nya, nyanyi-nyanyi bodoh di rumah sama suami dan anak, setahun tiga kali bisa bawa orangtua liburan ke rumah, pakai daster ke pasar belanja sambil menyapa semua orang, bisa punya ruang untuk ngeblog, membaca, atau buat nulis puisi dan novel yang menghadap ke taman, dll.

Walaupun keduanya khayalan banget, tapi dua impian itu selalu terngiang. Di hari-hari tertentu, tendensi hati bisa ke kanan, dan di hari-hari lain, ia ke kiri. Hahhhh... sebelum dua puluh lima tahun ya, sekiranya saya bisa segera menciptakan sesuatu, bukan untuk semata-mata membahagiakan keluarga, tetapi sebagai penebusan pada diri saya sendiri untuk menemukan "diri" dan jangan bodoh lagi.

Tapi, akhirnya saya jadi sadar satu hal, bahwa pikiran akan selalu condong ke depan, atau ke belakang, mencoba memperbaiki masa lalu. Dan saat itu juga saya baru tersadar, bahwa sukses dan bahagia, sebenarnya bukan soal umur, pencapaian, target.. Namun, sukses dan bahagia sebenarnya ada di hari ini.

Happy December semuanya! Tinggal 24 hari lagi sebelum membuat revolusi tahun baru, hahahaha klasik.

Semangat siang semuanya


Jakarta,
6.12.2017

Gabut? Gih Masak! #3: Mango Sticky Rice



Thailand adalah negara yang dikenal sebagai surganya kuliner terutaman jajanan se-Asia Tenggara. Salah satunya Mango Sticky Rice. 
Mango Sticky Rice dalam Bahasa Thai disebut Khao Neeo Mamuang. Makanan ini adalah makanan pencuci mulut dengan bahan-bahan yang khas yaitu ketan putih, mangga dan santan. Ketan putih atau Khao Neow dalam Bahasa Thai, bentuknya seperti beras atau nasi dengan rasa yang lebih manis dan teksturnya lebih lengket jika dibandingkan dengan nasi.
Wujud Mango Sticky Rice ini berupa ketan putih yang ditambah dengan irisan mangga matang yang manis dan kemudian disiram dengan sedikit santan yang kental. Diatasnya lantas ditaburi dengan kacang kedelai yang diolah hingga renyah atau bisa juga wijen. Rasanya? Wah!!! Nagih tjuy...
Di Indonesia cukup banyak yang sudah menjadikan Mango Sticky Rice sebagai kudapan dessert murah meriah, bahkan tidak usah capek-capek kita sudah bisa search di Instagram olshop yang menjualnya. Berhubung malas bergerak ke luar, jadilah saya membuatnya! Cukup mudah loh dan bahannya ga ribet.. here's the recipe..

Bahan-bahan

4 porsi
  • 300 gr Beras ketan
  • 2 buah mangga harum manis atau indramayu
  • 2 sachet kara (65ml)
  • 2 sdt garam
  • 2 sdm gula pasir
  • 2 lembar daun pandan
  • 1 sachet susu kental manis putih
  • 250 ml susu cair
  • 700 ml air
  • 1 sdm Tepung maizena dicairkan
  • Wijen putih untuk taburan di atasnya

Langkah-langkah

  1. Rendam beras ketan selama 1 jam, tiriskan
  2. Masak beras dengan 700 ml air, 1 sdt garam, 1 lembar daun pandan disobek dan santan 65 ml sampai matang/air berkurang
  3. Pindahkan ketan putih yang sudah mengering ke dalam kukusan dengan api kecil sampai teksturnya menjadi lembut
  4. Buat sausnya:
    • Campurkan 1 bungkus santan 65 ml, 250 ml air/susu cair, garam secukupnya, daun pandan, 1 sachet susu kental manis, 1 sdm gula pasir dengan api kecil hingga meletup
    • Tambahkan 1 sdm tepung maizena yg sudah dilarutkan dg 2 sdm air
    • Jika sudah mendidih, angkat biarkan dingin
  5. Potong potong buah mangga sesuai selera
  6. Siapkan dalam piring saji, taburi wijen dan potongan daun pandan sebagai garnish

MANGO STICKY RICE SIAP DISANTAP!!!! ^^

***

Gabut? Gih Masak! #2: Ayam Saus Teriyaki (ala Hokben)

Resep kali ini terinspirasi dari Hokben, ya berhubung kota kecil ini belum ada resto Hoka-hoka Bento, jadilah sok ide saja untuk membuat ayam teriyaki dan ternyata... ENAK! 
Rasa ayam teriyaki cenderung manis dan gurih, asal dari resep ini adalah dari negara sakura, yaitu Jepang! Kata teriyaki berasal dari kata teri (照り?) yang artinya bersinar (karena mengandung gula dari tare (タレ?), dan kata yaki (焼き?) yang artinya dibakar atau dipanggang. Tare merupakan campuran dari kecap, sake/mirin, dan gula/madu yang dipanaskan. Namun, tidak semua negara dapat menggunakan sake karena mengandung alkohol. Maka dapat digantikan dengan gula merah dan madu. Di Jepang sendiri ada yang resepnya disederhanakan menjadi kecap manis, gula, dan tepung kentang. 
So, I wanna share this recipe for all of you..
It's very easy, cheap, and YUMMY!


Bahan-bahan


1/2 kg dada ayam fillet potong dadu (nah kalo saya makenya 1/2 ayam yang tidak difillet)

1 buah bawang bombay
1 sachet saos teriyaki
1 sdt saos tiram

2-3 sdm kecap manis (apabila kurang coklat warnanya)
3 siung bawang putih di keprek cacah kecil
1 sdt tepung maizena dicairkan
Irisan cabai/paprika (opsional)
Merica bubuk

3 sdm Minyak goreng

Garam
Jeruk nipis/lemon
Air secukup nya


Step-by-step

30 menit
  1. Pertama, cuci bersih ayam dan hilangkan tulangnya lalu beri perasan jeruk nipis/lemon, sedikit saus tiram, lada dan garam secukupnya. Aduk hingga rata, diamkan selama kurang lebih 10 menit. Potong ayam ukuran kurang lebih 2x2 cm.
  2. Panas kan wajan dan beri minyak, masukkan irisan bawang putih dan bawang bombay, tumis hingga layu.
  3. Tambahkan ayam, tumis hingga ayam berubah warna. Kemudian masukkan saos tiram, saos teriyaki, kecap manis secukupnya, lada, garam dan air, aduk hingga merata lalu tambahkan tepung maizena sedikit saja, masak hingga bumbu meresap dan air berkurang.

***



TADAAAAAAAAAAAAAA....

Jadi deh, Ayam Saus Teriyaki ala HOKBEN !!!!
Sajikan dengan nasi hangat dan saus sambal yaaaaa 😊


Bandar Lampung,

19.10.2017


sumber informasi: https://id.wikipedia.org/wiki/Teriyaki

Gabut? Gih Masak! #1: Sate Taichan

Seorang jendral Former US Navy Admiral, William H. McRaven berpidato seperti ini;

"If you wanna change the world, start off by making your bed. If you make your bed every morning, you will accomplished the first task of the day. It will give you a small sense of pride, and it will encourage you to do another task, and another, and another".

Dan saya berhasil bangun pagi, membereskan tempat tidur dan mulai berpikir apa yang harus saya lakukan pertama kali di rumah. Berhubung saya bosan menyapu dan mengepel saja, jadilah saya MEMASAK dan saya berniat mengabadikannya dalam blog ini barangkali ada yang berminat mengisi kegabutannya dengan memasak. Kali ini saya memasak sate taichan, siapa yang tidak tahu sate taichan? Kalian bisa temukan pusat kuliner yang isinya sate taichan semua di senayan, belakang Gelora Bung Karno, Jakarta Pusat. Berawal boomingnya makanan ini adalah cerita dari salah satu pedagang sate madura yaitu Pak Amir.

Pak Amir merupakan pelopor sate taichan menceritakan awal mula sate taichan ini dibuat dan diberi nama 'Taichan'.

"Pertamanya ada pasangan yang laki-laki orang Jepang yang perempuan orang kita (Indonesia), masih ingat saya nama perempuannya, Inet. Laki-lakinya itu mau bikin sate sendiri. Dia kasih garam ke dagingnya sama jeruk (nipis) dan sambal. Terus saya tanya 'Ini sate apa namanya?' kata orangnya 'taichan!',"

Berbeda dengan sate-sate kebanyakan, sate Taichan ini tidak memakai bumbu kacang atau kecap sebagai pelengkapnya. Melainkan semacam sambal dengan citarasa pedas dan segar. Mudah sekali membuatnya, dan entah kenapa saya bangga dan mau membagikannya di sini. Gabut? Gih Masak!



Bahan-bahan:
2 buah dada ayam dan kulit, potong dadu
2 sdt lada bubuk
1 sdt ketumbar bubuk
2 sdt garam
2 buah jeruk nipis
3 buah jeruk sate
1 sdm minyak zaitun/minyak goreng
Tusuk sate

Bumbu sate :
10 buah cabe merah
7 buah cabe domba
2 buah tomat
6 siung bawang merah
4 siung bawang putih
Garam secukupnya
Gula secukupnya

Cara Memasak:
  • Sate
  1. Cuci bersih ayam, potong dadu. Kucuri dengan perasan jeruk nipis , lada, dan garam. Diamkan kurang lebih 20 menit. Kemudian tusukkan pada tusuk sate dengan susunan daging-kulit-daging. Kenapa? Supaya lebh juicy 😅
  2. Campurkan 1 sdm minyak goreng/minyak zaitun dengan jeruk sate sebagai bumbu olesan.
  3. Panggang ayam dengan api kecil agar matang merata, bolak-balik agar tidak gosong. Angkat apabila sudah berwarna agak kecoklatan.
  • Bumbu Sate
  1. Rebus tomat (ada baiknya tomat dikupas kulitnya sebelum dihaluskan), bawang merah-putih, cabe sampai melunak, lalu tiriskan.
  2. Haluskan semua bumbu sate lalu tumis bumbu sate sampai harum.
  3. Sajikan sate yang telah dipanggang dengan bumbunya.

Foilaaaa!!
This yummy taichan has done made by weirdo like me.

Sate Taichan ini enak banget dimakan dengan nasi panas. So, what about yours? Gih, Masak!




Bandar Lampung,
30.9.2017

Revolusi Basa-basi #1: Just The Beginning


Hai. Sebelum membaca tulisan ini saya mau mengingatkan bahwa tidak semua yang kamu baca bisa kamu serap semuanya, harus pakai pertimbangan sana-sini. Dan tulisan dengan tag Revolusi Basa-basi ini adalah sebuah diary belajar saya. Kenapa Revolusi Basa-basi? Karena saya siapa yang tak mau melakukan perubahan apalagi mengarah ke hal yang lebih baik? Impian saya untuk memancungkan hidup saya masih sedang dalam perjalanan, belum menemukan garis finish di mana bisa mengangkat dagu dan memakai kacamata hitam sebagai bentuk bahwa betapa kerennya hidup saya. Perjalanan ini masih abu-abu dan masih harus dicari jawabannya dengan banyak-banyak belajar, merasa dan membaca. Saya rasa harus saya tuliskan agar saya punya catatan sendiri untuk berkumpulnya semua mimpi, niat, dan harapan. Lalu suatu hari nanti ketika saya sudah tua dan gemetar bisa saya buka lagi dan menertawai diri sendiri betapa bodoh dan naifnya saya di masa lalu 😁


***

Selain pembaca, alam pun tahu bahwa menulis adalah komitmen dan judul dari curhatan saya ini terlihat seperti; "hmm..lagi-lagi ngeles nih yee". Tapi ah, maafkan. Saya kira menulis menjadi komitmen yang lebih susah dari mempertahankan IPK untuk mahasiswa rantau, atau lebih susah dari komitmen mau kurus, mungkin juga lebih susah dari berjanji untuk tidak beli chatime lagi setiap menemukan gerainya. Memang seseorang pun dapat dikatakan harus profesional dalam hobinya, katanya jikalau sungguh-sungguh ingin menjadi profesional harus mengerjakannya terus menerus sehingga kelihatan hasilnya. Tapi itu kan buat orang lain (mencoba membela diri), hingga akhirnya saya memutuskan bahwa menulis bukan lagi soal profesional atau tidak tapi ya semacam hasrat yang selalu ada. Tergantung mau menuangkannya dalam sebuah tulisan dan dibagikan atau tidak hanyalah perkara pilihan si penulis. Mungkin kebanyakan orang menulis karna meluapkan isi hatinya, saya justru kebalik; Saya menulis untuk mendengarkan suara hati saya.

Daripada akhirnya saya menuliskan panjang lebar pembenaran mengapa sudah lama tidak menulis lagi hehe, kali ini saya benar-benar mau menemukan suara hati saya. Betapa waktu sulit sekali dibagi. Semakin bertambahnya usia, saya semakin selektif merelakan waktu istirahat saya. Semasa kerja apalagi di Jakarta, membuat saya lebih memilih leha-leha di kosan setelah jam kerja yang melelahkan setiap minggunya. Padahal akhirnya saya bekerja dengan sistem 2 in 2 off, namun tetap saja saya tega memangkas kegiatan makhluk sosial seperti bertemu teman, bermain, memperluas networking. Ya Begitulah.

Sebulan lalu, saat berada di Bekasi tiba-tiba saja dalam posisi dari duduk ingin berdiri ada rasa sakit yang menyiksa di bagian punggung belakang. Hitungan detik saya panik, kalut, dan bingung harus berbuat apa. Saya tidak bisa berdiri tegap, sambil terbungkuk saya memegang tembok untuk mencoba berdiri . Gila, setelah 5 tahun ini baru kali ini sakit bekas jatuh sampai separah ini. Selama 7 hari lamanya saya susah berjalan, bahkan bersin atau batuk pun terasa nyeri sekali. Ironinya, bahkan tertawa pun tidak bisa, ada tekanan atau guncangan sedikit saja rasanya membuat saya sulit bernafas. Terbaring dengan lemah bahkan tidak berpikir lagi untuk makan, mandi atau beraktivitas lain. Rasanya ingin diam saja, tidak bergerak. Dalam rasa sakit saya sadar, saya adalah manusia yang sudah sampai pada batas-batas kekuatan tubuh. Bahwa saya ini manusia bukan mesin. Bukan melulu harus menghasilkan, ada kalanya diam.

Satu bulan lamanya saya jadi berpikir, mungkin sudah waktunya istirahat dulu dan tidur yang benar-benar tidur. Lalu di setiap harinya dengan kondisi gerakan yang terbatas, saya sadar betapa hidup itu sangat berharga. Hampir setiap malam saya kesulitan tidur selain karena menikmati rasa sakit bahkan dengan posisi tidur, saya berbisik sendirian saat rasanya hidup sungguh menyebalkan dan menguji kesabaran setiap harinya, saya sering kali berpikir; Apakah mati saja akan lebih enak? 

Lalu kemarin saat sedang duduk makan, nyeri itu pun masih juga ada. Kadang sampai sulit sekali untuk membungkuk atau jongkok, rasanya menjalar ke kaki kiri sampai ketika jalan pun terasa sekali tidak enak berjalan karna kaki kiri seperti berat sebelah. Betapa untuk berdiri atau berjalan pun saya berkerja keras untuk tetap semangat bergerak. Mati juga bukanlah jalan yang dapat menyelesaikan masalah dan segala persoalan hidup. Saya jadi merenungi bahwa bisa saja kemarin itu saya tiba-tiba lumpuh tidak bisa berjalan lagi seperti beberapa penderita sakit yang sama melalui hidupnya dengan keadaan tidak bisa berjalan lagi, namun ternyata Tuhan tetap menjaga jiwa dan tubuh saya. Bukankah terkadang kita menganggap enteng akan hidup dan nafas itu sendiri? Seperti semua itu cuma-cuma milik manusia. Padahal jiwa jelas bukan milik manusia.

Sempat saat saya sedang lemasnya di kamar dan betapa inginnya saya makan namun harus beli keluar kosan, namun saya sendiri tidak tahu harus berbuat apa selain menangis. Sendiri sekali rasanya. Dan saya pun jadi merefleksikan bahwa mungkin benar kita dapat melihat ketulusan sebuah hubungan sahabat dan keluarga saat kita sedang terbaring sakit bukan pada saat badan masih sehat dan bersenang-senang. 

Barangkali penyakit ini adalah sebuah kesempatan untuk merefleksikan banyak hal dan melihat lebih dalam lagi akan banyak hal, juga banyak belajar bersabar. Mengevaluasi hidup saya dan memutuskan beberapa hal yang krusial dan baik untuk hidup ke depannya. Mencoba mengalah untuk percaya pada yang Kuasa bahwa mengambil rehat sejenak bukanlah sebuah kegagalan. Tadinya begitu iri saya melihat teman-teman yang bisa dengan bahagianya mereka bekerja, bersosialisasi, melakukan banyak hal tanpa hambatan, menjadi diri mereka dengan cara yang maksimal. Namun saya sadar, semua orang berada pada jalurnya masing-masing, saya tidak terkecuali. Seketika saya menjadi tenang mengetahui ada yang Lebih Berkuasa di luar saya.

Dan betapa tahun-tahun berganti dan terabaikan hanya untuk menyita kewarasan seseorang agar selalu berdiri tetap di garisnya masing-masing sesuai kodratnya sebagai hamba. Tanpa perlu melirik ke kanan dan ke kiri. Tanpa perlu membanding-bandingkan kebahagiaan sendiri dan kebahagiaan orang lain. Kalau ternyata pada akhirnya kita selalu mencatat ketidakbahagiaan. Kalau sebenarnya tidak apa-apa berusaha melangkah meski berat, meski akhirnya kamu harus menyeret langkah kaki satu dan lainnya. Meski memakan waktu di luar dugaanmu, tapi kamu tetap pada jalurmu sendiri. Tidak perlu kawatir karna kamu terjaga, asal mau melangkah! Gerakanmu tidak statis, kadang menanjak kadang turun namun kamu tetap pada jalurmu hingga pada akhirnya menang karna langkahmu sendiri!

Lalu pilihan terbaik adalah pulang, saat manusia lain pun punya urusan masing-masing, saya tak bisa merepotkan banyak orang untuk mendukung proses ini. Saya kembali ke rumah, bersama orangtua dan adik saya. Memulihkan diri sendiri sembari mencoba membuat jari-jari ini produktif kembali, ternyata menulis pun bisa jadi salah satu bentuk nyata bahwa saya bersyukur.
Saya sudah bisa duduk dan berjalan, menghirup secangkir kopi di salah satu resto junkfood kesukaan saya, menatap hujan di luar sini, memandangi langit kelabu, dan tertawa lucu sambil berdendang;

"Percayalah hati lebih dari ini pernah kita lalui,
takkan lagi kita mesti jauh melangkah.
Nikmatilah lara,untuk sementara saja,
jangan henti di sini".



Bandar Lampung,
27.9.2017

Malaikat Tak Bersayap

Halo semuanya, izinkan saya punya cerita sedikit.
Sebagai manusia korban social media, saya tergerak untuk melakukan sesuatu. Meskipun langkah ini hanya sebuah gerakan kecil, namun saya berharap adanya dampak besar yang bisa didapat. Saya percaya setiap manusia memiliki cinta dan hasrat untuk menjadi lebih baik, entah untuk dirinya sendiri ataupun menjadi guna untuk orang lain.
Seringkali kita tidak paham bahwa sebenarnya Tuhan ada dimana-mana, kita kurang melihat ke kanan dan ke kiri bahwa sebenarnya banyak malaikat tanpa sayap di luar sana dan ada Tuhan di dalam insan mereka. Berbuat kebaikan tidak melulu harus dalam skala besar, sekecil apapun kebaikan akan berbuah terus menerus. Karna saya percaya kebaikan seperti rantai, terus tidak pernah putus.
Saya berkenalan dengan saudara Aldi RayFaldo seorang anak muda yang menemukan Nenek Gentian Berutu.

Berikut kisahnya yang saya repost.


"Astafirullah ya Allah,

Kemarin ketika saya sampai di Medan,orang tua saya langsung memberitahukan kepada saya,bahwa ada seorang wanita yang sudah lanjut usia,yang sangat layak untuk dibantu.

Dan malam ini,saya beserta ibu saya menyempatkan untuk melihat langsung kondisi wanita tersebut.
Wanita tersebut bernama Nenek Gentian Brutu.
Beliau tinggal sendirian didalam sebuah gubuk kumuh di dalam lahan jagung.
Beliau menumpang di lahan tersebut,dan mendirikan sebuah gubuk untuk tinggal.
Namun belakangan ini,pemilik lahan sudah menyuruh beliau untuk pindah,dikarenakan lahan tersebut akan dibuat perumahan.
Sekarang beliau tidak tau akan menetap dimana.

Bagi kalian yang ingin menyisihkan sedikit rezeki untuk nenek ini,bisa melalui saya atau langsung datang ke tempat nenek tersebut.
Kami sudah menanyakan kepada beliau,apakah ingin dibuatkan rekening sendiri untuk penampungan dana,namun beliau bilang tidak perlu,karena beliau buta huruf dan tidak mengerti cara menggunakan bank.

Beliau mengamanahkan pengumpulan dana donasi kepada saya.
Seperti biasa,semua dana yang masuk akan saya informasikan secara transparan dan akan diserahkan sepenuhnya kepada nenek tersebut.
Nenek tersebut berkata,ingin sekali menyewa sebuah rumah.
Marilah kita saling bantu-membantu untuk mewujudkan impian beliau.
Karna tempat tinggal beliau yang sekarang jauh dari kata layak.

Bagi yang mau berdonasi,silahkan.
Semoga amal kebaikan anda dibalas oleh Allah berkali-kali lipat.
Bagi yang tidak ingin berdonasi,tidak apa2.
Tidak perlu susah payah untuk berkomentar yang negatif.
Jangan halangi sesorang untuk berbuat kebaikan.

Jika anda tidak percaya melalui saya,bisa langsung ke alamat nenek tersebut di Simpang Melati,Jalan Flamboyan Raya,Gang Ikip,Kelurahan tanjung selamat, kecamatan medan tuntungan.
Atau jika ingin saya antarkan kerumah nenek tsb,bisa langsung kerumah saya di Jln Flamboyan 10,Gang Batak,Kelurahan Tj Selamat, Kec Medan Tuntungan.
Bagi warga medan dan sekitarnya,saya harap anda bisa menyempatkan diri untuk datang langsung ke lokasi untuk melihat kondisi kehidupan nenek tersebut dan memberikan langsung bantuan tanpa melalui saya.

Bagi yang diluar kota,yang ingin berdonasi bisa ke rekening dibawah :

Bca
7870456616 a/n ALDI RAYFALDO PUTRA

Bri
532201010501532
ALDI RAYFALDO PUTRA
Donasi ditutup tanggal 10 agustus 2017.
Semoga rezeki kita dilimpahkan oleh yang maha kuasa, Amin 😇



Saya mengajak Bapak, Ibu, Kakak, Adik, dan teman-teman sekalian untuk sudi membantu makhluk Tuhan juga ini dalam bentuk APAPUN, baik itu moral maupun materiil. Terutama saudara-saudara sekalian yang berdomisili di Medan, Sumatera Utara.



Saat ini Inang kita ini sudah diberikan bantuan oleh tim @tnbgpedulisesama yaitu uang sebesar 5.000.000 rupiah untuk dapat mengontrak rumah tidak jauh dari Ia ditemukan selama 1 tahun. Namun dengan perabotan seadanya, kasur dan bantal seperti itu sangat besar harapan saya kita bisa memberikan Inang kita ini kompor, peralatan masak, kasur yang layak, beras, dan perabotan rumah sederhana untuk bisa digunakan oleh Beliau dengan baik.

Bagi yang ingin berdonasi langsung bisa transfer dan sertakan bukti transfernya ke saudara Aldi Rayfaldo Putra sendiri akan secara transparan dilakukan laporan uang dibelikan untuk apa saja.
Bagi yang ingin main kesana dan memberikan bantuan secara langsung bisa datang ke rumah Inang ini di:
Alamat lengkap Penggalang Dana
atas nama ALDI RAYFALDO PUTRA
Jalan Flamboyan 10,Gang Batak No. 1,Kelurahan Tj Selamat,Kec Medan Tuntungan.


“Not all of us can do great things. But we can do small things with great love.” 






Bandung,
4/8/2017