Malam-malam di Jakarta

Sudut kota selalu punya cerita bahkan untuk kota yang tadinya kuhindari. Aku tak pernah membayangkan akan mendaratkan pikiranku di sini, di kota ini. Jakarta. Tak ada cerita apa-apa di sini, barangkali cuma kisah masa kanak-kanak yang pernah berlibur jauh menyebrang dari Sumatra. Saat itu keluargaku sedang ada saja tabungan untuk berlibur ke luar kota, tidak seperti 4 tahun terakhir ini. Kami tak lagi butuh liburan ke luar kota, keharmonisan cukuplah diciptakan hanya di rumah saja.

Lalu, sampailah di sini. Kaki melangkah pertama kali dengan berbekal keraguan dan kebimbangan, tak ada rasa bahagia sama sekali. Mungkin ada sedikit, hanya sempat merasa tertantang saja menyusuri Ibukota hanya sendirian. Banyak isu kriminal di jalanan atau kecelakaan sempat berhasil membuatku takut untuk hidup di kota ini, tapi lagi-lagi aku tak punya pilihan. Aku mengikuti egoku untuk tinggal di sini daripada pulang ke rumah.

Ahh setelah berlama-lama, kesusahan itu pelan-pelan berlalu. Semesta masih memiliki keibaan.

Dan kemudian setiap hari, aku selalu menikmati malam-malamku dengan mengangankan segala hal yang bisa saja mungkin kulakukan bersamamu meski aku tahu semua itu akan tetap tinggal sebagai kemungkinan yang entah kapan menjadi kenyataan. Aku bisa mendapatkanmu masih dalam dimensi ruang dan waktu yang sama. Aku percaya semesta ini selalu memberikan pertanda. Tentang kita, Ia membisikkan “belum saatnya”. Tuhan dalam kepalaku yang kupercaya seakan memaklumkan, bahwasannya ada insan yang belum menyiapkan hatinya untuk berdamai dengan akhir cerita.

Waktu bergulir tanpa rehat, kesempatan rasanya sayang untuk dilewatkan. Menemukanmu serasa menjadi ketidakmungkinan yang dihindari, namun akhirnya ingin kuamini. Bersamamu aku tak takut untuk melekat, dulu kuhindari rasa karena takut kecewa. Namun, tawa, tangis dan kebanggaan bersamamu memang menuntut harga.

Bagaimana tidak?

Aku pernah bertemu dengan si lugu yang mencintaiku dengan segala ketidaktahuannya, membuatnya enggan belajar sehingga semua tampak sia-sia untuk dijalani.

Pernah juga aku menjadi yang terlambat menerka rasa, hingga akhirnya aku lah yang menyesal telah menyiakan yang pernah baik dan tidak menghasilkan apa-apa. Dua tahun lamanya untuk siap menghadapi dunia yang baru dengan tanpa merasa disayangi seutuhnya.

Lalu ada yang mencintaiku dengan arogan, menjadi baik untuknya justru membawaku kepada kesialan. Ia merasa menguasai diriku dengan sikapnya yang Ia bilang bentuk cinta tapi buatku hanya omong kosong, manusia gila itu tidak bisa membedakan cinta dan nafsu. Cinta yang sakral menjadi murahan tanpa membawa kebaikan.

Lama trauma memulai mencari dan mengalami rasa, hidupku mulai begitu-begitu saja. Sampai akhirnya kutemukan Ia yang sejalan, sealiran, ada kesamaan, dan kalau ada rasa sayang yang bisa lebih untuk diartikan... itulah dia. Aku pernah ingin benar padanya. Sampai susah aku mengartikannya, aku menemukan masa di mana aku tahu apa artinya menyayangi bahwa cinta sesungguhnya adalah penerimaan. Sampai akhirnya aku ditinggal begitu saja, alih-alih karena berbeda sedikit saja. Ia tertawa melecehkan ketika dengan air mata kusampaikan keikhlasanku, kulepas Ia tanpa perlu didera. Dua tahun lebih kuhabiskan hanya untuk menjadi tidak bersyukur atas apa yang aku alami. Nelangsa sekali rasanya tidak diperjuangkan dan diabaikan, banyak manusia yang salah kaprah atas musibah itu. Aku dianggap egois memiliki keinginan sepihak saja tanpa memaklumi kondisinya, bahkan untuk memulihkan rasa sakit pun Ia enggan membaur. Aku memusuhi diriku saat itu, membenci sikapku yang terpuruk pada keadaan. Tiga tahun habis, aku menjadi orang yang acuh pada rasa dan sosok yang baru.

Masa sulitku datang bertubi-tubi, ada dia yang datang di masa gelap itu. Tidak banyak cahaya yang dibawanya, berusaha masuk menyelinap ke duniaku yang terang repot.
Dia yang percaya aku sepenuhnya, seutuhnya.
Yang tak banyak bicara ketika aku menangis, satu usapan di tangan sudah berbicara
Yang tahu segala hal yang kusembunyikan dari siapapun di dunia ini, Ia lihai menebaknya
Yang matanya awas menatap ke depan ketika aku menoleh ke belakang
Yang tetap tenang ketika kutinggalkan meski keadaannya membutuhkan manusia lain
Yang melontarkan pekikan membangun ketika aku terjatuh karna kegagalan
Ia membuatku berkeinginan untuk selalu menghabiskan waktu bersamanya. Selamanya kalau boleh.
Meski berbeda, jauh.

Cinta harusnya tak membelenggu, kan? Aku tidak mau menjadi orang lain dari diriku sendiri. Aku mendambakan kebebasan yang bisa kutapaki, sayap yang bisa kurentangkan tanpa batas, kaki yang bisa kulangkahkan ke manapun, menyusuri sudut-sudut tersempit dunia ini bersama seseorang yang mengakhiri penantianku. Seseorang yang mau menjadi alasan dan menerimaku pulang apabila terseok karena kelelahan.

Jangan berakhir, Kasih. Belum saatnya kita kelelahan. Kau adalah pilihan hati meski berbeda membuat kebersamaan kita tampak tak berlogika. Biarlah waktu bergulir mengalir, mari kita terus menatap, berharap, mengucap doa, dan mendekap sampai saatnya ruang memisahkan. Ketika itu, mungkin kita bisa sedikit rela.
....
Aku kehabisan kata-kata puitis, kasih. Hari ini, jika aku melakukan, mengejar, mengupayakan ini itu, itu demi kualitas diri yang lebih tinggi. Mungkin, nanti Tuhan mau memantaskan.


Malam-malam di Jakarta
Mengiringi malam-malamku juga malammu
Meretas waktu menghasilkan rindu



Jakarta,
13.09.2016

No comments:

Post a Comment