Pulangku

Badai puan belum berlalu
Salahkah ku menuntut mesra?

Tapi waktu memang enggan bersahabat
Tak semestinya kita lahir untuk lebih senang menciptakan pertanyaan, namun enggan melahirkan jawaban
Kita tidak pernah siap untuk itu.

Kau kutemukan dibalik sajak-sajak lirih
Kata-kataku yang penuh nelangsa, tapi kau hadir di sana
Kita benci air mata, tapi dalam air mata pun kau hadir dengan gegap gempita
Sebab kau dan aku sama-sama tahu bahwa realita tak selalu menyerukan kabar gembira

Izinkan aku rebah menikmati degub bahasamu mengeja lembut namaku
Kau yang paling ahli menyerukannya
Sambil kunikmati bunyi hujan
Seakan sunyinya mampu berdiskusi tentang sebuah keraguan antara kehadiran dan kemusnahan

Tidurlah, sayang..
Cinta tak melulu soal bahagia, pun soal jawaban
Tak melulu tentang penetapan awal dan akhir
Kita hanya terjebak di ragu yang tak berbatas
Bila ini memang nasib kita, biarlah ketidaksiapan menjadi tawa di lain hari.
Karna nasib adalah kesunyian
Dan kesunyian adalah anugerah

Tapi kita tak akan pernah berpisah, bukan?
Pertemuan kita sudah paling sunyi
Dan hanya kita yang paling merdeka atas itu
Aku tak peduli yang lain.
Aku yang mendamba untuk mengalami
Aku yang memupuk rindu dalam ambang batas
Aku yang ingin setia berlabuh pada
Tuan yang selalu menjadi pulangku




Jatinangor,
19.06.2016

Sabar ya le, sembuh dulu. Aku nanti-nanti saja. Sungguh.

No comments:

Post a Comment