Di balik Rahasia

Aku tak pernah menyangka sampai di sini, yakni di saat aku bertanya, apakah aku layak diperjuangkan karna rasa? Apakah kau lah manusia yang pantas untuk kuperjuangkan? Aku pesimis. Mungkin memang ada saja di luar sana jauh lebih baik dan lebih pantas untuk menunggumu dibanding aku? Hidupku memang sedang repot-repotnya, ingin sekali menyudahi rasa yang kuputuskan untuk kupelihara sampai sejauh ini. Yang dengan amat seringnya kau siram di tiap malam, sampai malamku tak sekedar perkara menahan dingin melulu.

Sesungguhnya, aku ingin benar padamu. Kupikir kita akan bisa lama bersama dan memang ditakdirkan berdua. Kau pernah bilang padaku, kau ingin serius denganku. Walaupun ambang batas jelas mengancam kita, salah satu alasan yang cukup jelas: karena kita tidak seiman. Hahaha, maaf aku tidak bisa tidak tertawa bahagia. Begitu banyak pasangan seiman yang dengan gegap gempita menyatakan keseriusannya karena "seiman" dapat menjadi bahan bakar yang utama (mungkin), berbeda dengan kau yang mengatakannya dalam keadaan satu kaki cidera dan tak berdaya. Entah pakai pertimbangan apa waktu itu kau mengatakannya. Alasan itu, seiman maksudku, memang seringkali dianggap penting. Bahkan olehku sendiri. Biarpun aku dan orang-orang yang menganggapnya penting belum tentu beriman.
Jika perbedaan agama adalah sosok seseorang yang asing, maka aku tidak bisa menyalahkan siapapun untuk berakhirnya cerita yang kuharapkan bertahan lama atau bahkan tak akan berakhir. Bukan. Aku tidak bisa menyalahkan ideologi-ideologi yang memang ada sebelum aku dilahirkan ke dunia. Orang hanya mau tahu kita berbeda bukan seberapa besar ada hati untuk ingin menyatukannya.
Entah, rasanya terlalu panjang. Ketika ketakutanku kisah ini akan berakhir, aku bahkan tidak tahu harus merasa bagaimana. Di sisi lain ada kehidupan yang benar-benar baru tidak hanya untukmu saja, tapi juga buatku beradaptasi dengan perbedaan waktu, mengatur emosi, mengatur hasrat, bahkan rasa rindu. Nyatanya kita sama-sama gagal meski baru satu bulan ini berjalan, aku pun merasa kita tidak saling bersinergi untuk mengimbangi keadaan seperti ini. Perhatianmu habis disana seakan kau tidak bisa mewarnainya dengan kisah kita di dalamnya, sementara aku merasa menanti-nanti ketidakpastian dan seakan memburumu setiap hari hanya demi sebuah perhatian tulus. Lalu apa? Aku jadi mencintaimu terlalu arogan. Maafkan, aku hanya takut kehilangan.
Aku bingung apakah harus marah, atau bagaimana. Lalu kita memperjelas semuanya. Bahwa kita sama-sama lemah dan tak bisa saling menguatkan untuk saat ini, dalam diri kita masing-masing muncul keraguan tak terelakkan. Aku mengerti. Saat kau berikan pernyataan itu tak ada lagi satupun pertanyaanku, sungguh aku mengerti. Aku tak bisa memaksakan apa-apa, habislah aku bila egois memaksamu untuk menjawab segala pertanyaan dan hasratku yang semenjak di kehidupan barumu ini kau lebih sering mengatakan tidak bisa, maaf, lupa dan segalanya. Ini menunjukkan memang kau hanya siap membenahi dirimu saja dan menggeser hal-hal sentimental tentang kisah kita. Kau tidak siap, lalu kubayangkan 5, 10, 15 tahun ke depan apakah kau akan selalu menjadi orang yang hanya memikirkan tentang dirimu saja? Baik dalam keadaan suka, duka, untung maupun malang.
Lalu akankah kita berakhir, tapi aku tak bisa membencimu. Tak punya cukup alasan. Mungkin, sesungguhnya aku melihatmu seperti kebebasan diriku atau gambaran diri yang tak ada padaku. Aku yang ingin berkelana sendiri, aku yang mau memahami kekurangan orang lain dengan menerima apa adanya tanpa banyak menuntut, aku yang bahkan hanya tahu mencari senang bukan ketenangan seperti yang kau lakukan.
Tapi karna ini sudut pandangku, aku ingin membela diri. Setidaknya aku jujur. Aku tak menyangkal apapun, setidaknya akui saja bahwa dari awal aku lah manusia yang mencari kejelasan bagaimana kita memulai, lalu kini adalah hal yang wajar aku menghadapimu untuk mencari jawaban kelanjutan atau akhir dari semuanya. Aku tidak membiarkan semuanya mengambang tanpa kepastian. Aku butuh diyakinkan.
Lalu ada momen ketika aku menyesal. Muncul banyak seandainya dalam kepalaku. Seandainya ini, seandainya itu. Mungkin kita masih baik-baik saja, menyusuri cerita demi cerita dan petualangan demi petualangan. Kau pernah begitu manis. Aku masih ingat bagaimana kau datang menjemputku malam itu, dengan kepolosanmu menghampiri manusia yang sudah berulangkali kenal dengan lelaki dan tahu betul brengseknya laki-laki seperti apa. Dosaku pula terjerumus kembali dalam interaksi kepada yang lain sebagai pelarian, hanya karna harapan yang kupelihara tak pernah bisa kudapatkan darimu. Aku yang selalu takut merepotkanmu, merasa tidak selevel denganmu, merasa tidak pernah seimbang dalam banyak hal, dan yang terakhir merasa banyak sekali perbedaan diantara kita bukan perihal agama saja.

Lalu, aku ingat bagaimana kau menemaniku mencari sunrise di bukit bintang, kita selalu kehujanan saat bersama bahkan subuh-subuh seperti waktu itu. Aku masih ingat betul caramu yang tidak menyambut kepalaku saat tertidur di motor, bagaimana bisa hanya kau satu-satunya lelaki yang kukenal tidak membiarkan seseorang tertidur di pundaknya di saat banyak laki-laki memasang badannya untuk bisa disandari. Oh, masih terekam persis dengan mudahnya kau bilang mau pergi ke tangkuban perahu dengan seorang perempuan yang dimana saat itu rasanya mau menganggapmu sebagai teman saja. Lalu bagaimana kita selalu menertawakan kesusahan kita, pasangan yang sama-sama tidak punya uang banyak untuk bisa mencoba banyak tempat, atau sebenarnya aku yang selalu takut dengan uang yang kupunya. Jadilah 3 tahun bersamamu tidak membuat kita mengunjungi banyak tempat di Indonesia ini, aku terlalu banyak takutnya.

Ah, maafkan, aku memang selalu membingkai kenangan.
Kau adalah satu-satunya manusia pintar dan paling berkomitmen yang pernah kukenal,  bahkan tidak kutemukan di sosok ayahku. Perihal soal tujuan hidup kau lah yang mengajarkan aku untuk konsisten memikirkan apa yang mau dicapai di hidup ini. Mungkin teman-temanmu bingung bagaimana mungkin kau suka padaku, perempuan yang cuma banyak bersosialisasi, ketawa bercanda sana sini, membaca buku saja pun malasnya minta ampun.
Dan itulah awal aku mempertanyakan semuanya. Mana mungkin kau benar-benar menginginkanku di hidupmu? Aku tidak pintar. Setiap kau menceritakan kehidupanmu di sana membuatku merasa harus selevel dengan hidupmu, bagaimana lingkunganmu sekarang adalah kumpulan orang-orang yang visioner sementara aku tidak. Dan itulah kesalahan besar yang kulakukan: berupaya menjadi yang terbaik hingga lupa menjadi diriku sendiri yang menyenangkan. Aku jarang bisa tertawa lepas di depanmu akhir-akhir ini, jarang bisa melakukan hal-hal bodoh dan menertawai diri sendiri, tidak bebas bercerita hingga terbahak atau menangis.
Lantas mengapa kita pernah memutuskan untuk bersama? Bahkan kita tak pernah duduk berdua dengan secangkir teh, kita tak pernah menghabiskan malam dengan mengobrol atau berdiskusi. Sekali dua kali kita pernah bertukar pendapat, tentang gunung dan tebing, tentang laut, tentang hidup orang lain, tapi kita tak pernah benar-benar merasa asyik bercengkrama selera yang sama. Kita tak pernah memaknai Tuhan padahal di KTP kita berbeda, seharusnya ada banyak hal yang bisa didiskusikan sebelum kita memutuskan untuk berdua. Aneh, bukan?
Namun, aku berterima kasih padamu. Setidaknya, upayaku untuk menjadi yang terbaik memang memacu diriku untuk benar-benar meningkatkan kualitas diri. Sadar aku tak sepintar orang-orang di lingkunganmu, aku membuktikan kualitas hanya dengan bersosialisasi, membantu kuliah adikku, mengajakmu makan mencoba ini itu, pergi ke berbagai tempat, mengajakmu berbohong setiap orangtuaku menghubungiku, mengajakmu beramal, berkenalan dengan banyak orang yang dimana kau sampai kewalahan sendiri dengan gaya bertemanku, dan sebagainya. Ah, tapi mungkin memang bukan itu yang kau butuhkan. Kau jadinya hanya mencari cinta sebatas permukaan. Senang-senang.
Bahkan sampai ketika aku mengantarkanmu ke bandara tanpa banyak bicara, aku masih memelihara harapan dan masih yakin Tuhan tidak mungkin menghentikan usaha kita untuk berdua. Aku masih ingat kecupanmu di pipiku sebelum masuk untuk boarding (padahal aku sudah yakin sekali kau pasti tak akan memelukku karena takut PDA di depan teman-temanmu), aku yakin betul itulah terakhir aku bisa berperan banyak dalam keseharianmu, selebihnya kepahitan-kepahitan seperti sekarang yang harus kuterima. Aku masih ingat kau yang meminta difoto bersamaku di hadapan teman-temanmu. Dan kemudian, dan kemudian. Betapa sebenarnya tidak setulus dan seutuh itu hatiku melepaskanmu hari itu.
Tapi toh, tak ada gunanya memelihara harapan, bukan? Aku harus mematikannya. Karena kudapati kau sudah begitu jauh jatuh ke dalam hal-hal yang permukaan. Hal-hal permukaan yang justru tidak terjangkau olehku. Selamanya mungkin, kau menjadi rahasia termanisku.
Mungkin nanti, lima atau sepuluh tahun lagi, kau ingat pernah mau mengamini rumah yang besar dengan ada halaman luas cukup untuk 5 ekor anjing untuk menemani hari-hari bersama.

am I wrong for wanting us to make it?
could it be that's is a lesson?

that I never had to learn?

I looked at it like a blessing and now it's just a curse.


ALB
Jakarta,
22/09.2019 



No comments:

Post a Comment