My First Cerpen


My Adelaide Sky

A
da gejolak yang teramat dalam di pikiran ini. Pertanyaan demi pertanyaan mulai muncul dan ingin sekali rasanya diutarakan, namun aku tahu sudah jelas jawabannya. Pikiranku tiba-tiba memunculkan jawaban-jawaban atas pertanyaanku sendiri yang seperti tahu apa yang akan terjadi dan enggan untuk menemuimu.  Kau memanggilku dengan istilah lain dan akhirnya aku mau menghampiri.

          Tanganku dingin, nafasku tersengal sesak, namun kusembunyikan karena aku tahu bukan saatnya mencampuradukkan apa yang aku rasakan dalam pertemuan ini. Bagaimana bisa kujelaskan? Tatapan matamu memberikan kekuatan sementara untukku bertahan sampai kau mulai untuk berbicara.

         Kualihkan penglihatanku pada jalanan yang lengang, aku yang tadinya sudah mulai bisa menatap mata orang saat berbicara kini tiba-tiba lemah dan tidak mampu menatap mata yang mantap akan kata-kata yang akan diucapkannya. Aku seperti orang kesakitan yang mendekap erat tubuhku sendiri dengan mulut tertutup rapat dan rahang yang mengencang, aku ingin bilang aku tidak siap mendengarnya, aku mau pulang saja. Namun mulutku tetap bungkam.

          Kau pun terdiam, pandanganmu kosong ke depan. Mengapa kata-kata justru hilang disaat seperti ini? Kemampuan kita untuk berkata-kata hilang, kemampuanmu melucu pun hilang, kata-kata yang berputar di pikiranku pun tak bisa terucap. Kebisuan menjadi hadiah atas kebersamaan singkat ini.

          Pandangan kita yang sedari tadi mengelak mulai berani bertumpu pada satu titik menemukan satu sama lain. Entah kapan tatapan seperti ini akan terjalin lagi. Tak mungkin aku lupa caramu memandangiku hingga mengajariku untuk menatap orang jika sedang berbicara empat mata. Aku ingin sekali meraih tanganmu yang besar itu, namun entah mengapa mendadak enggan untuk bersentuhan. Perlahan aku mulai tenang dan siap untuk mendengarkan.

          Tiupan karbondioksida keluar dari mulutmu, dengan suara parau kau mulai berbicara. “Keadaan sudah tidak memungkinkan, aku tidak bisa melanjutkan semua ini. Kita stop sampai di sini.” Kamu terus berbicara mencari kata-kata untuk mudah kuterima. Mulutku reflex ingin membuka, tapi hanya helaan nafas yang dapat kukeluarkan. Aku susah mencerna kata-katamu yang terus saja keluar dan memaksa untuk dipahami, sayang hanya samar-sama kudengar. Sejenak pikiranku berputar kembali pada masa-masa bahagia di mana seperti tak ada hari esok jika kita sedang bersama. 

          Aku masih ingat kau datang saat malam yang dingin itu dengan senyum merekah di wajahmu. Aku tertawa kecil melihat tampangmu seperti anak kecil yang bahagia jika keinginannya dipenuhi. Di teras kecil kau ajak aku untuk duduk dan menatap dua bola mata di balik kacamata bingkai hitam itu. Perasaanku campur aduk, hatiku mau meledak kegirangan merasakan keindahan yang belum pernah aku temukan sebelumnya. Aku mengelap wajahmu yang basah diguyur hujan, namun kau tidak tampak kedinginan dan senyummu itu masih saja terus terukir menatap wajahku. Aku belum terbiasa menatap mata orang sedekat itu dan malam itu kau berhasil membuatku salah tingkah. Tanganmu yang dingin justru menarik tanganku untuk dihangatkan, aku tersenyum dan mengucap syukur  kepada Tuhan dalam hati. Ternyata keinginanku tidak terlalu tinggi, seseorang yang biasa saja telah datang kepadaku dan tak perlu bermimpi lagi untuk mendapatkannya. Tidak ada kata lain, Aku bahagia.

          Tidak bisa kubayangkan setelah ini akan jadi apa. Kenapa dua manusia yang saling sayang harus kembali jalan sendiri-sendiri? Jika Tuhan memang mau memberikan cobaan kepadaku, kenapa harus soal hati yang pada akhirnya tidak memiliki kesempatan untuk disatukan? Kenapa Tuhan membiarkan kita sempat memadu kasih jika pada akhirnya Dia membiarkan kita berpisah juga? Ketakutanku memuncak, bukan karena takut akan sepi dan tidak bisa menanganinya, tapi aku merasa keutuhanku tercermin pada orang yang duduk gelisah di sampingku saat ini. Apa keinginanku ternyata terlalu tinggi?  Apa ternyata orang yang biasa itu bukan dia yang kusayang saat ini? Mengapa bisa salah? Aku meradang pada kenyataan.

“Aku sayang kamu, tapi aku tidak bisa.”

          Air mataku tidak bisa tertahan lagi, mereka keluar dengan bebasnya. Kenapa kamu tidak cukup pintar untuk menanganinya? Kenapa kamu menyerah? Niatmu mana? Aku ingin bertanya tegas, namun tertahan susah untuk disampaikan. Saat itu yang kuinginkan hanyalah kamu berhenti berbicara dan menggenggam tanganku lagi. Aku butuh keheningan bersamamu, namun bukan kekosongan. Sekali saja, karena aku yakin esok tak akan sama lagi.

          Tiba-tiba ada suara kedamaian membisikkan telinga ini; “Ini yang terbaik, demi kamu” Aku berlagak tegar dan tersenyum menghiburmu “Sudah, tak apa mungkin ini yang terbaik”  Ucapku singkat. Kamu tak layak didera, kita tak layak disiksa. Aku mengusap bahumu, kemampuanku untuk membela diri hilang seketika. Kepekaanmu saat itu juga hilang untuk menenangkanku. Entah apa atau siapa penghalang yang tega membatasi kita untuk saling masuk ke relung hati masing-masing dan memulihkan hati ini. Sudahlah, aku tidak ingin bicara lagi meskipun pikiran ini terus mencari tempat untuk menyalahkan.

          Otot-ototku yang tegang mulai melemas, rahangku yang kaku mulai bisa kembali pada posisinya lagi. Perlahan aku berdiri dan membelakangimu. Mata ini terlalu lelah untuk berbalik menatapmu lagi. Langkah kakiku terbentuk untuk pergi menjauhimu, entah kamu bisa merasakan atau mendengarnya. Hatiku berteriak mengatakan “Aku selalu sayang kamu” Aku ingin mengalir. Hatiku belum mau mati. Meski nanti aku tertidur tanpa lelap karna lelah bermimpi, meski nanti sadarku kian tak ada, meski rasa ini tak lagi punya tempat, meski aku sadar cinta ini tak mungkin jadi. Aku masih sama.

          Langkahku lunglai dan terasa berat. Dengan sedikit gemetaran aku pasang headset di telingaku rapat-rapat dan memulai memutar musik apapun itu yang setidaknya bisa menghiburku. Dan lagu itu terputar pertama kali. Lagu kesukaanku yang pernah kamu nyanyikan secara tidak sengaja meskipun kamu tak hafal liriknya. Lagu yang tak mau aku dengar lagi sebelum kamu resmi jadi milikku, supaya kita bisa menyanyikannya bersama. Absurd memang, tapi benda mati pun tahu apa yang aku butuhkan.

It’s a beautiful night
We’re looking for something dumb to doo
Hey baby! I think I wanna marry you..

Is it the look in your eyes
Or is it this dancing juice?
Who cares baby, I think I wanna marry you..

          Lega rasanya bisa merasakan keindahan lagu itu lagi. Aku menatap ke atas dan tersenyum sambil menatap pelangi yang tercipta di langit senja. Semesta seperti berusaha menghiburku dengan menggambarkan suasana hati yang seharusnya kumiliki. Senyum itu tergambar jelas di benak ini. Seperti senja yang selalu bisa memancarkan keindahan gradasi warna jingganya. Walaupun terkadang bercampur dengan langit gelap, namun warnanya tetap tampak jelas tergambar. Meski keindahannya abadi dalam waktu yang tak cukup lama di setiap harinya, senja tetaplah indah seperti biasanya.


Hope you like it..

sincerely,

the imperfect rainbow..

:)


No comments:

Post a Comment