A Silent Christmas

*inhale
**exhale

Pada akhirnya bulan ini menjadi lebih sedikit berani untuk memberikan hari-hari yang kurang membuat saya yakin bahwa hari esok bisa jadi tidak sama dengan hari ini, saya memandang general pada setiap hari yang saya lalui. Seperti mendambakan tempat tidur bagus yang empuk untuk berbaring, tetapi yang saya dapat adalah kasur yang ciamik namun banyak kotorannya. Kenikmatan beristirahat seakan cuma teori yang tidak pernah terjadi.

Saya mulai menyadari betapa setengah dari bulan yang biasa saya nanti-nanti ini pada akhirnya sangatlah membosankan, sedih rasanya, lama-lama malah saya ingin ini semua cepat berlalu.
Ada perasaan direndahkan, dirajai, dimanfaatkan, tidak dianggap, dan lain sebagainya. Kadang saya masih punya waktu untuk merenung apakah memang saya yang selalu memposisikan diri saya sebagai seorang yang menyedihkan, atau memang saya berada di tempat yang salah (lagi).

"Nempel hidup" bahasa seorang teman untuk mengkondisikan hidup saya saat ini. Ya, kau pasti tahu susahnya menumpang hidup bersama orang lain, bukan soal minta dibayarin ini itu, saat ini saya tidak punya cukup uang untuk  menyewa kosan yang layak alih-alih hanya untuk 5 bulan ke depan. Jadilah saya menumpang hidup bersama seorang Ibu dan anak semata wayangnya yang Ia sayangi melebihi apapun di dunia ini.

Belakangan baru saya tahu, Ibu dan anak ini tidak sekompak yang saya duga. Begitu banyak rasa acuh baik dari anak ataupun Ibu, seakan hidup ini ada jalan instannya jadi tak perlu repot-repot. Termasuk soal rasa, mereka tidak terlalu paham bagaimana mengolah rasa, akhirnya kepedulian yang terjadi semacam rutinitas belaka, atau salah menerjemahkan rasa rindu ingin bertemu justru malah menciptakan perdebatan panjang.

Kamu boleh salahkan aku, tapi aku tidak mau terlalu ikut campur karena kebaikan yang bisa saya lakukan hanyalah menjadi pendengar yang baik tanpa ekspektasi apa-apa dari keduanya. Sang anak yang harus menjadi teman saya sudah cukup membuat pusing dengan menguasai teman-temannya, entahlah bisa-bisanya Ia berteman dengan cara yang arogan. Satu hal yang membuat saya masih waras menghadapi suasana itu, saya dan dia dibesarkan oleh latar belakang yang berbeda. Keluarga saya utuh, sedangkan Ia tidak. Jadi, harus maklum.

Lalu, sudah hampir tiga minggu saya berada di Jakarta mempersiapkan diri menyambut natal. Seperti biasa ada saja pertanyaan dari teman-teman yang tidak merayakan Natal perihal;
"Memangnya merayakan natal itu bukan di tanggal 25 Desember nya ya? Jadi masuk Bulan Desember itu berarti sudah Natal?" adalah wajar mereka bertanya seperti itu. Mungkin semakin tua manusia semakin banyak juga pertanyaan di kepalanya, mengingat daya menganalisisnya semakin besar. Lelah dengan segala pertanyaan serupa, jawaban saya hanya "Ya ibaratnya kamu ulangtahunnya tanggal 25 tapi dirayainnya sebelum tanggal 25, kan pamalik" lalu mereka tersenyum seolah mengerti.

Kenyataannya jawaban saya itu kurang berbobot, setelah Misa Minggu siang kemarin baru lah saya paham bagaimana seharusnya saya menjawabnya. Namun saya akan menjabarkannya dengan singkat saja, tentunya ada sejarah yang valid mengenai hal itu. Kau bisa searching saja di google untuk jawaban yang lebih deskriptif.

"Masa Advent"

Kata ‘adven’ berasal dari kata Latin ‘adventus’ yang berarti kedatangan. Maka  ‘masa adven’ berarti masa untuk menunggu kedatangan Tuhan Yesus. Masa adven berlangsung selama 4 minggu, yakni dari Minggu Adven I sampai dengan Minggu Adven IV. Masa Adven merupakan masa persiapan menyambut Hari Raya Epifani, hari di mana para calon dibaptis menjadi warga Gereja; jadi persiapan Adven amat mirip dengan Prapaskah dengan penekanan pada doa dan puasa yang berlangsung selama tiga minggu dan kemudian diperpanjang menjadi 40 hari. Tradisi Katolik menghayati masa adven dengan melakukan ibadat bersama dan puasa. Selain itu juga mulai diciptakan simbol-simbol yang disebut dengan Korona Adven (lingkaran Adven). Korona Adven berbentuk sebuah lingkaran yang diuntai dengan daun-daun pinus atau cemara dan diatasnya dipasang empat lilin (tiga lilin berwarna ungu dan satu lilin berwarna merah); selain itu juga masih diberi asesoris lain seperti pita berwarna ungu dan merah.
Kau bisa cari tahu lebih banyak soal Korona Adven, tapi hanya satu bagian yang mau saya bahas, yaitu:
Tiga batang lilin berwarna ungu dan satu lilin berwarna merah muda. Warna ungu melambangkan tobat, keprihatinan, matiraga atau berkabung, persiapan dan kurban; warna ini juga dipakai pada masa Prapaskah, tidak hanya untuk warna lilin, tetapi juga pakaian liturgi lain. Warna merah muda melambangkan hal yang sama, tetapi dengan menekankan Minggu Adven Ketiga, Minggu Gaudate, saat kita bersukacita karena persiapan kita sekarang sudah mendekati akhir. Selain itu warna merah juga merupakan tanda cinta kasih.
Source: https://parokiyakobus.wordpress.com/informasi-iman-katolik/memahami-dan-memaknai-masa-adven/
Romo yang memimpin misa siang itu bercerita bahwa Ia dan teman-temannya ditegur oleh Romo senior yang mengkritik para anggota seminari yang hanya terlibat dalam kesenangan menyambut natal saja, memasang lampu kelap kelip, menghias pohon natal, membuat makanan enak, kue-kue, dll. Padahal hal terpenting dalam menyambut Natal adalah sebuah perenungan bahwa siapkah kita menyambut Kristus lahir di hati kita masing-masing. Natal bukanlah sekedar perayaan pesta, tetapi menumbuhkan Harapan dengan bertobat, berkurban, dan keprihatinan seperti lilin pada lingkar adven. Barulah di minggu ketiga kita bersukacita karena persiapan kita sudah matang.
Setelah mendengar homili itu, saya pun merasa berhasil bahwa perenungan saya bahkan sudah menginjak minggu ketiga haha tapi kalau soal berkorban dan tobat saya masih kurang rajin, saya malah lupa bagaimana harus bersukacita. Kosong rasanya, tidak pulang ke rumah, tidak ada siapa-siapa untuk merasakan hangatnya suasana natal. Pun Ibu dan anak tadi, ahh buat mereka natal hanya sekedar tanggal merah untuk berlibur. Teman-teman saya di Bandung banyak yang tidak merayakan jadi mereka pun pulang ke rumah masing-masing. Pacar? Dia pun tidak merayakan Natal. Ya, kami berbeda keyakinan. Hal ini juga yang membuat saya merasa hampa, sendiri sekali rasanya. Saya jadi arogan sekali membutuhkan dia untuk mengisi hari saya.
Tindakan saya mencari pelampiasan semua ini pun berujung merugikannya, sempat-sempatnya saya ingin sekali ditemani gereja oleh siapapun dan mengisi hari minggu saya yang sendu. Lalu hadir seseorang yang mengajak saya gereja lalu nonton bersama, dengan segala keruwetan pikiran akhirnya saya cepat mengiyakan untuk pergi bersama. Laki-laki ini punya latar belakang suku dan keyakinan yang sama dengan saya. Entah kekuatan apa yang membuat saya berani seperti itu, di sisi lain saya butuh menghibur diri saya tapi tidak ada uang untuk itu. Sepulangnya dari misa dan nonton itu, saya merasa sangat amat bersalah semacam saya sudah berkhianat rasanya. Meskipun pertemuan itu hanyalah bincang-bincang saja, tapi saya terus mengingat kekasih saya itu. Saya tahu dia akan hancur kalau tahu saya nonton bersama laki-laki lain, makan siang bersama laki-laki lain, dan misa bersama laki-laki lain.
Kau boleh cari istilah lain selain, cheating. Tidak! Saya bukan sebodoh itu untuk selingkuh, saya tidak ada rasa padanya hanya untuk mengalihkan pikiran yang bukan-bukan dan nambah kenalan baru. Pulang dari hari itu saya tidak berhenti berfikir tentang pacar saya sendiri, bahwa masih memang hanya dia yang terbaik. Hanya dia. Ingin rasanya marah ke semua orang yang meremehkan keadaan kami, atau cara kami berjuang. Saya masih saja bodoh menghadapi situasi semacam ini. Kebiasaan saya, ketika hati dan pikiran makin tak karuan saya ceritakan semua setiap jengkal hidup saya kepada dia. Karna kali ini masalahnya menyangkut dia, tentu saja dia marah dan kecewa seperti dugaan saya tadi.
Sampai sekarang, sampai siang ini, Ia memilih untuk diam dan menjauh dari saya. Dia tidak mau membicarakannya.
Sepertinya setelah saya melakukan perenungan yang lama, kali ini saya sudah berkurban, tinggal nanti sore saya bertobat.
Menjauhi riuh demi menghargai sepi menjadikan perut kelaparan ini membuat saya berbisik lirih tiada henti,

"I spend his love, until he's broke inside. I don't wanna loving you for granted, please forgive me."

Jakarta,
18.12.2017

No comments:

Post a Comment