Langit Tidak Pernah Bilang bahwa Ia adalah Langit

Saya tidak lagi mau meminjamkan ruang tamu saya untuk siapa pun yang singgah. Tidak ada lagi sapaan ramah yang mempersilakan siapapun masuk dengan derit kursi yang bergeser seakan saya menawarkan tempat duduk seperti biasanya, atau menawarkan gelas-gelas kopi dan teh yang telah diseduh berulang-ulang. Layar televisi yang terus menyala sedangkan berita hanyalah itu-itu saja, semacam udara kosong dengan alur yang sudah kita mengerti. Setiap helaan nafas adalah kemerdekaan saya karena telah saya miliki seluruh oksigen untuk diri saya sendiri. Berdebat dengan ke-aku-an dan pemahaman yang bertumpuk-tumpuk. Saya yakin ada beribu diri saya di dunia ini yang juga mengulangi kebiasaan ini. Hanya aku dan diriku. Tidak ada yang membedakan.

Saya bisa jamin sesuatu..
Kamu tidak akan mampu membayar sebuah kecukupan dan bergegas berkemas untuk pergi. Tidak ada tempat lain selain di sini. Kesederhanaan ini membawa saya pada sebuah arti hidup bahwa hakikat manusia adalah berusaha. Usaha saya masih terus berjalan, kadang mungkin sesat arah, kadang mungkin mulai mau menyerah, tapi itulah hidup layaknya sabda Einstein

"Life is like riding a bicycle. To keep your balance, you must keep moving.” 

Namun, kelelahanku sudah menguap dan hanya pertahanan yang tersisa. Tidak lagi mendamba sebuah titik temu. Barangkali inilah harga yang harus dibayar untuk segala kebebasan yang enggan untuk diikat. Selalu berlarian dan tidak ingin menetap. Melakukan semuanya dengan pengulangannya yang lembut, senyum yang tenang, dan nafas yang teratur. Apakah ada kebebasan yang betul-betul bebas tanpa ada belenggu yang mengikutinya?

Akhirnya saya pun harus bersabda juga soal ini..

Manusia mana yang berhak untuk menimbang besar atau kecilnya iman manusia lainnya? Atau teriak lantang menilai iman manusia lain baik atau buruk? Keyakinannya benar atau tidak benar. Siapa? Pertemukan saya dengan dia!

Mungkin manusia itu sudah beberapa kali pulang pergi dari Surga ke Bumi, Nyawanya ada 9, punya kekuatan menghilang, atau barangkali dia adalah wakil dari Sang Pencipta.

Saya muak dengan segala penghakiman, betapa manusia mudah sekali berbicara hal yang dianggapnya benar dengan tanpa menginjak pemahaman orang lain, atau setidaknya jangan ada ucapan tidak akan ada selamat kalau bukan agamanya yang ini karna agama lain sesat, tidak ada keselamatan. Setahu saya, Tuhan itu Mahabaik. Lupa ada poin "berusaha"? Yang menjamin keselamatan saya tentunya yang menciptakan Saya, bukan orang-orang yang merasa bermartabat dalam ilmu agamanya namun sikapnya nihil. Mantan pembunuh sekalipun kalau setelah itu dirinya berbuat baik dan bermanfaat untuk sesama akan lebih punya nilai plus dibandingkan orang-orang yang menggurui orang lain namun tidak melakukan banyak hal yang bermanfaat untuk keluarga, lingkungan sekitar, terutama untuk dirinya dan Tuhannya.

Buat apa kalau cuma duduk sibuk dengan media sosial, mengkritik ini-itu tapi TIDAK MELAKUKAN APA-APA untuk sebuah perubahan yang baik. Parahnya lagi apabila lebih suka mengikuti perkembangan hidup orang lain atau menuntut sebuah perubahan namun pada akhirnya enggan memilih dirinya untuk menciptakan suatu perubahan.

Sialnya, banyak manusia yang sok tahu di negri ini. Ada beberapa tipe manusia di Indonesia ini:
  1. Orang yang merasa keyakinannya benar, menyebarkan kebenaran dengan pemahamannya lalu menginjak keyakinan orang lain. Seolah-olah hanya pada kaumnya lah ada keselamatan, orang seperti ini pada akhirnya bergaul dengan mengkotak-kotakkan dirinya di antara orang lain. Menghakimi iman orang lain, menimbang seberapa besar atau kecilnya iman seseorang, segala yang di luar pemahamannya adalah tidak benar. Sekali lagi, hanya dirinya lah yang dianggapnya benar.
  2. Orang yang merasa keyakinannya benar, segala hidupnya untuk agama. Seluruhnya! Namun lupa hakikat dalam beragama, main tangan pada suami/istrinya, menjadi orang yang tamak, tidak pernah menolong orang lain, tidak pernah bersedekah, suka sekali membandingkan menyalahkan sikap orang lain karna tidak sesuai dengan prinsip yang ia anut. Tipe seperti ini cenderung menjadi guru/hakim di tengah masyarakat, jangan kau sangsikan ilmu agamanya. Dia lah yang paling jago dalam paham-paham agamanya.
  3. Orang baik yang diam. Masih banyak orang baik di negri ini, namun banyak yang memilih diam. Tidak bersuara, seakan dirinya hanyalah numpang hidup saja, main aman di negri ini namun tetap menuntut perubahan dengan tidak mau memulai perubahan tersebut.
  4. Mungkin masih banyak tipe lainnya.. memikirkan 3 saja nafas saya sudah berat.
" Langit tidak pernah bilang kan bahwa Ia langit? "
Maka dari itu tolong..
Berhentilah menuntut perubahan namun menyuruh orang lain yang melakukan perubahan itu! Why not asking yourself before you judging someone's life, someone's faith. Nobody does, except our GOD who's create this earth, a testing place not a resting place.

Kesedihan saya akan selalu begini, betapa saya terkejut iman saya ditimbang, sikap saya dikait-kaitkan dengan masalah yang ada. Saya dihakimi secara keseluruhan, yang tahu kekuatan iman saya adalah saya dan Tuhan saya saja. Bukan kamu, yang menilai saya secara cepat dan berasumsi bahwa pemikiran saya sesat. Orang tua saya sekalipun tak berhak, apalagi kamu? Keyakinan yang saya anut adalah kepercayaan buat saya kepada Sang Pencipta bahwa saya sedang berusaha menuju kesana, dengan belajar dan belajar setiap harinya, berusaha melakukan segalanya sesuai kehendak-Nya. Hidup saya ada di tangan Tuhan, bukan di tangan kamu. Bukan lewat aturan kamu hidup saya menjadi benar. Bukan.

Banyak orang membabi buta terhadap keyakinannya, lupa bahwa Tuhan tak perlu diingatkan, Tuhan tak perlu dijanjikan apa-apa, Tuhan tidak perlu dibela, Tuhan tidak suka dibanding-bandingkan (justru dengan mulai membandingkan, kita mulai egois bukan?)
Tidak ada yang bisa menjamin apa yang kita lakukan benar selain Ia yang Maha Melihat, selama kita usaha, usah, usaha menjadi yang terbaik sesuai kehendak-Nya pasti keselamatan itu ada, apapun keyakinanmu, apapun agamamu, apapun yang kamu anut. JADILAH BERMANFAAT!

Demikianlah ageman saya, punyamu mungkin lain lagi saya tidak peduli namun pasti saya hormati.

Saya, yang hidup beragamanya kamu anggap kurang..

Jakarta,
14.5.2017

No comments:

Post a Comment