Sebuah Elegi di Balik Angin Malam

Entah angin malam jenis apa yang menghentakku dini hari seperti sekarang ini.
Jantungku tak bersahabat, darah serasa berkumpul semua di otak. Rasanya seperti mau berlari seperti dulu pergi ke tempatmu, tanpa perlu ragu akan gelap dan dinginnya angin malam.
Pipiku mulai hangat.
Sudah dua tahun yang lalu, termasuk satu tahun terlewat tanpa saling mengucap selamat ulangtahun. Mungkin kamu lupa. Aku? Kutahan sebisaku, dalam doa malam itu saja kusampaikan.Tuhan lah jadi saksi malam itu, karena aku tak mampu menghampirimu dengan sebuah ucapan selamat ulangtahun tanpa rasa harap.
Apa kabar?
Apakah banyak yang kamu lakukan selama ini untuk terus hidup menjadi sebagaimana kamu?

Hidupku berat walau tak seberat orang di jalanan sana.
Menghadapi orang yang sakit dan diri sendiri yang sakit, bahkan aku pikir sakitku bukan fisik saja tapi jiwa juga ikut-ikutan.
Berkutat dengan ambisi yang tak sejalan sehingga motivasiku nyaris hilang arah. Setahun yang lewat diisi dengan nafsu sampah yang aku pikir bisa membuatku lupa, kamu pernah pergi menyerah.
Aku tidak mau jadi seperti perempuan kebanyakan di luar sana, sibuk mengambil tissuenya. Menangisi semua yang pernah Ia upayakan dan semua janji yang tak menjadi hadiah untuk kesetiaannya pada cinta yang dipikirnya sejati tapi justru malah sebaliknya. Menyaksikan film romantis dan akhirnya menangis lagi, atau berani berkata menyesal sudah pernah sangat cinta dan berharap.
Jangan sampai, aku mengagumi senjaku.

Sepertinya aku mengarah kesana, hanya saja ini sedang kulawan sekeras mungkin. Aku menganggapmu itu pelajaran, pengalaman, dan hadiah yang memang ada masanya. Kuhindari rasa menyesal, kuhindari rasa perasaan tak dianggap, kuhindari kepala yang terus mengingat kata sayang dan janji yang mendekapku erat dulu, kuhindari rasa ingin dipikirkan, dan kuhindari perasaan menduga-duga aku masih cinta atau hanya perasaan kawatir saja.

Aku terlalu perempuan saat itu, senja. Aku terlalu takut cintaku tak jadi, seperti perempuan yang memburu untuk diberi pertanggungjawaban padahal aku tahu cinta tak mungkin berjalan mulus jika nafsu untuk memiliki karna ego atau kesenangan semu.
Aku salah, aku terlalu perempuan. Aku terlalu perempuan.

Selalu, kuhindari rasa untuk diutamakan sejak saat itu. Aku belajar walaupun niatku besar, tak selalu posisi utama yang bisa kudapatkan. Aku pun tak pernah mengucap doa supaya kamu kembali.

Cintakah ini, senja?
Sebanyak ini aku mengurai rasa hampaku, seperti ini sedih yang selalu aku tahan supaya tak beranak-pinak hingga berhari-hari.

Cintakah ini, senja?
Bahkan menyebut namamu pun aku ragu.
Sulit untukku mengucap namamu tanpa rasa harap.
Melakukan dosa pun setelah itu kamu melintas, lalu matilah aku disibukkan dengan perasaan bersalah dan berpikir bahwa bukan tipe wanita seperti ini yang kamu inginkan, lalu dengan percaya diri berkata pada diri sendiri:
"nanti aku tak akan bisa hidup benar jika seperti ini, bukan seperti yang pernah kamu tunjukkan".

Rasakan, kata-kataku mulai pesimis.

Cintakah ini, senja?
Cuma kamu yang paling tahu soal cinta.
Lucu, dekapanmu selalu terasa. Tubuh besarmu itu menghangatkan.
Sering sekali aku berkhayal kita bisa duduk berdua, tanpa mengingat apa yang terjadi dulu. Hanya kita dan dua cangkit teh hangat, lalu aku mulai bicara hidupku selama tidak di dekatmu seolah kamu bukanlah kamu, tapi teman cerita yang baru. Cerita banyak hal tentang bagaimana aku menjauh, bagaimana aku berpura-pura, menangis, sakit, dan melakukan dosa yang kalau kamu dengar bisa membuatmu mungkin selintas menghakimiku dengan tanpa memperhitungkan rasa sayangku untukmu.
Ahh senja, sedari tadi celotehan ini hanya berujung di satu muara. Kiranya angin malam membawa kata-kataku, terserah mau lenyap atau berujung padamu asal jangan kembali karena aku akan selalu pergi.
Cuma bisa begini, senja. Cuma bisa lirih.




Senja, aku merindukanmu. Sangat rindu.

ALB -1 Juli 2015; 01.32-

1 comment:

  1. keren kak, suka banget. salam kawancut. mampir ke blog gue yah kak, irmakamaruddin.blogspot.com

    ReplyDelete