Surat Yang Tak Pernah Sampai

Jangan heran, musim di sini tidak jelas, kawan. Kadang kau temui tawa, kadang teriakan sedih meminta tolong. Keluarga sederhana kami sedang dilanda badai topan. Sinar matahari yang baru pun tak pernah jadi sesuatu yang selalu disyukuri.
Seseorang membentak ibu hari ini. Orang itu adalah bapak dan kali ini paling tidak bisa saya terima, Dia sering membentak namun kali ini seperti salah sekali Bapak membentak Ibu. Mungkin karna berharap hari ini adalah hari Minggu yang baik maka saya teramat amat kecewa. Kemudian bapak diam sepanjang perjalanan menuju rumah, Ibu menahan tangisnya, matanya berbinar menyimpan pedih, adik dan saya hanya terpaku dimakan amarah. Bapak jangan salahkan Ibu. Ibu boleh salahkan semuanya.
Saya jadi ingin berlari keluar. Bertelanjang kaki menelusuri teriknya matahari, kaki kapalan terbakar. Kemudian berteriak sekencang-kencangnya ke telinga siapapun yang melihat. Saya tidak peduli. Jangan sebut kata sabar. Saya dan adik saya bosan mendengar kata itu, kami tak perlu lagi. Entah apa yang kami tunggu, sungguh entah apa.
Lalu tergeletaklah Bapak di kasur kesayangannya, jangan sampai kau letakkan barang atau secuil kotoran di sana. Hanya Ia yang boleh berbaring di sana, itu kerajaannya. Kasur itu saja yang bisa menenangkannya dalam diam. Berulang kali Ia balik badannya sambil tertidur mengeluh kesakitan. Sementara di kamar lain Ibu mengeluh soal hidup, terbaring lelah menghadapi hal yang sama, bentakan tadi tidak cukup membuatnya menangis. Rasa malu dan sakit hati dikoleksinya dengan rapih.
Sebelah dariku memikirkan masa dulu, entah ada berapa surat yang pernah saya rangkai untuk Bapak dan Ibu saya, dari saya SD-SMP-SMA semua saya arsip untuk mereka ketahui apa makna yang ingin mereka ketahui, bahkan sampai hampir lulus kuliah saya layangkan lagi satu surat dan hanya Bapak yang bisa membacanya, Ibu saya sudah tidak bisa melihat jelas lagi.
Setelah keheningan itu, saya sadar. Surat saya itu tidak akan pernah sampai, karena sebenarnya saya hanya ingin berbicara kepada diri saya sendiri. Mungkin saya hanya ingin berdiskusi dengan angin, rintik hujan, alunan nada, atau nyamuk-nyamuk yang menemani saya menulisnya pada waktu itu.
Dan saya hanya bisa berbagi kesedihan itu, ketidakrelaan itu, kelemahan itu, dengan detik jam dinding yang gagu karena habis daya. Ketika surat itu tiba dititiknya yang terakhir, saya masih bertengger membayangkan hal indah yang akan terjadi. Sebagian dari diri saya merasa paling bertanggung jawab bahwa surat ini adalah surat terakhir yang harus membawa hasil. Diri saya yang kecil, tapi keras kepala, menetap untuk terus berusaha bahwa saya bisa memancing mereka untuk berubah meski lewat kata-kata. Namun, suratku miskin makna. Kata-kata itu melayang bersama angin baik, entah bermanfaat untuk siapa di luar sana. Bukan untukku pun keluargaku.

Sepulang dari gereja, saya temukan setumpukan kertas yang berdebu mulai berubah warna. Jumlahnya ada 3 buah, di pojokan meja kamar Ibu saya. Saya kenal tulisannya, saya kenal gaya bicaranya. Badan serasa dingin sekali, besar hasrat untuk mengumpulkannya lalu saya buang ke tempat sampah depan rumah. Entahlah, kuat sekali bisikan diri lebih baik tidak ada lagi dokumentasi dan arsip semacam itu. Saya sakit dan sangat tersiksa apabila Adik saya menemukan saudara perempuannya yang mendamba untuk mengalami. Lagipula, baik Bapak atau Ibu sudah tidak punya daya untuk memahami yang saya maksud. Saya selalu ingat tiap surat yang saya berikan selalu ada kata "Terserah". Balasan surat-surat itu tidak pernah punya jiwa.

Tampaknya hati saya memang lumayan kuat, saya tidak perlu dulu jauh melangkah. Mungkin belum saatnya saya jatuh dan tidak bisa bangkit lagi, semesta ingin saya menikmati lara dulu. Entah sampai kapan, saya juga tidak tahu.
Jangan tanya.
Biar saya karang dulu kisah baik tentang siapa saja atau apa saja sebisanya.




Kemiling,
12.06.2016

No comments:

Post a Comment