Kenangan Tentang Wanita Tua


Betapa kita sangat menghargai seseorang apabila seseorang itu sudah tidak ada.

Kehilangan menjadi kesunyian yang patut diberi harga.
Karena sudah hilang, tak bisa diulang.

Saya tak pernah cerita perihal kosan saya dulu di sini. Saya penghuni kosan kecil di Jatinangor, Sumedang, namanya Pondok Graha Mukti. Jangan kira ini kosan mewah, hanya rumah tua di dalam gang yang disulap menjadi kosan dengan kurang lebih 30 kamar. Saya di lantai dua, atapnya rendah seolah saya tak perlu bermimpi tinggi-tinggi karena takut mantul lagi.

Pemilik kosan saya wanita tua, bahkan saya tidah tahu persis namanya, yang saya tahu kami semua memanggilnya Ibu Princess. Kurang tahu juga kenapa dipanggil begitu, saya tidak pernah juga cari tahu. Terkadang Ibu Rika (anaknya) dan keluarga datang mengurusnya yang sering sakit-sakitan. Tahun-tahun berlalu fisiknya makin rapuh, umurnya sudah menginjak 80an.

Subuh tadi, Beliau dipanggil Tuhan. Ya, selesailah rasa sakit yang dideritanya selama ini. Ia sedang menuju surga malam ini. Tidak perlu pakai sarung tangan lagi, plastik di kaki lagi, atau masak mie instan lagi.

Lalu memori menari-menari di kepala saya,
Beliau memang tidak sering berkomunikasi dengan anak-anak di kosan, mungkin karena baik Ibu Princess atau anak-anak bingung pembicaraan seperti apa yang pantas untuk menemani hari-hari seorang wanita tua. Tapi saya suka menanyakan kabarnya, entah itu dianggapnya basa-basi atau bukan. Ia suka memperhatikan kalau saya diantar sama laki-laki kalau pulang ke kosan. Betapa Ia ingin tahu siapa sebenarnya pacar saya, padahal tidak ada.

Kemudian saya ingat lagi betapa saya licik tiap mau laundry pakai mesin cucinya, uang yang saya masukkan ke celengan kejujuran tak sebanding dengan pakaian kotor yang saya cuci. Dia memberikan tatapan sinis lalu saya berlalu saja tanpa peduli dengannya, sumpah saya suka keletihan saja waktu itu.


Pernah juga saya sedang senang hari itu, begitu pulang saya melihat dia termangu di teras depan. Menatap saya tanpa menyapa, senyum, atau basa-basi sore yang biasa kami lakukan. Dia hanya menatap saya sayu, tersadarlah saya mungkin memang begitulah kalau sudah tua. Kadang lupa, kadang tidak tahu harus merespon orang seperti apa. Pernah Ia menangis karena melihat saya yang kesedihan menghadapi orang tua yang sakit-sakitan, seakan dia lebih kuat daripada saya waktu itu.

Beliau menunjukkan kualitas hidup orangtua, yang tetap tidak meninggalkan tanggungjawab meski sudah lanjut usia. Badan rapuhnya itu masih saja naik tangga hanya untuk menjemur, bahkan Ia memakai plastik untuk melindungi kakinya karena sandal karet sudah tidak bersahabat lagi dengan kulitnya. Luka-luka.

Sekarang,
Beliau tak perlu bingung lagi menghadapi dunia. Ia sudah di tempat yang lebih baik.
Selamat jalan Ibu Kosan kami, Ibu kami, nenek kami. Terimakasih Ibu Princess, memang saya suka seenaknya saja sebagai anak di sana. Maafkan atas kejadian yang lalu-lalu, kalaupun saya pernah kesal tidak pernah ada saya ingat-ingat lagi. Saya sayang Ibu, nenek kami semua. Terimakasih telah peduli pada status saya, kalau sudah berkeluarga nanti saya akan kenalkan ke rumah.

Kiranya Tuhan memberikan tempat terindah untuk Ibu di surga, dan keluarga yang ditinggal diberikan kekuatan. Sampai bertemu lagi di nisan kekal abadi, Bu. Saya pasti datang menjenguk Ibu membawa bunga untuk Ibu yang memang indah hatinya.



L i f e
 is pleasant
D e a t h 
is peaceful.

Kemiling,
6.10.2016

No comments:

Post a Comment