Pesan untuk Tasya di Dua Tahun Mendatang

Hi, Tas

Apa kabar?

Bagaimana hidupmu selama ini?
Aku mengerti, dua tahun lalu bukan hal mudah untuk dilalui.. rasanya kau mau mengakhiri semuanya saja bukan? Semuanya, dirimu tidak terkecuali.

Aku menulis ini supaya kau ingat bahwa akhirnya waktu itu kau punya cara yang tepat untuk melakukannya. Sebuah perpaduan dari kebetulan, waktu, rasa, dan perpisahan.

Kuceritakan lagi saat malam itu kau kehilangan dirimu dan tidak bisa menemukan siapapun, mungkin bisa saja kau cari teman-teman lain untuk sekadar mendengarkan tangismu. Tapi siapa yang peduli? Sudah dini hari saat itu.


Entah apa yang salah, sabtu malam waktu itu..

Maklum jenis apalagi yang belum ku jadikan sahabat.
Kupikir celakalah aku 2 jam yang lalu ada dua orang yang kukasihi tertimpa musibah.
Setelah satu harian tidak berkomunikasi dengannya, karna sempat ada waktu bisa kuhubungi pagi, Ia langsung memberi isyarat untuk tidak berlama-lama berbicara denganku. Meskipun aku berhasil berenang dan mengerjakan pekerjaanku, bertemu teman, menahan air mata saat bercerita, kupikir selesailah hari ini aku bisa tidur tanpa obat tidur lagi, bisa menahan diri untuk tidak mencarinya. 

Berkali-kali aku cek ponselku hanya untuk menanti kabar dari-nya, kukirim pesan, kuhapus kembali karna takut mengganggu Ia yang sedang sakit.

Beberapa pesan akhirnya sempat kukirimkan, kuurungkan banyak bicara, aku tahu, beberapa hari sebelumnya aku mengacau. Hatinya kusakiti, aku pun sakit dengan wajah dan nada arogannya itu. Ia mengingatkanku akan segalanya yang Ia inginkan tapi tidak pernah kumengerti, betapa harapan-harapan sederhanaku bertabrakan dengan logikanya. Besar kemungkinan sakitnya karenaku, maka sudah pasti lumayan melelahkan jenis sakit karena orang lain, seperti yang kualami saat itu.

Beberapa menit baru sampai kosan setelah mencoba produktif pergi keluar, adik telpon memberi kabar bahwa Bapak masuk ICU lagi, di rumah sakit dimana fitri bekerja, mau minta bantuannya tapi Ia tidak respon. Lalu, tidak ada ruangan dan dokter jantung yang siaga, bergetar badanku, nyeri sekujur tubuh, muntah, takut Bapak pergi dan aku tidak berada disana. Mereka pindah ke rumah sakit lain, adik minta isi saldo gopay. Pakai taksi online rupanya mereka sedari tadi, lalu pindah ke rumah sakit lain, RS Advent. Kubayangkan betapa repot dan paniknya situasi itu, berkali-kali dirasakan oleh adik dan Ibuku.

Sembari menunggu, makin nyeri semua badanku, mual, menangis, takut, membayangkan kedua orang yang kusayangi sedang menderita. Dia belum juga ada kabar, kekawatiran ini berujung pada panik yang luar biasa sampai aku tidak bisa merasakan diriku sendiri.

Kuhabiskan lebih dari satu jam menangis, menyesal, marah, minta ampun, minta penyiksaan langsung saja dari Tuhan untukku, jangan mereka.

Dia belum juga ada kabar..

Pikiranku cepat mencari temannya, hanya si satu itu yang kudapat.
Lumayan lama tidak dibalas, disini sudah jam 1 pagi, disana baru jam 8 malam.
temannya membalas;
Dia lagi kumpul sama teman-temannya pergi ke tempat hiburan, paketnya habis belum isi.

Sudah, sudah, itu saja.

Setan dalam diriku kembali mengingatkan, hal-hal sentimental yang kumaksud. Betapa kita tidak pernah tahu keadaan apapun bisa terjadi meskipun dalam ruang dan waktu yang berbeda, aku yang sedang kalut pada akhirnya menunggu orang yang percuma, aku yakin betul ini bukan sebuah kesalah pahaman, tidak ada yang perlu dibela lagi karna memang tidak ada sikap yang tumbuh bahwa komunikasi dan transparansi adalah hal yang wajar untuk menghargai satu sama lain, hari itu aku selalu datang mencari tahu namun diabaikan. 

Maka jadilah seperti ini, tidak ada yang bisa menjamin keadaan selalu baik-baik saja, aman sentosa seolah ada perwakilan malaikat yang bisa menyambungkan komunikasi yang terputus seperti ini. Toh, aku dan dia sama-sama manusia yang harus berusaha, apabila malas dan acuh maka habislah semua. Bukan manusia kaya raya yang bisa langsung membeli sebuah kemudahan untuk mencegah hal-hal seperti ini terjadi.

Aku menunggu dan menangis untuk orang yang tidak memberi kabar apa-apa hari ini padahal bisa saja sebelum pergi Ia menyampaikan kalau hari ini susah dihubungi karena paketnya habis, berniat ingin pergi bersama teman-teman, atau minta tolong pada orang lain untuk memberi kabar itu semua lebih awal. Sehingga aku hanya perlu mengkhawatirkan Bapakku yang sakit dan tidak mengharapkan Dia untuk hadir menemani kebingungan dan kesedihanku saat itu. Cukup menghemat energi seharusnya.

Yang kupikir dia masih dalam kesakitan secara fisik, dan betapa menyesalnya aku Ia sampai ikut sakit seperti itu. Aku meminta kepada Tuhan untuk aku saja yang menderita jangan Bapak dan Dia.

Tapi nyatanya, dia yang bilang sebelumnya hidup sosialnya pun kacau karna cuaca dan tugas, terlebih bermasalah denganku dan tidak memberikan penegasan apa-apa bagaimana ujungnya, karena Ia terlihat lelah menghadapi urusan di luar kehidupannya di sana;

Yang tertawa menyudutkanku dan selalu bilang tidak bisa
Yang mengatakan tidak ada hal besar yang kulakukan untuk hidupnya
Yang mengatakan aku hanya terus menuntut hal yang sama
Yang bilang selalu sudah mencoba dan minta dihargai
Yang minta bukti nyata hal praktis apa yang bisa dilakukannya untuk memuaskan harapanku
Yang dengan arogan menghardikku dengan hanya menambah rasa sakit dalam tubuhku menjadi-jadi

Tapi nyatanya, Ia bisa keluar hari itu, menikmati waktu bersama dengan teman-temannya, tanpa berusaha memberi tanda apapun, yang lagi-lagi tidak ada disaat aku hancur dan meratapi segalanya karna kupikir celaka lah aku hari ini, musibah datang bersamaan.

Tidak
Tidak
Tidak 

Tidak ada terpikirkan di dalam dirinya sendiri bahwa hal sederhana itu harus dilakukannya. Dia tidak merasa harus memberi tahu apapun, semarah itu pun dia kiranya bisa mengantisipasi pemikiran-pemikiran buruk dengan pendahuluan yang baik. 

Adakah niat untuk membahas ini kembali? Tidak kuat aku mendengar kata-kata; tidak bisa, lupa, maaf, aku tidak tahu caranya, tidak tahu kalau itu masalah, dan sebagainya. 

Jadilah aku, 
Menelan setengah tablet aprazolam lagi, jadi sisa 1,5 tablet lagi. 
Kalau aku tidak terjatuh tidur juga sehabis ini, kutelan semuanya. Semuanya. 
Maafkan aku Tuhan, aku menyerah, biar kusiksa saja diriku sekalian sebagai bentuk kenaif-an-ku. 
Tapi kumohon Tuhan, sembuhkan Bapakku.


*** 


Tasya, itulah saat itu yang terjadi. Aku yakin betul mungkin dengan dimensi yang sekarang berbeda dengan saat itu, kau tetap merasa salah dan menyesal itu semua bisa menimpamu, tapi kau sudah mencoba jadi yang terbaik untuk semua orang, untuk semua keadaan terburuk sekalipun, kau sudah berusaha. Jangan keliru, aku tetap menyayangi dirimu saat itu bukan menjerumuskanmu untuk memperdulikan kondisi orang lain dulu baru menolongmu, tidak sama sekali Tas.

Aku menyayangimu.

Dua tahun sudah berlalu, aku berharap sekali hidupmu jauh lebih baik dari ini. Apabila kau sudah benar-benar tidak dengannya dan ada orang baru yang datang di hidupmu, maka aku mohon tetaplah mengasihi orang itu dengan menjadi dirimu sendiri, kiranya dia yang baru itu mampu membimbingmu bersama meski ada kalanya kau masih saja seperti orang yang tidak punya tujuan dan mimpi, tetaplah menjadi dirimu karena tidak harus sama level hidupmu dengannya. Semoga Ia bisa terus melibatkanmu dalam mimpi-mimpi besarnya, kiranya Ia bisa menjadi sosok yang membiarkanmu dengan tulus datang membimbingnya menjadi dirinya, lewat mengandalkannya di setiap langkah kalian bersama. Semoga dia tidak pernah menyerah untuk selalu terlibat berjalan dalam gelap bersamamu, bergandengan tangan meski hanya sebuah lilin yang Ia punya, atau dia sedang dalam keadaan tak baik sekalipun, asal saling, asal berdua.


Terimakasih sudah menjadi tidak putus asa saat itu.
Something tells me will be alright


ALB
Jakarta,
22/09/2019

No comments:

Post a Comment