23

Selamat ulang tahun, selamat ulang tahun Tasya~

Derai-derai lagu dinyanyikan oleh kawan-kawan di seberang pulau ini. Tambah satu tahun lagi umur, yang artinya Tuhan berikan kesempatan lagi. Saya berulangtahun hari ini, berbeda sekali rasanya. Dekat dari rumah, namun jauh dari teman-teman seperjuangan. Meskipun ada keluarga, sepi sekali rasanya. Saya sadar, ada masa di mana orang-orang rumah jauh dari saya yang berulangtahun sementara saya merdeka merayakan bersama teman-teman jauh di sana, dan kini saya merayakan bersama keluarga dengan cara sederhana namun saya jauh dari teman-teman. Tapi, apalah artinya perayaan toh yang penting saya masih bernafas di pagi tadi.

Betapa saya berharap hari ini, iya berharap.

Tengah malam, karena Ibu saya sudah tertidur maka hanya Bapak dan adik saya yang masuk mengucapkan selamat ulangtahun. Tak ada kejutan apa-apa, hanya bersalaman sambil berpelukan lalu mereka kembali ke luar kamar untuk segera tidur. Saya sedikit lelah namun akhirnya terjaga sampai setengah jam ke depan. Saya merenung, membayangkan hari ulangtahun yang telah lewat di mana teman-teman masih saja terlalu kreatif memberikan kejutan-kejutan kecil yang buat saya tidak akan pernah bisa saya balas sama kebaikan yang mereka berikan.

Tapi, saya sendiri sekarang. Mereka tidak ada,

Lelah saya menerka kemudian tertidur juga, sudahlah saya sudah terlalu tua untuk kejutan-kejutan seperti itu, pikir saya.

Lalu hari ini berjalan seperti biasa saja, minggu baik satu ini saya lewati dengan perasaan biasa-biasa saja. Pesan-pesan dari teman-teman yang jauh mulai berdatangan, saya mulai senyum-senyum sendiri membayangkan mereka berisik mengucapkan kata-kata itu di hadapan saya tapi kali ini sebatas tulisan saja.

Dari semuanya, beberapa memahami kondisi sulit saya. Betapa saya menjadi manusia yang terlalu merasa kemudian mengeluh, masih saja saya kurang bersyukur atas apa yang saya dapat. Menghadapi sebuah kesulitan merusak semua anugerah, saya terlalu perasa.

Lalu ada lagi satu teman yang pesannya seperti BOM WAKTU, betapa Ia mengingatkan saya untuk tidak lupa pada mimpi-mimpi yang mungkin saya sentuh saja tidak. Pekerjaan saat ini bersebrangan dengan ambisi itu, bertatapan pun tidak. Saya di dunia yang berbeda sekarang, di dunia yang saya kurang bisa pahami ritmenya. Ibarat mau bernyanyi saya tahu lirik, tetapi buta nada. Teman saya itu mengingatkan untuk tetap bersabar bahwa nanti akan ada saatnya saya menginjak dunia itu lagi, meski bukan sekarang, meski belum tentu besok atau sebulan lagi, tapi pasti ada.

Ia menumbuhkan harapan itu lagi, bagaimana bisa orang lain lebih percaya diri saya bisa ketimbang diri saya sendiri. Saya seperti manusia yang trauma, bahkan untuk sekedar mengingat bahwa saya pernah punya keinginan untuk mencapainya.

Selama ini saya menilai bahwa diri saya hanya seorang PEMIMPI bukan seorang yang MEREALISASIKAN MIMPI. Saya kalah dengan keadaan, saya kalah dengan suasana, saya kalah oleh waktu, saya kalah di ruang yang bisa saya kontrol sendiri. Kau pasti tahu apa rasanya, mau tertawa lucu rasanya betapa hari-hari terlewat tanpa pencapaian, konyol tapi pedih juga.

Lalu saya sudah terlalu tua rasanya untuk mengambil tindakan-tindakan bodoh seperti remaja dulu, melawan apa yang menurut saya kurang benar. Saya sekarang di sebuah sistem, mau tidak mau, suka tidak suka saya harus mengalir ikut arus. Dunia kerja membingungkan, kawan, Entah ini hanya racauanku saja atau kalian sudah lebih dulu mungkin melalui hal yang sama.

Terkadang mengosongkan gelas untuk menampung hal baru, namun rasanya seperti retak lalu mau pecah sangkin banyaknya hal yang kurang bisa dipahami atau diterima. Sekali lagi, saya di lingkaran sistem sekarang bukan alih-alih negara demokrasi bisa sebebas mungkin menyatakan pendapat berharap dapat direalisasikan. Kadang hanya lampu jalan yang menderang bisa menjadi hiburan untuk sebuah maksud yang tak pernah diterima.

Hahhhh...

Harapan di umur 23 tahun,sampai bingung saya mana yang utama, mungkin diri saya di dalam tertawa kecil karena betapa bodohnya saya untuk tidak peka dan memahami apa yang saya inginkan. Hanya saya, tak ada yang lain. Maka, saya sampaikanlah ini:

Halo Tasya Kecil,

Sudah di angka 23, mari akui kita belum menjadi apa-apa. Lalu marilah kita tertawa bersama, bahwa masih banyak anak tangga yang belum tercapai. Banyak checkpoint yang belum kita lewati.

Ini tanggungjawab kita berdua, bukan?

Maafkan apabila saya masih saja egois tak mendengarkan apa kata-kata kecilmu, saya terlalu menjadi keras kepala untuk tidak memberi ruang bagimu.
Tadi pagi kita masih sama-sama bernafas menyambut pagi, hingga dijemput malam hari ini. Tuhan yang selalu kalah dengan riuhnya penat kita, umpatan-umpatan yang harusnya tak termaafkan.. tapi Tuhan masih memberikan kesempatan yang sama untuk kita berdua menjadi seperti yang Ia inginkan. Betapa Ia meletakkan kepercayaannya yang besar atas kita berdua..
Tasya kecil, mari sama-sama jaga, mari jadi karang yang melawan segala ketidakpastian, peluh yang bisa kita singkirkan dengan semangat-semangat baru kita ini. Harapan kecil kita ini, kelak akan menjadi lebih hebat dari yang bisa kita bayangkan.

Aku menyayangimu, sangat amat.



Bandarlampung,
11.12.2016

No comments:

Post a Comment