Sebelum Dua Puluh Lima



Pernah gak sih berpikir betapa banyaknya hal-hal bodoh yang sudah dilakukan? atau punya rencana saya akan melakukan hal bodoh berikutnya di esok hari, atau beberapa hari lagi.. tapi tetap juga dilakukan. Sudah tahu salah, tapi tetap saja dilakukan? Saya salah satunya.

Saya masih sering jadi manusia yang try and error, bahkan sudah tau bahwa itu adalah sebuah kesalahan tetap saja dilakukan. Sejenak saya berpikir, ah begini banget ya jadi perempuan yang makin nambah umurnya. Di saat ada saja para perempuan yang mulai khawatir bahwa dirinya sudah berumur 25 tahun karena belum juga mendapatkan jodoh, menikah, atau pun harusnya melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi, saya malah panik karena belum menciptakan sesuatu, padahal lebih panik lagi orang tua saya yang mulai resah anaknya belum juga mendapatkan pekerjaan yang tetap. Ya, akhir bulan November lalu pada akhirnya saya memutuskan untuk mengambil tawaran bekerja di salah satu perusahaan di Jakarta namun hanya sebagai temporary employee maklum lah itu pun referral dari teman. Sebenarnya saya masih betah-betah saja kalau pun harus menunggu sampai bulan depannya lagi untuk mulai bekerja, mengingat bulan Desember memang sudah tidak efektif lagi bagi budak-budak korporat pendamba libur akhir tahun. Namun, saya lebih tidak tahan lagi karena mendengarkan keluhan-keluhan Ibu soal hari esok, seperti pecutan lembut yang berbisik: "Bekerja lah lagi kamu, Nak". Apa boleh buat, saya tak punya opsi lain. Jadilah saya di sini, sudah 3 hari di Ibukota.

Sampai sekarang pun saya masih meragu saya melakukan kesalahan (masih menduga sampai sekarang ini nasib baik atau kesalahan) kedua kalinya dengan kembali ke Jakarta, ditambah lagi dengan raut wajah Ayah dan Ibu yang melepas kepergian saya di bandara sore itu. Mereka hanya membekali saya dengan sedikit arahan umum supaya anak gadis bisa jaga diri, tapi tidak ada keyakinan yang kuat dari mereka bahwa kali ini bisa saja saya berhasil. Padahal saya merindu sekali untuk diberikan kata-kata positif bukan seperti tahun-tahun yang sudah. Tapi, ahhh siapa saya banyak minta, memberi banyak pun belum bisa jadi saya simpan di dalam hati saja, kelak saya yakin mereka akan puas dan mengerti. Setidaknya, kepergian saya dari rumah meringankan beban mereka, tinggal memikirkan makan bertiga saja ditambah anjing kecil kami. Di luar kota, saya harus jadi manusia serba bisa.

Nyatanya memang begitu ya, susah sekali menjadi cukup dan sabar. Saya membayangkan betapa susahnya prioritas mencintai proses daripada mendamba hasil dengan ekspektasi yang berlebihan. Ruang dan waktu rasanya jadi sia-sia ketika yang di kepala melulu soal target yang tak kunjung tiba, kita lupa tangga-tangga menyenangkan untuk dapat meraih kesana. Sampai saya mulai bertanya sebenarnya manusia itu;


Mengejar takdir / nasib baik

atau


Menunggu takdir / nasib baik

Lucu ya, makin tua saya makin menggebu untuk mencari jawabannya. Padahal saya pikir, sudah berumur hampir setengah abad saya malah memusingkan hal-hal semacam, saya pikir sudah terjawab di fase mau kepala dua. Jawabannya belum juga saya dapat, padahal makin banyak orang-orang yang berhasil menemukan "dirinya". Oh ya, satu lagi saya lebih tidak habis pikir orang-orang berumur mau kepala tiga tapi sudah melewati fase ambisius - bekerja karir bagus - resign karna merasa tempat kerjanya adalah zona nyaman - menciptakan sesuatu untuk memuaskan dirinya dan berguna buat masyarakat. Saya? Masih terjebak dengan memikirkan cara, di mana sebenarnya "diri" saya berada mau itu soal kerja, tinggal, karya, dll.

Hingga, Jakarta jadi tempat lagi untuk tahap try and error kali ini. Besar harapan saya, tahun depan bisa keluar dari kota ini dan saya bisa berkarya di tempat lain yang saya dambakan, semoga Tuhan merestui. Saya lah termasuk manusia beruntung, hampir jatuh karna modal hidup yang sudah habis, tetapi orang tua masih mampu memberikan bantuan baik secara materi atau moril, saya masih punya kekasih yang tidak lelah terdiam menjadi pendengar kala saya terus saja menangis seakan hilang arah dalam menemukan tempat saya menjadi sesuatu, saya masih punya adik yang tidak bosan melihat kegagalan kakaknya lagi dan lagi, saya masih punya teman-teman yang siap jadi tong sampah kala permasalah saya itu-itu melulu, saya beruntung.

Terlepas dari rencana kecil, besar, dan juga rencana syaa untuk tidak berencana, setelah lulus, ternyata hidup semakin susah. Bener kata orang banyak, di dunia kerja, kita harus berani memilih. Dengan memilih, kita menggunakan free will kita sebagai manusia yang bebas untuk menentukan hidup kita sendiri. Memilih untuk bahagia, memilih untuk kaya, atau memilih untuk menjadi apa adanya.

Ngomong-ngomong soal pilihan, hari ini saya bertekad melepas sebuah kesempatan bekerja di perusahaan besar di Indonesia, bermula dari iseng sampai saya mual memikirkan haruskah saya ambil pekerjaan yang jelas-jelas menawarkan wealthiness ini dengan segala konsekuensinya dan jangan lagi jadi manusia penuh keluh. Pilihan itu sebenarnya membuat saya lebih banyak berpikir tentang konsep sukses dan bahagia. Apa sih artinya sukses? Sedari dulu, definisi sukses itu diindoktrinasikan sebagai keadaan di mana kita kaya raya, punya karir yang hebat, eksis di dunia riil maupun maya, punya rumah besar, investasi di mana-mana, tanah yang luas, dan bisa beli baju atau tas tanpa lihat price tagnya. Paradigma masyarakat pun masih condong ke arah kekayaan material sebagai ide untuk sukses, pun Ibu saya yang selalu saja mengeluh soal besok bisa makan atau tidak.

Apalagi bahagia, apa artinya menjadi seorang insan yg bahagia? Relatif memang. Ada yang bahagia karena hal-hal kecil; melihat senja, bunga, terbelai angin, menghirup udara lembab sehabis hujan, ada juga yang merasa bahagia ketika orang tuanya bahagia, bahagia itu masuk surga, dan ada juga yang merasa bahagia adalah ketika dia berhasil mencapai cita-citanya. Buat salah atau benar, saya tidak bisa menghakimi. Tapi dari pilihan yang saya buat kemarin, saya menyadari beberapa hal bahwa apapun pilihan saya, itu juga cara saya dalam menemukan "diri".

Sejujurnya saya pribadi sulit menemukan definisi sukses dan bahagia, seperti ujung pedang rasanya. Di satu sisi, rasanya ego untuk mengejar karir secepat mungkin, dapet kerjaan yang sesuai dengan minat, volunteer ke luar negri, keliling dunia, menjadi pemimpin handal di brand tertentu, punya startup, bawa Bapak dan Ibu ke Roma dan Yerusalem, sekolahin adek sampe S2 dll.

Tapi di sisi lain, saya tidak pernah absen untuk membayangkan hidup saya yang dikelilingi hal-hal sederhana:

Tinggal di luar negri jauh dari beradaban ramainya kota, punya anjing dua yang satu beagle yang satunya golden umurnya harus sama dengan lahirnya anak-anak saya nanti, punya rumah lantai kayu yang banyak jendela besarnya, punya suami arsitek atau dosen atau engineer yang tiap hari selalu keletihan bekerja tapi nyengir kuda kalau udah di rumah, suami yang selera musik yang sama, punya kebun sendiri di belakang buat nanam sayuran dan bunga-bunga, punya dapur kecil tapi alatnya lengkap dan harus menghadap ke taman/kebun belakang rumah, saya dan suami harus selalu punya waktu menanti senja sambil makan pisang goreng dan ngeteh bareng yang sedikit gulanya, punya anak cowo dan cewe yang lucu dan pintar-pintar, mengantar mereka sekolah dan dengan segala kegiatan les nya, nyanyi-nyanyi bodoh di rumah sama suami dan anak, setahun tiga kali bisa bawa orangtua liburan ke rumah, pakai daster ke pasar belanja sambil menyapa semua orang, bisa punya ruang untuk ngeblog, membaca, atau buat nulis puisi dan novel yang menghadap ke taman, dll.

Walaupun keduanya khayalan banget, tapi dua impian itu selalu terngiang. Di hari-hari tertentu, tendensi hati bisa ke kanan, dan di hari-hari lain, ia ke kiri. Hahhhh... sebelum dua puluh lima tahun ya, sekiranya saya bisa segera menciptakan sesuatu, bukan untuk semata-mata membahagiakan keluarga, tetapi sebagai penebusan pada diri saya sendiri untuk menemukan "diri" dan jangan bodoh lagi.

Tapi, akhirnya saya jadi sadar satu hal, bahwa pikiran akan selalu condong ke depan, atau ke belakang, mencoba memperbaiki masa lalu. Dan saat itu juga saya baru tersadar, bahwa sukses dan bahagia, sebenarnya bukan soal umur, pencapaian, target.. Namun, sukses dan bahagia sebenarnya ada di hari ini.

Happy December semuanya! Tinggal 24 hari lagi sebelum membuat revolusi tahun baru, hahahaha klasik.

Semangat siang semuanya


Jakarta,
6.12.2017

No comments:

Post a Comment