Intuisi

Aku berhasil melewati tengah malam dalam tidur yang cukup nyenyak tanpa berpikir yang bukan-bukan, meski seharian sebelumnya cukup menguras pikiranku seperti mau gila rasanya mengingat tentang banyak hal yang bahkan tidak pernah kuizinkan untuk masuk ke dalam pikiranku, tapi terus saja lewat tanpa permisi.

Semacam ritual yang banyak orang lakukan juga, entah di kamar mandi, duduk di taman, di pinggir halte, atau pun saat mau tidur ketika menatap langit-langit kamar. Andai manusia punya kemampuan untuk cepat membuang pikiran yang tidak penting saat itu untuk dipikirkan, aku mungkin tidak sebodoh ini, mungkin sudah jadi manusia yang punya keahlian 50 bahasa, atau manusia yang mampu berhitung dalam waktu detik, atau juga seorang pelukis yang mampu membuat lukisan yang sangat bagus dan semua orang memujanya.

Nyatanya aku hanya manusia biasa yang sibuk dengan kekhawatiran hidupnya besok akan seperti apa, besok siapa yang harus dibantu, besok siapa yang harus dibuat senang, dan besok besok besok.

Aku terus mengingat kepahitan itu, rasanya mau kulepas saja jiwa yang menagih terus ketenangan yang bukan lahir dari diriku sendiri. Bukan aku tidak berusaha untuk menciptakan ketenangan untuk diriku sendiri, aku sudah cukup lelah berharap lewat orang lain, tapi Ia tidak sejalan terus dengan prinsipku sendiri. Tidak ada lelahnya, Ia terus menyalahkanku yang hanya pasif kali ini tidak seperti biasanya keras kepala mencari apa yang diinginkannya. Ia tidak terima aku yang ikut menyerah, lelah aku mengingatkannya bahwa memang sudah tidak ada jalan apapun lagi untuk membangun mimpi yang sudah hancur lebur ini. Ia menyebutku penipu mahir yang kerap kali mengelabuinya dari harapan-harapan yang tidak pernah kuizinkan masuk lagi. Sungguh, aku tidak mau berharap apapun lagi pun untuk satu kata maaf sekalipun. Aku mau melupakan segalanya.

Setelah lewat tengah malamnya Ia pun tidak terima dan terus membuatku resah hari ini, membuatku yang sedang tidak dalam kondisi baik ini memikirkan sebuah tanggung jawab yang dimana harusnya bukan milikku lagi. Aku tidak bisa mengucapkannya tanpa berharap sesuatu dari niat itu, aku yang berulang kali datang berusaha membasuh dalam kedukaan namun tetap meronta kekeringan dan tidak ada satupun yang peduli untuk membasuhnya kembali.

Kecil, menyerahlah! Aku pun sedih dengan kondisi ini tapi apa yang bisa kubuat lagi? Aku tidak punya kekuatan apapun untuk mengabulkan keinginan sederhanamu itu. Setelahnya kau pasti akan terus menggangguku membentuk harapan-harapan palsu yang kau sendiri pun paham kita tidak akan pernah bisa sampai di sana. Tidak akan pernah! Mengertilah, menyerahlah. Dunia tidak mengerti harapan apa yang kita pelihara selama ini, kekurangannya tidak ada satupun yang mau menerima dan memperbaikinya.

Aku paham, tapi
Simpanlah selamat ulang tahun itu, tidak harus tiba hari ini, tidak harus tepat waktunya.
Dia sudah tidak terjaga menanti kata-kata indah yang biasa kita lantunkan
Dia sudah tidak menunggu nada-nada puisi yang kita rangkai
Dia sudah tidak merindukan suara tawa pun tangis yang biasa terdengar
Kecil, maafkan aku ya.
Maaf aku terlalu keras padamu,
Bersabarlah, segala niat baikmu akan bermuara kepada seseorang lagi yang sepenuhnya menantimu dalam situasi apapun.
Sampai tiba saatnya itu, maukah kau tetap berjalan bersamaku?
Aku tidak bisa menggenggam tangan siapapun lagi kecuali dirimu seorang

Kecil!

Kita sedang di kereta sekarang menuju Bandung, sabar ya sebentar lagi sampai.

Kita napak tilas semuanya!

Segala kesenangan saat kita dulu sebebas itu untuk saling membangun pribadi satu-sama lain
Aku masih ingat ambisimu yang membara untuk mau tau banyak hal!
Pun kita akan ke tempat itu nanti, tempat dimana kau pertama kali bertemu dengannya
Kita tinggalkan segalanya nanti di tempat itu ya,
termasuk ucapan selamat ulangtahun yang tertahan malam ini
Biarkan saja di sana, tidak perlu kita bawa pulang lagi
Nanti kita jalan-jalan dan makan enak ya!
Kita hadapi memori-memori itu, jangan khawatir. Ada aku di sini...



Argo Parahyangan,
20.03.2020

No comments:

Post a Comment