A
|
da gejolak yang teramat dalam di pikiran ini. Pertanyaan
demi pertanyaan mulai muncul dan ingin sekali rasanya diutarakan, namun aku
tahu sudah jelas jawabannya. Pikiranku tiba-tiba memunculkan jawaban-jawaban
atas pertanyaanku sendiri yang seperti tahu apa yang akan terjadi dan enggan
untuk menemuimu. Kau memanggilku dengan
istilah lain dan akhirnya aku mau menghampiri.
Tanganku dingin, nafasku tersengal sesak, namun kusembunyikan
karena aku tahu bukan saatnya mencampuradukkan apa yang aku rasakan dalam pertemuan
ini. Bagaimana bisa kujelaskan? Tatapan matamu memberikan kekuatan sementara
untukku bertahan sampai kau mulai untuk berbicara.
Kualihkan penglihatanku pada jalanan yang lengang, aku yang
tadinya sudah mulai bisa menatap mata orang saat berbicara kini tiba-tiba lemah
dan tidak mampu menatap mata yang mantap akan kata-kata yang akan diucapkannya.
Aku seperti orang kesakitan yang mendekap erat tubuhku sendiri dengan mulut
tertutup rapat dan rahang yang mengencang, aku ingin bilang aku tidak siap
mendengarnya, aku mau pulang saja. Namun mulutku tetap bungkam.
Kau pun terdiam, pandanganmu kosong ke depan. Mengapa
kata-kata justru hilang disaat seperti ini? Kemampuan kita untuk berkata-kata
hilang, kemampuanmu melucu pun hilang, kata-kata yang berputar di pikiranku pun
tak bisa terucap. Kebisuan menjadi hadiah atas kebersamaan singkat ini.
Pandangan kita yang sedari tadi mengelak mulai berani
bertumpu pada satu titik menemukan satu sama lain. Entah kapan tatapan seperti
ini akan terjalin lagi. Tak mungkin aku lupa caramu memandangiku hingga
mengajariku untuk menatap orang jika sedang berbicara empat mata. Aku ingin
sekali meraih tanganmu yang besar itu, namun entah mengapa mendadak enggan
untuk bersentuhan. Perlahan aku mulai tenang dan siap untuk mendengarkan.
Tiupan karbondioksida keluar dari mulutmu, dengan suara
parau kau mulai berbicara. “Keadaan sudah tidak memungkinkan, aku tidak bisa
melanjutkan semua ini. Kita stop sampai di sini.” Kamu terus berbicara mencari
kata-kata untuk mudah kuterima. Mulutku reflex ingin membuka, tapi hanya helaan nafas yang
dapat kukeluarkan. Aku susah mencerna kata-katamu yang terus saja keluar dan
memaksa untuk dipahami, sayang hanya samar-sama kudengar. Sejenak pikiranku
berputar kembali pada masa-masa bahagia di mana seperti tak ada hari esok jika
kita sedang bersama.
Aku masih ingat kau datang saat malam yang dingin itu
dengan senyum merekah di wajahmu. Aku tertawa kecil melihat tampangmu seperti
anak kecil yang bahagia jika keinginannya dipenuhi. Di teras kecil kau ajak aku
untuk duduk dan menatap dua bola mata di balik kacamata bingkai hitam itu.
Perasaanku campur aduk, hatiku mau meledak kegirangan merasakan keindahan yang
belum pernah aku temukan sebelumnya. Aku mengelap wajahmu yang basah diguyur
hujan, namun kau tidak tampak kedinginan dan senyummu itu masih saja terus
terukir menatap wajahku. Aku belum terbiasa menatap mata orang sedekat itu dan
malam itu kau berhasil membuatku salah tingkah. Tanganmu yang dingin justru
menarik tanganku untuk dihangatkan, aku tersenyum dan mengucap syukur kepada Tuhan dalam hati. Ternyata keinginanku
tidak terlalu tinggi, seseorang yang biasa saja telah datang kepadaku dan tak
perlu bermimpi lagi untuk mendapatkannya. Tidak ada kata lain, Aku bahagia.
Tidak bisa kubayangkan setelah ini akan jadi apa. Kenapa dua
manusia yang saling sayang harus kembali jalan sendiri-sendiri? Jika Tuhan
memang mau memberikan cobaan kepadaku, kenapa harus soal hati yang pada
akhirnya tidak memiliki kesempatan untuk disatukan? Kenapa Tuhan membiarkan
kita sempat memadu kasih jika pada akhirnya Dia membiarkan kita berpisah juga?
Ketakutanku memuncak, bukan karena takut akan sepi dan tidak bisa menanganinya,
tapi aku merasa keutuhanku tercermin pada orang yang duduk gelisah di sampingku
saat ini. Apa keinginanku ternyata terlalu tinggi? Apa ternyata orang yang biasa itu bukan dia
yang kusayang saat ini? Mengapa bisa salah? Aku meradang pada kenyataan.
“Aku sayang kamu, tapi aku tidak bisa.”
Air mataku tidak bisa tertahan lagi, mereka keluar dengan
bebasnya. Kenapa kamu tidak cukup pintar untuk menanganinya? Kenapa kamu
menyerah? Niatmu mana? Aku ingin bertanya tegas, namun tertahan susah untuk
disampaikan. Saat itu yang kuinginkan hanyalah kamu berhenti berbicara dan
menggenggam tanganku lagi. Aku butuh keheningan bersamamu, namun bukan
kekosongan. Sekali saja, karena aku yakin esok tak akan sama lagi.
Tiba-tiba ada suara kedamaian membisikkan telinga ini; “Ini
yang terbaik, demi kamu” Aku berlagak tegar dan tersenyum menghiburmu “Sudah, tak
apa mungkin ini yang terbaik” Ucapku
singkat. Kamu tak layak didera, kita tak layak disiksa. Aku mengusap bahumu,
kemampuanku untuk membela diri hilang seketika. Kepekaanmu saat itu juga hilang
untuk menenangkanku. Entah apa atau siapa penghalang yang tega membatasi kita
untuk saling masuk ke relung hati masing-masing dan memulihkan hati ini.
Sudahlah, aku tidak ingin bicara lagi meskipun pikiran ini terus mencari tempat
untuk menyalahkan.
Otot-ototku yang tegang mulai melemas, rahangku yang kaku
mulai bisa kembali pada posisinya lagi. Perlahan aku berdiri dan
membelakangimu. Mata ini terlalu lelah untuk berbalik menatapmu lagi. Langkah
kakiku terbentuk untuk pergi menjauhimu, entah kamu bisa merasakan atau
mendengarnya. Hatiku berteriak mengatakan “Aku selalu sayang kamu” Aku ingin
mengalir. Hatiku belum mau mati. Meski nanti aku tertidur tanpa lelap karna
lelah bermimpi, meski nanti sadarku kian tak ada, meski rasa ini tak lagi punya
tempat, meski aku sadar cinta ini tak mungkin jadi. Aku masih sama.
Langkahku lunglai dan terasa berat. Dengan sedikit gemetaran
aku pasang headset di telingaku rapat-rapat dan memulai memutar musik apapun
itu yang setidaknya bisa menghiburku. Dan lagu itu terputar pertama kali. Lagu
kesukaanku yang pernah kamu nyanyikan secara tidak sengaja meskipun kamu tak
hafal liriknya. Lagu yang tak mau aku dengar lagi sebelum kamu resmi jadi
milikku, supaya kita bisa menyanyikannya bersama. Absurd memang, tapi benda
mati pun tahu apa yang aku butuhkan.
It’s a beautiful night
We’re looking for something dumb to doo
Hey baby! I think I wanna marry you..
We’re looking for something dumb to doo
Hey baby! I think I wanna marry you..
Is it the look in your
eyes
Or is it this dancing juice?
Who cares baby, I think I wanna marry you..
Or is it this dancing juice?
Who cares baby, I think I wanna marry you..
Lega rasanya bisa merasakan keindahan lagu itu lagi. Aku
menatap ke atas dan tersenyum sambil menatap pelangi yang tercipta di langit
senja. Semesta seperti berusaha menghiburku dengan menggambarkan suasana hati
yang seharusnya kumiliki. Senyum itu tergambar jelas di benak ini. Seperti
senja yang selalu bisa memancarkan keindahan gradasi warna jingganya. Walaupun
terkadang bercampur dengan langit gelap, namun warnanya tetap tampak jelas
tergambar. Meski keindahannya abadi dalam waktu yang tak cukup lama di setiap
harinya, senja tetaplah indah seperti biasanya.
sincerely,
the imperfect rainbow..
:)
No comments:
Post a Comment